Artikel ini membahas pandangan penulis seputar kesalahan guru dalam mengajar yang perlu diperbaiki agar dapat membuat belajar lebih menyenangkan bagi siswa.
Halo semuanya, selamat Hari Pendidikan Nasional! Pada kesempatan kali ini, saya ingin sedikit berbagi pandangan tentang dunia pendidikan, khususnya peran guru dalam proses belajar siswa. Sebelum di Zenius, saya sempat berkecimpung di dunia pendidikan selama 5 tahun, baik sebagai mahasiswi jurusan pendidikan, guru, dan juga wali kelas. Nah, berdasarkan dari pengalaman tersebut, dalam peringatan hari pendidikan nasional kali ini, saya mau sedikit berbagi pandangan dan pengalaman saya tentang dunia pendidikan Indonesia secara umum, khususnya peran guru dalam mengajar. Oiya, sekarang ada jalur khusus bagi guru untuk bisa menjadi CPNS, linknya dapat diakses di bawah ini.
Jalur CPNS Khusus Guru
- Persyaratan CPNS guru
- Contoh surat lamaran CPNS jalur guru
- Dokumen dan berkas pendaftaran CPNS
- Syarat akhir pendaftaran CPNS
Ngomong-ngomong soal hari pendidikan, biasanya peringatan hari pendidikan itu jadi moment untuk memberikan dukungan kepada profesi guru sekaligus sebagai bentuk apresiasi terhadap peran dan kontribusi guru dalam mendidik dan membangun generasi yang lebih baik. Memang nggak bisa dimungkiri, peran guru sangatlah besar dalam kehidupan sosial bermasyarakat, terutama untuk membangun peradaban dan generasi masa mendatang yang lebih baik. Nah, justru karena peran besarnya itulah… pada peringatan hari pendidikan nasional ini, saya ingin mencoba mengajak kita semua (khususnya para guru) untuk merefleksi bersama, terutama tentang sejauh mana peran seorang guru dalam membangun semangat belajar kepada para muridnya.
Mungkin sudah bukan hal baru lagi kalo saya mengatakan bahwa profesi guru masih dipandang sebelah mata di Indonesia. Sedikit-banyak mungkin karena masyarakat Indonesia umumnya beranggapan bahwa tugas seorang guru hanya sekadar mengajar di depan kelas dan memberi tugas kepada murid. Tapi menurut saya pribadi, tugas utama seorang guru bukan hanya mengajar, tapi juga memberi contoh, inspirasi, dan yang paling penting adalah membuat murid senang belajar serta menikmati proses belajar itu sendiri.
Dalam perspektif ini, saya berpendapat bahwa tolak ukur keberhasilan seorang guru itu bukan ditentukan oleh kepala sekolah maupun orangtua, tapi justru oleh murid-muridnya. Keberhasilan guru utamanya tercermin pada perubahan positif yang dialami oleh murid-muridnya. Perubahan positif itu bisa jadi macam-macam indikatornya, dari mulai pemahaman murid akan materi pelajaran, rasa antusias murid dalam mengikuti proses pembelajaran, dan yang paling penting adalah sejauh mana murid menikmati proses belajar yang dijalaninya tersebut.
Sayangnya, dari pengalaman saya berkecimpung di dunia pendidikan (baik sebagai siswi, mahasiswi, maupun guru), tidak semua guru sepakat dengan pandangan saya di atas. Maksudnya, masih banyak guru yang tidak menjadikan “antusiasme murid dalam belajar” sebagai tolak ukur utama dalam proses mengajar ; tapi justru menciptakan semacam sistem yang membuat murid-murid belajar dengan penuh keterpaksaan, seperti pemberian tugas dengan porsi yang tidak wajar, memberi sanksi dan hukuman dengan cara yang kurang tepat sasaran, dan sebagainya.
Dalam prakteknya, saya yakin setiap guru memiliki niat dan tujuan yang baik dalam mendidik murid, saya juga mengerti bahwa setiap guru memiliki style dan caranya masing-masing dalam menjalankan perannya sebagai pendidik. Saya sungguh sangat memahami itu karena biar bagaimanapun saya sendiri pernah menjadi seorang guru dan juga wali kelas. Namun terlepas dari itu, menurut saya ada beberapa ‘style‘ cara mengajar yang saya kira perlu kita evaluasi lagi bersama. Karena saya khawatir, banyak guru yang mungkin tidak menyadari bahwa cara mengajar yang selama ini mereka terapkan itu kurang tepat dan bahkan berdampak negatif bagi para murid.
Okay, terlepas dari apakah pandangan saya ini tepat atau tidak, pada kesempatan kali ini saya hanya ingin berbagi pendapat dan pandangan saya lebih jauh tentang beberapa pendekatan guru dalam mengajar yang saya anggap keliru dan malah memberikan efek negatif terhadap murid-muridnya. Perlu saya tekankan bahwa mungkin beberapa point dalam artikel ini adalah pendapat pribadi saya dan tidak mewakili sudut pandang Zenius secara umum. Semoga apa yang saya sampaikan dalam kesempatan ini, bisa menjadi refleksi kita bersama di hari guru nasional ini. Berikut adalah beberapa gaya pengajaran guru yang menurut saya keliru dan perlu kita refleksi ulang bersama:
Daftar Isi
1. Tugas dan PR yang tidak tepat
Sebagai seorang yang pernah menjadi guru, saya mengerti bahwa jam mengajar guru di sekolah terkadang terasa kurang untuk memastikan para murid untuk betul-betul memahami materi yang dibahas. Oleh karena itulah, guru memberikan PR atau tugas dengan harapan membantu para siswa memahami materi di luar jam kelas. Secara umum, tujuan guru memberikan PR/tugas kurang-lebih seperti ini:
- Mengevaluasi materi yang sudah dipelajari di kelas.
