hormon cinta tentang cinta zenius education

Hormon Cinta, Berjuta Reaksinya – Tentang Cinta

Karin sedang berjalan ke kantin saat jam istirahat. Di saat yang sama, Kevin baru saja kembali dari kantin. Mereka pun berpapasan di depan ruang kesehatan. Kevin yang memang mengenal Karin sebagai teman sekelasnya langsung menyapa Karin. Tapi, Karin hanya terdiam dengan pipi yang memerah. Kevin jadi bingung. Karin kenapa, ya?

Reaksi yang diberikan Karin saat Kevin menyapanya ini adalah salah satu ciri-ciri jatuh cinta, lho.

Waduh, masih remaja emangnya boleh cinta-cintaan?

Eits, jangan salah! Cinta itu sebenarnya reaksi tubuh yang normal, kok. Menurut psikolog Robert Sternberg, cinta merupakan seperangkat emosi dan perilaku yang dipengaruhi oleh berbagai hormon yang diproduksi tubuh. Hormon-hormon ini disebut sebagai hormon cinta.

Baca Juga: Cinta Masa Remaja, Apa Hubungannya dengan Pubertas?

Hormon Cinta = Dopamin + Serotonin + Oksitosin

Secara biologis, cinta dipengaruhi oleh tiga hormon, yaitu oksitosin, dopamin, dan serotonin. Hormon apa aja sih, itu?

Dopamin adalah neurotransmitter, alias pengirim pesan dari otak melalui berbagai anggota tubuh melalui sistem saraf. Dopamin inilah yang mempengaruhi reaksi anggota tubuh terhadap suatu rangsangan.

Sementara serotonin juga berperan sebagai neurotransmitter seperti dopamin. Bedanya, hormon yang satu ini mempengaruhi rasa lapar, sakit, mood, dan juga mengatur tubuh untuk tidur.

Nah, kalau oksitosin adalah hormon yang khusus dimiliki semua mamalia termasuk manusia. Hormon ini mempengaruhi perilaku dan kedekatan sosial.

Lalu, bagaimana ketiga hormon ini mempengaruhi reaksi seseorang ketika jatuh cinta?

Jadi, awal mula munculnya cinta disebabkan oleh meningkatnya level hormon dopamin dalam tubuh ketika otak menerima sinyal ketertarikan terhadap seseorang. Misalnya nih, Karin tertarik sama Kevin. Waktu mereka papasan, level dopamin yang ada dalam tubuh Karin langsung meningkat.

Gara-gara level dopamin ini meningkat, level hormon cinta yang lain alias serotonin ikutan meningkat. Efeknya, otak mengeluarkan sinyal pada kelenjar hipotalamus (alias kelenjar hormon) untuk mengeluarkan oksitosin, si hormon cinta ketiga.

Gara-gara hormon oksitosin ini muncul, tubuh Karin mulai mengeluarkan berbagai reaksi. Salah satunya adalah memerahnya kulit pada beberapa area seperti pipi atau daun telinga.

Reaksi hormon dopamin, serotonin, dan oksitosin ketika jatuh cinta zenius education
Reaksi hormon dopamin, serotonin, dan oksitosin ketika jatuh cinta (Arsip Zenius)

Baca Juga: Sosiologi Cinta: Rasional atau Irasional?

Reaksi tubuh terhadap oksitosin bukan cuma memerahnya kulit di area pipi saja. Pada beberapa orang, hormon oksitosin juga dapat membuat telapak tangan berkeringat dan jantung berdegup kencang. Makanya nih kalau elo jatuh cinta, elo jadi sering deg-degan kalau lagi di dekat doi.

Meningkatnya jumlah kadar oksitosin dalam tubuh juga bikin elo susah makan, lho. Soalnya si oksitosin ini menghambat sinyal rasa lapar sampai ke otak elo. Jadi nggak heran kalau ada orang yang bilang lihat crush doang bisa bikin kenyang. Aduh, dangdut banget ya?

