Dewi Sartika

Raden Dewi Sartika dan Perjuangannya dalam Pendidikan

Raden Dewi Sartika (1884-1947) mendirikan institusi pendidikan untuk meningkatkan martabat perempuan. Ia juga dianugerahi gelar pahlawan nasional berkat jasanya tersebut. Ayo, ikuti selengkapnya di sini! 

Hi, guys! Gue mau kasih tahu kalau pejuang pendidikan untuk perempuan Indonesia tidak hanya RA Kartini, ada juga nama Raden Dewi Sartika, lho. Gue mau bahas sosok beliau nih. Dewi Sartika memiliki misi mulia dalam merintis pendidikan bagi perempuan, khususnya di tanah Sunda. Ia juga merupakan salah satu pahlawan nasional yang dikukuhkan pada 1 Desember 1966 melalui Keppres No. 252 Tahun 1966.

Dewi Sartika merupakan wanita yang berasa dari Cicalengka, Bandung. Menurut survei harian Kompas (03/12/2010), Dewi Sartika adalah pahlawan terpopuler di Jawa Barat. Seperti yang tadi gue sebutkan, ia menjadi tokoh panutan dalam ranah pendidikan bagi kaum perempuan Jawa Barat. Di Bandung, ia mendirikan sekolah bernama Sakola Istri, lalu berkembang dan berubah nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Istimewanya, sekolah ini dikhususkan bagi kaum perempuan.  

Oh iya, gue pribadi beberapa kali menemukan suatu tempat atau bangunan yang menggunakan nama Dewi Sartika. Gue ambil contoh dengan sebuah gedung di salah satu kampus negeri di Jakarta yang menggunakan nama Dewi Sartika. Sebagai orang yang mendalami studi bahasa, gue juga belajar tentang penamaan dan makna suatu tanda atau lambang. Menurut gue, terdapat alasan lain penggunaan nama Dewi Sartika selain sebagai bentuk penghormatan.

Alasan lain mengapa kampus tersebut menggunakan nama Dewi Sartika adalah karena ingin menunjukkan suatu nilai. Nilai apa tuh? Nilai bahwa terdapat cara lain bagi seorang perempuan untuk menjadi pahlawan nasional tanpa perlu mengangkat senjata. Salah satu bentuk perjuangan perempuan adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan, perempuan dapat membuat suatu peradaban lebih baik karena dari setiap rahim perempuan yang berpendidikan akan melahirkan generasi yang berpendidikan pula.

gedung dewi sartika UNJ
Gedung Dewi Sartika Universitas Negeri Jakarta (Sumber: nasional.tempo.co)

Tentang Raden Dewi Sartika

Dewi Sartika lahir pada tanggal 4 Desember 1884 di Cicalengka, Bandung. Ia lahir sebagai anak kedua dalam keluarga Sunda ternama dari pasangan Raden Rangga Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Pasangan itu memiliki lima orang anak, yaitu Raden Somamur, Dewi Sartika, Raden Saripamerat, Raden Entis, dan Raden Yunus. 

Raden Somanagara merupakan putra dari Raden Demang Suriapraja, seorang Hoof Djaksa (Jaksa Kepala) di Bandung. Pada tahun 1891, Raden Somanagara dilantik menjadi patih di Bandung. Lalu, ibunya juga merupakan keturunan Sunda yang terpandang. Raden Rajapermas merupakan putri dari R.A. Adipati Wiranatakusumah IV seorang Bupati Bandung (1846-1874).

Sebagai anak yang lahir dari keluarga priayi, Dewi Sartika memiliki privilege untuk mendapatkan pendidikan formal. Ia mengenyam pendidikan di Sekolah Kelas Satu untuk penduduk non-Eropa, yakni Eerste Klasse School (EKS). Sekolah ini kelak menjadi Hollandsch Inlandsche School (HIS). Di sana, Dewi belajar membaca dan menulis, serta mempelajari bahasa Belanda. 