- Mendorong murid untuk berlatih mengerjakan soal.
- Mendorong murid untuk mendalami pemahamannya untuk topik tertentu.
Di satu sisi, saya juga mengerti maksud dan tujuan guru itu baik dalam memberikan PR atau tugas, tapi saya kira ada saatnya PR/tugas yang diberikan tidak memberi dampak positif bagi para siswa. Wah, memangnya ada ya kasus dimana tugas/PR yang tidak memberi dampak positif, contohnya seperti apa? Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, yang paling berhak mengevaluasi guru adalah murid-muridnya, jadi coba yuk kita lihat beberapa curhatan murid zenius di bawah ini:

Dari beberapa potongan curhatan murid zenius ini, ada beberapa hal yang menurut saya agak ironis. Kenapa ironis? Karena tidak sedikit siswa yang justru menganggap bahwa tugas dan PR itu adalah beban yang menghalangi mereka untuk BELAJAR. Nah loh, padahal kan justru niat guru awalnya memberikan tugas itu supaya muridnya belajar, tapi dalam beberapa kasus malah menjadi halangan mereka untuk belajar.
Hal menarik berikutnya yang saya lihat adalah hasil survei zenius yang dilakukan pada 22 September 2014 hingga 15 Desember 2014 terkait persepsi siswa mengenai tugas yang diberikan guru mereka. Berikut adalah hasil 1340 responden pelajar dari berbagai pelosok Indonesia :

Berdasarkan data di atas, kita bisa melihat bahwa sebetulnya sebagian besar siswa beranggapan bahwa tugas yang diberikan guru itu penting, tapi lucunya sebagian besar dari responden (dengan persentase yang sama yaitu 48%) juga berpendapat bahwa tugas dari guru itu membebankan. Dari sini, secara sederhana saya bisa mengambil kesimpulan bahwa sebetulnya sebagian besar siswa itu tidak bermasalah dengan adanya tugas dari guru, akan tetapi bentuk tugas/ jumlah / frekuensinya itulah yang menjadi masalah dan membebani siswa.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Oviedo Spanyol, tugas dan PR akan memberikan dampak positif yang signifikan bagi pemahaman siswa jika tugas dan PR tersebut dirancang agar siswa hanya membutuhkan waktu sekitar 60 menit dalam proses penyelesaiannya. Menurut penelitian tersebut juga, efektivitas tugas dan PR ini akan terus berkurang jika waktu penyelesaiannya lebih dari 90 menit. Penelitian lain yang dilakukan oleh Stanford Graduate School of Education juga menemukan bahwa mengerjakan PR dan tugas selama lebih dari tiga jam setiap harinya akan memberikan efek negatif baik secara mental maupun fisik.
Menyingkapi hal ini, saya pribadi berpendapat bahwa PR dan tugas itu bisa jadi hal yang positif, dengan catatan porsinya wajar. Jika ingin memberikan tugas dan PR yang cukup banyak, sebaiknya guru memperpanjang tenggat waktu penyelesaian tugas dan PR tersebut mengingat kemungkinan siswa mendapat tugas dan PR dari guru mata pelajaran lain. Akan jauh lebih baik lagi, jika guru bisa memberikan tugas yang justru bisa menjadi pemicu siswa untuk menikmati proses belajar itu sendiri, memberi tantangan yang menarik bagi siswa untuk mencari tau lebih jauh materi yang mereka pelajari, bukan justru menekan siswa untuk harus belajar.
Di sisi lain, saya juga tau bahwa tugas seorang pelajar ya memang belajar. Tapi perlu kita sadari juga, bahwa definisi “belajar” bagi anak-remaja tidak hanya sebatas pada dinding ruang kelas, PR, atau tugas dari sekolah saja. Saya percaya, ada banyak hal di luar sana yang bisa menjadi bahan pembelajaran bagi siswa, di luar konteks akademis, seperti bersosialisasi, membaca, menonton film yang bermanfaat, berinteraksi lingkungan sosial, dan sebagainya. Intinya, jangan sampai jumlah/frekuensi tugas yang diberikan oleh guru bukan memberikan dampak positif, tapi membuat siswa merasa jenuh, tertekan, dan malah tidak menikmati proses belajar itu sendiri.
2. Pendekatan cara mengajar yang kurang tepat
Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa para siswa seringkali punya pandangan yang terpolarisasi terhadap cara mengajar guru-gurunya. Sederhananya, ada guru yang dipandang oleh para siswa sebagai guru yang cara ngajarnya asik, seru, mudah dipahami. Guru-guru seperti ini seringkali menjadi idola murid-murid bahkan jam pelajarannya ditunggu-tunggu oleh para siswa. Sementara itu, di sisi lain ada juga guru yang dipandang siswa sebagai guru yang cara mengajarnya membosankan, bikin ngantuk, materinya tidak menarik, dll. Dua bentuk polarisasi dari cara pandang siswa terhadap gurunya ini memang seringkali ada, bahkan bersifat kolektif. Kalo ada beberapa anak yang menganggap gurunya ini membosankan, masa satu kelas akan kompak menganggap guru tsb membosankan.