Tapi, hormon-hormon cinta ini bisa berakibat buruk ketika peningkatan levelnya terjadi secara berlebihan lho.

Ketika level dopamin dalam tubuh terlalu tinggi, elo bisa melakukan tindakan-tindakan yang tidak rasional. Misalnya makan berlebihan atau malah tidak makan sama sekali. Level dopamin yang tinggi juga bisa membuat elo mudah cemburu, marah-marah, sampai selingkuh. Waduh, bahaya juga, ya?

Hormon Cinta, Berjuta Reaksinya - Tentang Cinta 9
Perbedaan level dopamin menimbulkan reaksi yang berbeda (Arsip Zenius, dok. Harvard)

Baca Juga: Kenapa Putus Cinta Bikin Dada Nyesek?

Makanya, saat jatuh cinta, sebetulnya elo bisa mengatur agar nggak perlu bereaksi yang berlebihan pas berhadapan dengan crush elo. Jadikan kehadiran crush elo sebagai motivasi buat berbuat hal-hal yang positif. Misalnya nih, rajin belajar biar crush elo tahu kalau elo itu orang yang pintar dan berprestasi. Elo juga bisa ikut kegiatan yang sama dengan crush elo kayak ekskul atau kegiatan positif lainnya.

Jatuh cinta bukan berarti elo harus kehilangan logika elo, ya! Jangan sampai elo mengalami patah hati yang berlebihan. Soalnya, ketiga hormon cinta yang sama akan memberikan reaksi yang berbeda ketika elo mengalami patah hati. Reaksi ini berbanding terbalik dengan reaksi yang elo alami ketika jatuh cinta.

Alih-alih mengirimkan sinyal rasa senang kepada otak, level oksitosin akan menurun dan mengirimkan sinyal rasa sakit ketika patah hati ke otak. Ibaratnya nih, oksitosin langsung laporan ke otak kalau elo lagi patah hati.

Setelah menerima laporan ini, otak akan mengirimkan sinyal untuk menurunkan level serotonin dan dopamin. Gara-gara level ketiga hormon ini menurun, tubuh pun memberikan reaksi. Mood elo jadi memburuk gara-gara patah hati. Elo jadi mudah merasa sedih bahkan menangis.

Kalau ketiga hormon ini menurun secara drastis, reaksi yang diberikan tubuh juga lebih drastis. Elo bisa kehilangan nafsu makan dan fokus. Patah hati juga bisa membuat elo lebih mudah stres dan emosional.

Jadi, jatuh cintalah sewajarnya ya guys! Kalau kata orang tua jaman dulu tuh jatuh cintanya pelan-pelan aja. Supaya saat patah hati, elo nggak merasa dunia elo runtuh.

Kalau jatuh cinta atau punya crush, apa yang harus dilakukan, nih? Apakah harus segera confess biar bisa pacaran sama crush? 

Eits, tunggu dulu. Emangnya kalau jatuh cinta harus pacaran? Terus, pacaran itu ada manfaat positifnya nggak ya? Elo bisa cari tahu selengkapnya di series Tentang Cinta spesial dari Zenius, nih. Check them out, ya!

Series Tentang Cinta

Bagian 1: Apa itu Cinta?

Bagian 2: Hormon Cinta, Berjuta Reaksinya

Bagian 3: Dating dari Masa ke Masa

Bagian 4: Pacaran Sehat Saat Remaja, Memangnya Bisa?

Bagian 5: Menjelang Valentine dan Penyempitan Makna Sayang

Referensi:

  • What Is Love? – Verywell Mind (2020)
  • 6 Fascinating Facts About The Love Hormone – BBC Earth (2016)
  • The Neuroendocrinology of Love – The Indian Journal of Endocrinology and Metabolism (2016)
  • The Love Hormone – Medical News Today (2017) 
  • Why Is Oxytocin Known as the ‘Love Hormone’? And 11 Other FAQs – Healthline (2018)
  • Love, Actually: The Science Behind Lust, Attraction, and Companionship – Harvard (2017)
Bagikan Artikel Ini!