Namun, Dewi tidak sempat menyelesaikan pendidikan lantaran ayahnya diasingkan ke Ternate pada tahun 1893 hingga ayahnya wafat di sana. Harta bendanya pun turut disita. Hal ini dipicu oleh tuduhan terhadap ayahnya yang terlibat dalam sabotase acara pacuan kuda di Tegallega, Bandung, untuk mencelakai R.A.A Martanegara selaku bupati yang baru. Setelah itu, kehidupan Dewi Sartika harus bergantung pada pamannya, Raden Demang Suria Karta Hadiningrat (kakak kandung ibunya).

Raden Dewi Sartika
Potret Dewi Sartika (Sumber: wikimedia)

Ya, Dewi harus tinggal dengan pamannya sejak saat itu. Raden Demang Suria Karta Hadiningrat merupakan seorang Patih Afdeling Cicalengka. Dari pamannya, ia menerima pendidikan mengenai budaya Sunda atau kesundaan.

Akan tetapi, Dewi mendapatkan sambutan yang dingin dalam keluarga pamannya. Dewi mendapatkan perlakuan berbeda. Ia diberi banyak pekerjaan rumah. Ia juga harus menempati kamar yang berada di belakang seperti pelayan. Perlakuan tersebut ia dapat karena tindakan ayahnya dianggap sebagai aib.  

Dewi Sartika berlarut-larut dalam hal tersebut, ia menunjukkan bakat dan kegigihannya untuk terus berkembang. Di belakang gedung kepatihan, saat bermain dengan teman-temannya, Dewi sering berperan layaknya guru di sekolah dengan mengajari baca-tulis dan bahasa Belanda kepada anak-anak pelayan di kepatihan. Berbagai barang yang ia temukan seperti arang dan pecahan genting dibuatnya menjadi alat bantu ajar. 

Perlu diingat jika saat itu Dewi Sartika juga masih belia, umurnya sekitar sepuluh tahun. Namun, ia sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan dengan memerankan perilaku seorang guru. Dewi juga membuat masyarakat gempar karena membuat anak-anak seusianya memiliki kemampuan baca-tulis dan beberapa kosakata dalam bahasa Belanda. Lebih-lebih karena sosok yang mengajari mereka adalah seorang anak perempuan.

Kembalinya R.A. Rajapermas (ibunya) dari Ternate, kerinduan kepada ibunda mendorong hasrat untuk berkumpul kembali dengan saudara-saudaranya di Bandung setelah lama berpisah. Pada tahun 1902, Dewi Sartika pun meninggalkan rumah pamannya dan kembali tinggal bersama ibunya. 

Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata yang merupakan seorang guru. Suaminya adalah orang yang memiliki semangat, visi, serta cita-cita yang sama dengan Dewi. Kelak, Raden Kanduruan Agah Suriawinata akan banyak membantu Dewi dalam mewujudkan visinya.

Pemikiran Dewi Sartika

Cita-cita Dewi Sartika dapat dilihat dari karangannya yang berjudul De Inlandsche Vrouw (Wanita Bumiputera). Di situ, ia mengemukakan bahwa pendidikan sangat penting. Pendidikan susila dan pendidikan kejuruan sama pentingnya untuk dikuasai oleh perempuan.

Saat Dewi Sartika remaja, ia memperhatikan kedudukan perempuan dalam masyarakat Sunda. Menurutnya, kedudukan perempuan telah mengalami kemunduran. Kala itu, perempuan Sunda dianggap lebih lemah, dikekang dengan perkawinan paksa, dan sebagainya. Bahkan, mereka hanya menjadi lambang status seorang laki-laki setelah menikah. Pada masa itu, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kedudukan perempuan dalam masyarakat Sunda mengalami kemunduran. 

  • Faktor pertama, pengaruh Kerajaan Mataram. Feodalisme yang berkembang saat itu menempatkan istri sebagai lambang status seorang pria. 
  • Faktor kedua, pengaruh agama Islam. Terdapat miskonsepsi pada masyarakat dalam memahami konsep perempuan dalam Islam yang menganggap bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki.  
  • Faktor ketiga, perkawinan. Banyak hal yang memicu terjadinya kawin paksa atau kawin gantung (pernikahan anak-anak).  