Menjadi seorang guru, memang bukan perkara yang mudah. Walaupun guru memiliki niat baik untuk mengajar, mendidik, dan membagikan ilmunya… ada saja murid yang ngobrol sendiri, ada yang ngelamun, ada yang main hape, ada yang malah gambar-gambar, dan sebagainya. Hal ini tentu membuat guru merasa jengkel, tidak jarang guru memutuskan untuk mengambil jalan tegas pada segala bentuk tindakan yang tidak menghargai jalannya proses belajar mengajar. Di satu sisi, saya mengerti bahwa setiap guru ingin merasa dihargai, tidak terlepas juga dengan saya. Namun di sisi lain, saya kira kita jangan sampai hanya berhenti pada solusi memarahi siswa. Karena sedikit banyak, hal itu justru akan menambah parah polarisasi cara pandang siswa terhadap guru-gurunya. Udah gurunya membosankan, galak lagi. Lengkaplah sudah.
Saya rasa, ada banyak cara yang bisa digunakan oleh guru untuk bisa “menguasai kelas”, membawa suasana belajar yang menarik, seru, dan menciptakan atmosfir belajar yang sehat bagi para siswa. Cara untuk menguasai audience memang tidak mudah. Terus terang, sampai saat ini pun saya masih perlu banyak belajar untuk bisa membuat nuansa belajar yang positif di kelas. Tapi, sedikit-banyak saya hanya ingin berbagi beberapa tips yang mungkin bisa jadi masukan bagi guru-guru lain. Moga-moga tips yang saya bagikan ini bisa berguna bagi rekan-rekan guru yang lain.
A. Bangun interaksi dan hubungan emosional dengan para murid di luar kelas
Saat menjadi seorang guru, saya selalu berusaha untuk tidak membatasi interaksi saya kepada murid dalam lingkup akademis saja; tetapi saya mencoba memasuki kehidupan mereka. Dari hanya sekadar mendengarkan keluhan dan curhatan mereka, makan bersama, atau bahkan menyempatkan diri bergaul dengan mereka di waktu luang… semua itu saya rasa sangat membantu saya untuk membangun nuansa belajar yang positif di kelas.
Dengan membangun hubungan emosional dengan para murid, saya jadi jauh lebih mudah untuk menguasai kelas, berinteraksi langsung dengan murid yang saya anggap belum paham, membaca keinginan mereka, memahami cara mengajar seperti apa yang diharapkan oleh mereka, dan sebagainya. Sebaliknya, mereka pun jadi jauh lebih menghargai saya ketika mengajar, mereka jadi merasa enggan untuk main hape, asik ngobrol sendiri, atau melakukan tindakan apapun yang menunjukan sikap tidak menghargai usaha saya di kelas. Saya percaya, di sekolah seorang murid memang perlu memahami pelajaran, sementara seorang guru perlu memahami murid-murid mereka.
B. Fokus pada bagaimana cara membuat siswa menikmati proses belajar
Menurut pendapat saya pribadi, tugas seorang guru bukan hanya mengajar, tapi yang lebih penting adalah membuat murid-muridnya suka belajar. Hal ini mungkin terkesan sepele, tapi menurut saya cara pandang seperti ini krusial sekali dengan bagaimana cara guru membawa materi di kelas.
Dari pengalaman saya menjadi murid, seorang guru yang berfokus hanya pada konteks “mengajar”, mentransfer ilmu pada murid-muridnya, membawa misi agar murid-muridnya mampu mengerjakan soal… seringkali justru kurang berhasil membawa suasana kelas yang positif dan bersemangat untuk belajar. Di sisi lain, seorang guru yang fokus untuk membangun nuansa belajar yang positif dulu di awal, bercerita dulu tentang berbagai contoh nyata yang menggambarkan kenapa materi tersebut penting untuk dikuasai, kenapa materi itu menarik dan seru untuk dibahas… guru semacam ini lebih bisa membangun nuansa kelas yang siap menerima pengajaran, sehingga proses belajar-mengajar jadi lebih menyenangkan, seru, menarik, tidak membosankan, dan para siswa jadi lebih termotivasi belajar.
3. Memberi hukuman yang tidak menyelesaikan masalah.
Menjadi guru memang bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kesabaran yang luar biasa untuk dapat mengendalikan emosi dalam mengontrol para siswa. Dari pengalaman saya menjadi guru dan wali kelas, memang selalu ada-ada saja ulah murid yang menjengkelkan, dari yang sering terlambat, bikin ribut di kelas, menyontek, lupa mengerjakan PR, dan sebagainya. Dalam hal ini, saya mengerti jika guru menggunakan metode hukuman untuk dapat lebih mudah mengontrol, mengendalikan perilaku siswa, sekaligus memberikan efek jera dan bentuk peringatan bagi anak-anak yang lain. Di satu sisi, hukuman memang cara yang paling praktis untuk membuat siswa berhenti melakukan kenakalan. Namun di sisi lain, apakah hukuman yang diberikan betul-betul dapat menyelesaikan masalah?
Seorang psikolog klinis dari Columbia University, Laura Markham, mengatakan bahwa hukuman tidak selalu mampu mengubah anak didik menjadi lebih baik, terutama untuk jangka panjang. Sebaliknya, menurut pendapat Laura, hukuman dari pihak otoritas (guru / orangtua) malah bisa membuat pihak terhukum merasa rendah diri, hilang kepercayaan, kerenggangan hubungan emosional, perasaan untuk terus memberontak, bahkan memicu kebohongan-kebohongan untuk menutupi kesalahan lainnya. Saya pikir, hal ini juga bisa jadi relevan dalam konteks hubungan guru dengan murid. Bentuk hukuman yang tidak tepat sasaran bisa berpotensi membuat siswa untuk bersikap antipati terhadap guru, bahkan membenci mata pelajaran yang diajarkan.
Dalam konteks ini, saya pribadi berpendapat bahwa sebagai guru, kita perlu mengevaluasi penerapan “hukuman” sebagai alat kontrol di dalam kelas. Terutama pada siswa yang sedang dalam umur-umur krusial untuk menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap sebuah ilmu. Saya pribadi sebetulnya kurang sepakat dalam bentuk hukuman yang kurang relevan pada penyelesaian masalah. Seperti contohnya : berdiri di depan kelas dengan satu kaki, lari keliling lapangan 10 keliling, mencabuti rumput, hormat di depan tiang bendera selama berjam-jam, menulis berulang kalimat “aku tidak akan terlambat” sebanyak 100x, dan bentuk hukuman sejenisnya yang tidak berfokus pada penyelesaian masalah.
Dalam hal ini, bukan berarti saya berpendapat bahwa tindakan menghukum itu sama sekali tidak perlu. Memberi hukuman bisa jadi tepat jika proses itu memberikan pengertian bagi siswa bahwa tindakan dia itu keliru. Berilah hukuman jika itu membuat siswa memahami konsekuensi dan risiko yang relevan dari tindakannya. Akan jauh lebih baik lagi, jika bentuk hukuman, teguran, sanksi, atau perintah dari guru tersebut berorientasi pada penyelesaian akar masalah yang sesungguhnya, bukan sekadar menjadi bentuk cara untuk mengontrol, memberi efek jera, memberi contoh pada siswa lain, apalagi hanya untuk sekadar melampiaskan emosi dan kejengkelan terhadap murid tersebut.
Saya pribadi dalam prakteknya lebih menyukai pendekatan personal bagi setiap siswa yang bermasalah. Jika saya menemukan ada murid yang (katakanlah misalnya) sering terlambat, biasanya saya panggil untuk mengetahui akar permasalahannya. Jika ternyata akar masalahnya itu karena siswa tersebut memiliki kesulitan mengatur pola tidur, maka saya akan mencoba untuk membantu memberikan arahan, saran, atau mungkin perintah yang intinya berfokus untuk memberikan solusi terhadap siswa tersebut. Karena saya kira, memberi hukuman hormat tiang bendera selama berjam-jam tidak akan membantu memberi solusi dan menyelesaikan masalah seorang anak yang punya kesulitan mengatur pola tidur.
4. Sikap antikritik dan tertutup pada evaluasi
Point terakhir yang mau saya sampaikan adalah hal yang saya kira perlu kita semua renungkan, termasuk untuk diri saya sendiri. Menjadi seorang guru terkadang membuat diri kita selalu berada dalam posisi yang ‘dominan’ di depan kelas. Sehingga tidak jarang hal ini menumbuhkan sikap antikritik, tertutup pada evaluasi, bahkan merasa diri paling mengerti “caranya mengajar” karena pengalaman mengajar yang lama. Pada kesempatan ini, saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita semua adalah manusia biasa, yang tentu tidak luput pada kekeliruan. Oleh karena itu, saya kira peran seorang guru (yang notabene sangatlah penting) juga perlu diiringi rasa keterbukaan untuk dapat terus mengevaluasi diri dan terbuka pada kritik.
Saya tau bahwa memang setiap guru memiliki cara yang unik dalam mengajar. Ada yang pembawaannya cenderung serius, ada yang sambil bercanda, ada yang cuma duduk di kursi sepanjang jam pelajaran berlangsung, ada yang kalo ngajar nggak bisa diem, ada yang lebih suka menjelaskan secara satu arah, ada yang cenderung mengajak 2–3 orang siswa berinteraksi, ada yang suka mengajak seluruh kelas berdiskusi, dan sebagainya. Sebetulnya bagi saya, tidak masalah cara mengajar guru itu seperti apa, selama tujuan proses mengajar itu tercapai, yaitu siswa dapat memahami materinya dan juga menikmati proses belajar itu sendiri.
Masalahnya, agar tujuan dan proses mengajar itu tercapai… saya kira semua pendidik, tidak terkecuali (termasuk saya sendiri) rasanya perlu berani untuk mengevaluasi dirinya sendiri. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa, tidak semua style mengajar guru itu sukses dalam membuat murid paham dan menikmati proses belajar. Sayangnya, beberapa kasus yang saya perhatikan, ada saja oknum guru yang memiliki sikap antikritik, terutama jika mereka merasa sudah memiliki pengalaman mengajar yang jauh lebih lama daripada rekan-rekan guru yang lain.