Perilaku masyarakat saat itu seakan menjadi tradisi yang mengekang kaum perempuan. Berangkat dari hal tersebut, Dewi Sartika bertekad untuk melakukan emansipasi perempuan. Emansipasi yang dimaksud mengarah pada peningkatan pemahaman dan kesadaran mengenai hak serta kewajiban masing-masing. 

Dewi Sartika memikirkan bagaimana agar anak-anak perempuan di komunitasnya bisa memperoleh ilmu pengetahuan. Muncul ide Dewi untuk mendirikan sekolah khusus perempuan. Kemudian, ia berjuang mendirikan sekolah tersebut di Bandung, Jawa Barat. 

Mendirikan Sekolah

Pada zaman itu, keberadaan sekolah tidak banyak seperti sekarang. Bahkan, masyarakat dari golongan biasa kesulitan untuk mendapatkan akses ke pendidikan. Hanya anak-anak dari golongan priayi atau mereka yang mapan yang dapat bersekolah. Kemudian, Dewi Sartika meluluhlantakkan batasan tersebut dengan membuka akses pendidikan untuk semua golongan, terutama bagi perempuan. Dibuatlah sekolah yang bertujuan mencerdaskan kaum perempuan agar tercipta kesetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan, serta antara (perempuan) golongan priayi dan (perempuan) golongan biasa.

Murid Dewi Sartika
Dewi Sartika (Tengah) Bersama Murid-Muridnya (Sumber: muskitnas.net)

Sakola Istri

Pada 16 Januari 1904, keinginan dan perjuangan Dewi Sartika terwujud di usianya yang masih sangat muda sekitar 19 atau 20 tahun. Ia mendirikan sebuah sekolah bernama Sakola Istri dengan bantuan dari C. Den Hammer dan R.A.A.Martanegara. Sekolah tersebut bertempat di ruang Paseban Kabupaten, di sudut sebelah Barat Pendopo Bupati Bandung (sekarang taman pendopo Alun-Alun Bandung). Awalnya, sekolah itu hanya memiliki dua puluh orang murid. Di sekolah ini, murid-murid diajarkan berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam, serta pelajaran agama. 

Keberadaan sekolah yang dirintis oleh Dewi Sartika mendapat perhatian negatif dan positif dari masyarakat. Negatifnya, Dewi Sartika mendapatkan kecaman dan cemooh karena telah berani menentang adat dan kebiasaan bangsawan. Namun, keberadaan sekolah itu juga mendapat perhatian positif dari masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah murid. Bahkan, ruangan yang dipinjamkan di Pendopo Bandung pun sudah tidak mencukupi.

Sakola Kautamaan Istri
Sakola Kautamaan Istri Pada Masa Lampau (Sumber: muskitnas.net)

Sakola Kautamaan Istri

Pada tahun 1905, Sakola lstri pindah ke Jalan Ciguriang dan sampai sekarang masih digunakan sebagai tempat belajar. Jumlah pengajar pun ditambah untuk mengimbangi jumlah muridnya. Pada tahun 1909, bangunan sekolah diperluas dengan menghadap ke arah Jalan Kebon Cau (kini menjadi Jalan Kautamaan Istri). Lalu, pada tahun 1910, Sakola Istri berganti nama menjadi Sakola Dewi Sartika dan berganti kembali menjadi Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1914.

Sekolah ini masih memiliki tujuan fundamental yang sama, tetapi terdapat penambahan materi atau pelajaran yang diajarkan. Penambahan atau penyempurnaan rencana belajar dimaksudkan agar kelak para wanita yang lulus dari sekolah ini dapat “hidup”. 

Dewi Sartika sangat berusaha untuk memberikan pendidikan yang berkualitas. Salah satu cara meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan mendapatkan guru-guru yang kompeten di bidangnya. Ia sampai memanggil zuster van Arkel, seorang tenaga ahli dari Rumah Sakit Immanuel, untuk mengajar PPPK dan memelihara bayi.