Menurut pendapat saya, sikap seperti inilah justru yang bisa menjadi masalah yang fatal dalam dunia pendidikan kita. Karena bagi seseorang tertutup pada evaluasi, boleh jadi mereka memiliki pengalaman mengajar yang lama, tetapi sebetulnya, mereka hanyalah mengulang pola mengajar yang keliru dan itu terus berulang selama bertahun-tahun lamanya.
Untuk melahirkan generasi penerus yang lebih baik, saya kira para tenaga pendidik perlu memiliki sikap terbuka pada kritik dan evaluasi. Apakah cara mengajar kita selama ini sudah tepat? Apakah cara kita mengajar mampu membuat siswa paham dengan materi yang dipelajari dan menikmati proses belajar?
Untuk membantu proses evaluasi diri guru, para siswa juga diharapkan berperan di dalamnya. Tolak ukur keberhasilan guru dalam mengajar adalah siswa. Jadi kalau kita ingin mengetahui sudah sejauh mana keberhasilan kita dalam mengajar, tanya pendapat murid-murid kita ; bukan pendapat kepala sekolah, bukan pendapat orangtua, bukan siapa-siapa melainkan murid kita sendiri. Bagikan angket anonim yang berisi pertanyaan tentang kesan/cara mengajar kita selama ini. Saya percaya jika setiap pendidik memiliki keterbukaan pada kritik dan saran, maka kualitas guru di Indonesia akan semakin baik.
————————————————————————————————————–
Itulah kurang lebih, beberapa pendapat dan pandangan saya tentang permasalahan dan tantangan yang kita hadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya peran guru dalam mengajar di sekolah. Dalam hal ini, saya pribadi tentu masih jauh dari sempurna. Masih ada banyak hal yang perlu saya evaluasi dan tingkatkan terkait kompetensi saya dalam mengajar. Tapi melalui artikel ini, saya harap bisa mendapatkan kesempatan untuk sekadar berbagi pendapat dan pandangan dalam dunia mengajar bersama rekan-rekan guru, maupun para siswa di seluruh Indonesia.
Tentu apa yang saya bagikan melalui artikel ini, tidak terlepas dari pandangan subjektif saya yang masih sangat mungkin bisa keliru. Oleh karena itu, saya berharap akan adanya diskusi yang sehat, masukan, pendapat atau gagasan lain, dan evaluasi dari pembaca sekalian. Terlepas dari itu, semoga apa yang saya sampai di sini dapat menjadi masukan dan manfaat bagi dunia pendidikan, khususnya para rekan-rekan guru dari seluruh Indonesia.
Akhir kata, di hari pendidikan nasional ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pendidik di mana pun kalian berada. Tetaplah berkarya dan berjuang demi kemajuan ilmu pengetahuan, bangsa, dan negara. Selamat Hari Pendidikan Nasional ! 🙂
****
Referensi:
http://www.researchgate.net/publication/273896836_Adolescents_Homework_Performance_in_Mathematics_and_Science_Personal_Factors_and_Teaching_Practices
http://www.ahaparenting.com/parenting-tools/positive-discipline/Consequences_Punishment
http://www.apa.org/pubs/journals/releases/edu-0000032.pdf
http://www.apa.org/news/press/releases/2015/03/math-science-homework.aspx
http://www.ahaparenting.com/blog/10_Ways_To_Guide_Children_Without_Discipline
http://thepeakperformancecenter.com/educational-learning/learning/principles-of-learning/memorization-vs-understanding/
http://www.interventioncentral.org/behavioral-interventions/challenging-students/what-every-teacher-should-know-about%E2%80%A6punishment-techni
http://everydaylife.globalpost.com/punishment-effectively-change-behavior-19487.html
http://www.parenting.com/article/too-much-homework-bad-for-kids
http://www.newkidscenter.com/Too-Much-Homework.html
http://www.smartclassroommanagement.com/2012/01/28/8-things-teachers-do-to-cause-boredom/
http://www.huffingtonpost.com/grant-wiggins/why-students-are-bored_b_4274474.html
http://www.m-edukasi.web.id/2014/10/pentingnya-evaluasi-pembelajaran.html
http://www.publishyourarticles.net/knowledge-hub/education/what-is-the-importance-of-evaluation/5390/
==========CATATAN EDITOR===========
Jika ada yang mau ngobrol atau berdiskusi dengan Luna, bisa langsung meninggalkan comment di bawah artikel ini. Selain artikel ini, kamu juga bisa membaca beberapa artikel yang relevan dengan topik pendidikan, di antaranya adalah:
Ki Hajar Dewantoro dl mnyampaikan pesan pd kita, “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”, artinya
– di depan menjadi teladan
– di tengah membangun semangat
– di belakang memberi dorongan untuk terus maju
Slogan ini ada dimn2 sprti seragam, buku rapor,dll tapi yg betul2 menerapkan maknanya hnya segelintir saja. Tulisan ini sprti mrangkum makna psan Ki Hajar Dewantoro tsb.
Iya betul, memang hanya segelintir yang menerapkan makna dari slogan tersebut. Hemat saya, hal itu terjadi karena banyak guru yang memandang “mengajar dan mendidik” sebatas masuk kelas, memberi tugas, dan memenuhi kehadiran saja; padahal peran guru lebih luas dari itu. Semoga keadaan pendidikan Indonesia lebih baik lagi ke depannya. 🙂
Berharap sekali guru-guru di sekolah bisa memberikan tugas yang membangkitkan rasa penasaran siswa.. seenggaknya ga cuma “yang penting selesai” :v apalagi kebanyakan tugas biasanya cuma bikin tulisan tambah rapi 😀 … Sukses untuk guru-guru Indonesia!
Nah iya, banyak juga PR yang cuma melatih kecepatan nulis dan ngetik (baca: nyontek, copas). :p Semoga para murid bisa lebih berani buat memberi masukan dan kritik terhadap guru mereka supaya bentuk tugas yang diberikan bisa lebih baik! 🙂
Bahkan ada guru yang “yang penting ngajar” entah muridnya paham gak sepertinya ga peduli. Jadi sedih jadi siswanya wkwkwk
kadang juga dikasih pr untuk ngerjain latihan soal 1 bab , yang itu tuhh banyaaak banget . nah pas udah selesai ngerjainnya terus temen2 cuma pada nyontek , kan kzl rasanya . guru-guru juga kurang terbuka sama muridnya . ada juga yang suruh bikin resume , eh temen-temennya cuma pada copas . ini kan artinya guru kurang efektif dalam memberikan pr atau tugas
Lebih kzl lagi kalau udah ngerjain latihan soal 1 bab (baik ngerjain sendiri ataupun nyontek), eh gak diperiksa sama gurunya. :p Btw, kalau kamu ngerasa tugas yang dikasih guru kamu kurang efektif, coba aja omongin baik-baik ke gurunya, supaya mereka tau tentang efektivitas tugas yang diberikan. 🙂
AAAAAAA !!!! Ada guru begitu. Ngerjain tugas sampe berlembar2, gak pernah ditandatangani apalg nilai, jarang masuk tp skalinya masuk tugas lg, nyari kesalahan mulu hampir semua murid di sklh, mau kzl tp malah bermasalah sm nilai. Lengkap sudah… T_T
Nahh iya nih! Jd inget drama school 2013 sm film 3 idots wqwqwq
Sebenarnya pr itu agak membebani. Kita sdh sekolah sampai sore, terkadang itu pun cuma di ajari teori. Pelajaran terkesan abstrak. Di kasih pr yg kadang ngerangkum dll dan itu hampir setiap hari + pelajaran yg berbeda2. Kita dicetak untuk lulus UN, snmptn, sbmptn dll. Sampai lupa untuk belajar bersosialisasi, bermain, membantu ortu dll. Berasa hidup kayak perlombaan kalau kek gini wqwqwq
School 2013, wah kamu nonton Drama Korea juga nih, tos dulu! 😀 PR dan tugas itu jadi sangat membebani kalo porsinya kebanyakan, masalahnya banyak guru yang suka ngasih tugas kebanyakan. 🙁 Semoga guru yang membaca artikel ini bisa lebih memahami murid-muridnya ya. 🙂
Artikel yg bagus sekali. Byk guru yg cenderung anti kritik krn sdh terbiasa dlm posisi yg dituakan & dihormati. Guru jg manusia, yg pengalaman mengajar 10-20 tahun, bisa saja berbuat salah. Justru krn itulah, guru Indonesia harus berani dievaluasi.
Wah, terima kasih. 🙂 Nah iya, memang banyak guru yang anti-kritik, bahkan dikritik oleh sesama guru pun enggan, apalagi oleh siswa yang masih belasan tahun. Guru hebat itu bukan guru yang paling lama mengajar, melainkan guru yang mau dievaluasi dan mampu mengevaluasi diri tentang bagaimana cara dia mengajar. 🙂
kalau dibandingin sama smp… kayaknya tugas waktu di smp lebih seru… bikin video …. drama…. iklan…. ato malah project gitu… kalo sma rasanya malah ngebebanin.. soalnya makalah terus tugasnya… ato nggak searching tentang materi apaan tapi ujung2nya bukannya kita explore pake bahasa sendiri , tapi malah kopas dri internet smua, atau kalau ada temen yg bagus hasilnya dicontekin rame-rame…
terus ujiannya 18 pelajaran seminggu…. haduhhh -_-
Nah, gue paham banget nih kelakuan anak sekolah. Kalau diminta bikin makalah, paling copas. Udah gitu, hasil copas-an baru akan dibaca menjelang presentasi di kelas. Hihihi :p So, gue tau bahwa tugas makalah emang cukup ngebebanin, apalagi kalau waktunya mepet; di sini gue cuma bisa kasih saran supaya pas bikin makalah, kalau bisa gak tokk copas. Lo baca dulu artikel yang ada di internet lalu lo tulis ulang deh pakai gaya bahasa lo sendiri. Siapa tau nih, dengan kebiasan sederhana itu, lo bisa lebih jago ngerangkai kata dan jadi penulis kelak. 🙂
satu lagi artikel keren di zenius, mantap…
statement di atas bahwa PR/TUGAS MENGHALANGI SISWA UNTUK BELAJAR, itu menurut gua bener. pengalaman gua sendiri, lagi sakaw-sakawnya belajar, eh inget tugas X belum dikerjain. mending aja kalo tugas cuma latihan soal, lah ini ngerjain tugas2 di buku bahasa indonesia berlembar-lembar dengan deadline cuma sehari. stres? pasti
gua juga kurang paham motif guru ngasih tugas buat apa. tiga tahun di SMA, kayaknya masing-masing guru ngasih tugas biar anak muridnya gak nganggur doang. gua pernah denger guru ngomong bahwa siswa harusnya bersyukur diberi tugas oleh guru. liat anak-anak yang gak sekolah, mereka tuh pengen dikasih tugas kayak kalian. lagi pula, dari pada kalian nganggur ga jelas di rumah, lebih baik diberi tugas. well, emang gua akui ada siswa totally nganggur, gak ngapa-ngapain, maen melintang, dsb. tapi ada juga kok yang nganggurnya bermanfaat, misal bikin eksperimenlah, nyari insight (di zenius misalnya), atau berorganisasi.