Kesuksesan sekolah ini memberikan inspirasi untuk membuat sekolah yang sama di berbagai daerah di Jawa Barat. Selain di Bandung, Sakola Kautamaan Istri dapat ditemui di Tasikmalaya, Sumedang, Cianjur, Ciamis, Cicurug, Kuningan, Sukabumi, hingga menyebrang pulau di Padang Panjang.

Sakola Kautamaan Istri memiliki motto dari bahasa Sunda “cageur, bageur, bener, singer, pinter” yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia, yaitu “sehat, baik hati, benar, mawas diri, pintar”. Nilai-nilai tersebut masih dapat dijumpai di Jawa Barat sebagai warisan dari Dewi Sartika.

Sekolah Dewi Sartika
Potret Sekolah Dewi Sartika Pada Masa Kini (Sumber: humas.bandung.go.id)

Penghargaan & Akhir Hayat

Pada tahun 1942, saat masa penjajahan Jepang, sekolah Dewi Sartika dibubarkan oleh Jepang dan diganti namanya menjadi Sekolah Gadis. Pada tahun 1946, saat peristiwa Bandung Lautan Api, gedung sekolah itu pun ikut terbakar. Dewi Sartika beserta keluarganya pun meninggalkan Bandung untuk mengungsi ke Ciparay, di sebelah tenggara Bandung. Ia juga sempat berpindah ke Garut, lalu berpindah lagi ke Cineam, daerah pegunungan di selatan Tasikmalaya.

Sementara itu, kondisi kesehatan Dewi Sartika semakin lemah. Dewi menderita sakit keras sampai akhir hayatnya. Dewi Sartika meninggal dunia pada hari Kamis, 11 September 1947. Beliau dimakamkan di Pemakaman Umum Desa Cineam. Kemudian, jasadnya dipindahkan ke makam para Bupati Bandung di Kepatihan pada tahun 1951.

Dewi Sartika mendapatkan beberapa penghargaan, salah satunya ia mendapat medali emas kehormatan Orde van Oranje-Nassau dari pemerintah Hindia Belanda pada 1939 atas tulisannya dalam De Inlandsche Vrouw. Tentunya penghargaan tersebut tidak diberikan kepada sembarang orang. Pemerintah Indonesia juga mengakui jasa-jasanya dengan memberikan gelar pahlawan nasional pada 1 Desember 1966.

Mengapa Nama Raden Dewi Sartika Tidak Sepopuler R.A. Kartini?

Sobat Zenius mungkin memiliki pertanyaan yang sama. Kenapa begitu, ya? Padahal nama Dewi Sartika juga banyak dijadikan sebagai nama-nama tempat dan bangunan di sekitar kita, tetapi kisahnya tidak lebih terkenal daripada namanya.

Jujur, gue sendiri bingung untuk menjawab pertanyaan ini, karena pada dasarnya mereka berjuang di ranah yang sama. Mereka juga hidup dalam waktu yang tidak terlalu berbeda, Kartini 1879-1904 dan Dewi Sartika 1884-1947. Dalam lini masa ini pun pemikiran-pemikiran Kartini belum meluas karena buku Door Duisternis tot Licht baru diterbitkan tahun 1911 oleh Conrad Theodore van Deventer, lalu diterjemahkan dan diterbitkan kembali menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang (1922) oleh Balai Pustaka. Bahkan, Sakola Istri (1904) lebih dulu ada daripada Sekolah Kartini (1912) yang baru ada setelah Kartini wafat. 

Akan tetapi, izinkan gue untuk tetap menjawab pertanyaan di atas, ya. Jawaban itu gue bagi ke dalam tiga poin yang membedakan antara Kartini dan Dewi Sartika yang sangat berdampak dalam pengenalan tokoh tersebut. Berikut poin-poin tersebut.