next gaya ngajar. gua baru melek tentang gaya ngajar sejak pedekate ama zenius bulan juli lalu. ternyata hampir semua (hampir ya) ngajarnya kurang konseptual artinya bukan ngacu ke ilmunya tapi ke buku-buku yang cenderung hafalan mati. bahkan ada pula guru yang terbata-bata saat ngejelasin ke muridnya. buat gua ini fatal, merepresentasikan bahwa guru itu belum sepenuhnya ngerti apa yang dia ajarin ke muridnya. gua lebih suka guru yang nyuruh siswanya buat cari bahan materi dari media manapun, gak terpaku buku doang, dan nyuruh muridnya juga buat ngejelasin. metode ini bikin siswa belajar dengan nyoba buat memahami alias gak ngafalin doang. juga ngelatih siswa buat ngomong di depan publik (depan kelas). ada juga guru yang metode ngajarnya nuuuuulllllliiiiiiissss mulu… tapi antara tulisan dan penjelasan berbanding terbalik. buku tulis udah abis berlembar-lembar, tapi otak masih kosong.
#curhatan siswa semester lima#
#siswa biasa aja#
Hai Alfinsa, gue rasa, mungkin maksud guru lo baik dalam memberikan banyak tugas (misalnya supaya anak-anak bisa termotivasi untuk belajar di rumah). Sayangnya, maksud dan tujuan yang baik itu gak akan tercapai kalau cara yang ditempuh itu salah/kurang tepat. Btw, lo bisa bicara baik-baik ke guru lo terkait tugas, lo jelasin bahwa lo (dan temen-temen) ngerasa terbebani, lo juga jelasin ke guru bahwa kalau lagi di rumah lo tuh gak selalu nganggur, melainkan melakukan hal lain yang mungkin di luar konteks akademis tp hal itu sangat bermanfaat buat perkembangan lo. Nah, mungkin lo juga bisa kasih artikel ini ke guru lo supaya mereka baca. Gue yakin kok, kalau lo (atau teman) menyampaikan ini dengan baik-baik ke guru lo, mereka akan menerima kritikan tsb dengan baik juga 🙂
Hai juga Nurul. Thanks for advice buat ngomong baik-baik ke guru ybs. Gue pernah coba ngomong—nyeletuk tepatnya—“Bu tugas kita bukan cuma pelajaran xxx aja loh, Bu. Tugas lain banyak, yekali pelajaran Ibu banyak juga.” and then gurunya jawab, “Namanya pelajar harus dikasih tugas. Ibu juga sadar banyak pelajaran lain selain pelajaran Ibu, tapi itu pinter-pinternya kalian ngatur waktu. Kalau kamu bisa atur waktu, tugas juga bisa selesai.” Gue pikir, dengan mengartikan ‘tugas’ itu demikian, sama aja nguras waktu doang, biar gak cuma main, nongkrong, dsb.
Gue juga menyadari, kualitas tugas juga dipengaruhi dari kualitas gurunya, paham atau enggak esensi ngasih tugasnya apa, hehe..
Nah gue pas nyeletuk juga masalah tugas malah dibilangim gini sama gurunya “kok kamu ngatur saya? Kalau kamu sekolah, tugas nya memang begini” or kepala gue dijitakin sama gurunya —
Fyuuh kalau nyeletuk nilai bermasalah , itu sih point nya. Apalagi udah kls12.
kayaknya gurunya ngalamin hal yang sama ketika sekolah, atau emang malah ga ngerti esensi tugas itu apa -.-)
kwkwkwk..
kalau ane malah dibilingin kek gini, “Sekolah itu contoh kecil dari kehidupan kuliah nanti. Kalau kamu udah ngeluh sama tugas sekolah yang sekarang, gimana kuliah nanti. Kuliah akan lebih banyak lagi yang mesti dilakuin”.
Entahlah.. itu bener apa enggak :3
Btw, kk suka ngajar pelajaran apa?
Bener tuh tiap point yg bikin nyesek buat sekolah soalnya gw sekolah di pesantren yang nyatuin pelajaran nasional dan agama. Jreng jreng jreng ! jadilah 42 pelajaran dalam seminggu dengan tugas yang tak pernah habis tiap minggu haha.
Yg penting kerja sama dalam KBM nya biar saling intropeksi diri :3
Pendidikan Di indoneisa emang udah gagal gan :3 belajar di sekolah sama di bimbel lebih ngerti di bimbel :3 kalo ada bimbel ngapain sekolah School=Wasting time :3
Hai Furqon… Menurut gue, sekolah itu gak wasting time kok. Meskipun kualitas pendidikan formal di Indonesia masih belum begitu baik, ada banyak hal lain yang bisa lo dapetin di sekolah. Misalnya, lo bisa belajar bersosialisasi, bisa belajar berorganisasi, bisa juga mengasah hobi lo melalui kegiatan ekstrakulikuler, dsb. 🙂
well , ada betul nya juga sih :3
Hai Furqon… Menurut gue, sekolah itu gak wasting time kok. Meskipun kualitas pendidikan formal di Indonesia masih belum begitu baik, ada banyak hal lain yang bisa lo dapetin di sekolah. Misalnya, lo bisa belajar bersosialisasi, bisa belajar berorganisasi, bisa juga mengasah hobi lo melalui kegiatan ekstrakulikuler, dsb. 🙂
Good article. Coba aja guru2 gue baca beginian, mungkin cara ngajar mereka gabakal separah ini. FYI di sekolah gue tiap guru pasti ngasih tugas dengan deadline yang mepet2 banget. Mungkin besok ataupun 2 hari. Yang bikin pusing itu semua matpel ada tugas dan ada ulangan juga. Dikumpulinnya barengan dan ngasi tugasnya juga barengan. Akhirnya siswa kurang ngerti sama esensi ilmunya. Banyak temen2 gue bahkan gue sendiri yang nyari jawaban dari tugas2 di internet kalo ngga gitu liat kelas sebelah :v akhirnya pas ulangan nilainya banyak yang kurang. Actually, guru ngasi tugas itu baik, tapi bener kata lo kalo frekuensinya bisa ngrubah segalanya, jadi gabaik.
Buat cara mengajar guru2 gue. Dari 10 guru yang ngajar di kelas gue yang gue nilai bagus, asik, dan bikin paham, cuma 3-4 orang. Well, masih banyak yang ngajarnya asal2an dalam artian “pokoknya ngajar” dikasi tugas trus keluar trus gadijelasin trus dianggap kelar materinya. Kalau ngga gitu bikin peraturan selama dia ngajar yang bikin siswa kurang enjoy menikmati proses belajar mereka di kelas bahkan endingnya tertekan dan terkekang. Guru2 juga banyak yang anti kritik. Dimana saat mereka dikritik sedikit saja katanya kita (murid) tidak tahu apa-apa tentang gaya mengajar atau apapun. Please deh generasi sekarang beda kayak generasi jaman dulu. Semoga saja guru indonesia bisa lebih menerima kritik murid dan menyatu dengan murid serta tidak memberi tugas kebanyakan kepada murid setelah membaca artikel ini. “Nilai itu bukan segalanya, Bu. Menurut kami ilmu yang lebih penting” :v
Satu yang menyedihkan adalah dimana sepertinya derajat pengetahuan direndahkan.Ilmu-ilmu pengetahuan merupakan budaya umat manusia dalam bernalar, namun justru diajarkan di sekolah layaknya fakta-fakta asing yang harus dicerna sebagai doktrin.IMO telah terjadi alienasi antara siswa dengan ilmu tersebut. Ilmu pengetahuan mendapat imej sebagai sesuatu yang jauh, mengawang-awang, sulit, dan membosankan.
Maunya nulis lebih panjang, biasanya sering kepikiran yang kayak gini tapi suka kelupaan :((
betul banget. aku prihatin banget aku lihat banyak guru2 yang gak punya inisiatif untuk bikin murid2nya betah banget sama pelajaran yg diajarin. di sklhku ada guru fisika yang bikin sistem penilaian tugas kayak gini: siapa tercepat dia dapat bonus nilai tertinggi, siapa terlambat dia tidak dapat bonus secuilpun. guru kimia yang kecepatan mengajarnya seperti pembalap motocross, guru agama yang memberi tugas ke siswa seberat tugas mahasiswa & guru lain yg gak punya inisiatif untuk mencerdaskan murid secara total. kalo seperti ini, apa tujuan mereka jadi guru?
Kak, mau nanya
Apakah harus seorang guru mempunyai tulisan bagus ?
Perkenalkan saya seorang guru smk, ngajar produktif multimedia, saya cma mau bilang artikel anda masuk akal juga, tapi jika diterapkan pada siswa yg berasal dari keluarga dan lingkungan terpelajar,,coba dech anda sekali-kali ngajar di pedalaman dan lingkungan yg rata2 pendidikannya rendah (tamatan sd), atau coba aja anda mengajar di sekolah yg biasa kami bilang, “sekolah buangan”. Dalam artian dmna sekolah masih mengutamakan kuantitas siswa/i, di situ menampung anak2 yg bermasalah, dan saya sdh 2 tahun di dalamnya. Setelah anda sdh bergabung didalam sekolah itu, ya paling tidak 1 tahunlah, tolong kasih lagi artikel bgaimana cara agar menjadi guru yg baik, di kondisi yg seperti itu. By the way saya ada dipedalaman kalimantan. Terima kasih
Benar sekali, kalau sekadar ngomong aja emang gampang.
Artikelnya bagus banget kak.
Sebagai siswa memang kita setuju dengan hal bahwa tugas memang membebani. Tetapi apa fungsi rpp yang dirancang guru?? Dan dalam kompetensi pedagogik, guru harus berkompeten.
Setuju banget sih sama artikelnya.
Jadi gue mau nanya nih, teori apa yang cocok diterapkan dalam dunia pendidikan yang dalm artinya guru berhasil dinilai siswa.
Guru harus meberikan pengertian LOGIKA MENJADI seorang MANUSIA