  1. Terdapat nama sekolah yang menggunakan nama Kartini, sehingga namanya dapat selalu diingat selama sekolah itu ada. Nama Dewi Sartika juga pernah dijadikan nama sekolahnya, tetapi ini tidak berlangsung lama (1910-1914).
  2. Terdapat peran tokoh lain yang turut membesarkan nama Kartini. Sebut saja WR Supratman yang menggubah lagu berjudul “Ibu Kita Kartini” dan Pramoedya Ananta Toer yang menulis buku Panggil Aku Kartini Saja.
  3. Terakhir, nama Kartini abadi sebagai hari nasional sejak tahun 1964 bertepatan dengan saat namanya diangkat menjadi pahlawan nasional. Dua tahun setelahnya, nama Dewi Sartika baru diangkat menjadi pahlawan nasional. Poin terakhir ini sangat penting, karena pada setiap 21 April diperingati Hari Kartini dan sekolah-sekolah di Indonesia selalu memberikan ceramah tentang beliau dalam acara yang bertajuk “Kartinian”.

Jadi, dengan begitu nama Dewi Sartika tidak dapat menyamai pamor Kartini. Apakah Sobat Zenius punya jawaban lain untuk pertanyaan ini? Gue sangat senang kalau Sobat Zenius ingin berbagi dengan memberikan komentar di bawah.  

Bagaimanapun, keduanya turut berjasa dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Kalau tidak ada mereka berdua, bisa saja nilai-nilai feodal masih bertahan lebih lama lagi dan memperlambat perkembangan bangsa.

Nah, segitu saja yang bisa gue bagikan tentang Dewi Sartika dengan Sobat Zenius. Dewi Sartika tetap maju dan belajar dari siapa saja, meski sempat terpisah dengan kedua orang tuanya. Ia juga memajukan kaumnya agar keluar dari keterbatasan, serta dengan tulus membagikan ilmu yang ia dapat. Semoga dengan adanya artikel ini Sobat Zenius jadi lebih tahu tentang sosok dan mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dari kisah hidup Dewi Sartika.

Ikuti terus blog Zenius untuk membaca artikel lainnya, ya! Jangan lupa juga untuk terus ikuti keseruan lainnya dari Zenius di YouTube! Sampai jumpa!

Wiriaatmadja, Rochiati. 2009. Dewi Sartika. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Sejarah. Dapat diakses melalui http://repositori.kemdikbud.go.id/13462/1/Dewi%20sartika.pdf 

Kompas. 2021. Raden Dewi Sartika: Kehidupan, Gagasan, dan Kiprahnya. Diakses pada 2 Desember 2021, dari https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/20/173614179/raden-dewi-sartika-kehidupan-gagasan-dan-kiprahnya?page=all

Widya, Arintha. 2021. Kisah Dewi Sartika, Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat. Diakses pada 2 Desember 2021, dari https://www.parapuan.co/read/532974384/kisah-dewi-sartika-pahlawan-perintis-pendidikan-perempuan-jawa-barat

Hanifah, Aufa. 2021. Dewi Sartika dan Misi Penyetaraan Pendidikan di Tanah Sunda. Diakses pada 2 Desember 2021, dari http://edura.unj.ac.id/edura-news/2021/05/24/dewi-sartika-dan-misi-penyetaraan-pendidikan-di-tanah-sunda/

Firdausi, Fadrik Aziz. 2019. Dewi Sartika: Pendidik dari Priangan, Melawan Adat Kolot & Poligami. Diakses pada 2 Desember 2021, dari https://tirto.id/dewi-sartika-pendidik-dari-priangan-melawan-adat-kolot-poligami-cH1v

Pranata, Galih. 2021. Dewi Sartika: Pendidik dari Priangan, Melawan Adat Kolot & Poligami. Diakses pada 2 Desember 2021, dari https://nationalgeographic.grid.id/read/133011811/dewi-sartika-guru-yang-membangun-citra-perempuan-lewat-pendidikan?page=all

Nurdyansa. 2018. Biografi Dewi Sartika, Kisah Pahlawan Perintis Pendidikan Kaum Wanita. Diakses pada 2 Desember 2021, dari https://www.biografiku.com/biografi-dewi-sartika/

IKPNI. Tanpa Tahun. Raden Dewi Sartika. Diakses pada 2 Desember 2021, dari http://ikpni.or.id/pahlawan/raden-dewi-sartika/

Baca Juga Artikel Lainnya

Ismail Marzuki

Djuanda Kartawidjaja

TB Simatupang

Bagikan Artikel Ini!