Apa satu kejadian di masa lalu yang elo harap bisa diulang? Satu momen yang menurut elo ketika dijalanin lagi bisa mengubah hidup elo?
Gils! Berat banget, Sob. Gue sih berharap bisa mengulang momen gue sarapan pagi ini sih. Gue baru nyadar kalau sambal di bubur ayam bisa bikin sakit perut.
Tapi ya kali elo dikasih kesempatan buat klik tombol redo di hidup elo, tapi elo pakai cuma buat ngurangin jumlah sambal yang elo tuangin ke sarapan elo? You can do better, lah. Elo bisa mengulang saat-saat elo ngerjain tes semesteran supaya nilai elo lebih baik. Atau elo juga bisa mengulang momen malam minggu kemarin supaya si dia nggak ngambek sama elo.
Eits, tunggu dulu. Emang semudah itu ya, buat kita untuk berkata “kalau saja waktu itu” dan lalu mengulang waktu? Tentu tidak. Hidup kita nggak sesederhana itu, Sob. Mengutip Markus Aurelius, Sang Kaisar Roma yang juga filsuf kenamaan di zamannya, “Waktu itu seperti sungai yang berisi serangkaian kejadian, terus mengalir.”
Dih … sabi juga nih, si Markus.
Tapi bukannya sungai bisa dimanipulasi ya? Tuh, Bapak Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yakin kalau pemerintah kota bisa bisa menaturalisasi sungai buat menanggulangi banjir. Atau normalisasi ya? Mana sih, yang benar?
Anyway, mengacu pada konsep bahwa waktu itu seperti sungai yang mengalir, this means bahwa waktu juga bisa dimanipulasi. Kan, sungai bisa dibendung? Waktu juga bisa, dong?
Okay then, mari kita buat mesin waktu, kalau gitu.
Apa itu Paradoks?
Sebelum kita menjelajah lebih jauh seperti Marty McFly dan Doc Brown dari trilogi Back to the Future (1985), yuk kita ngomongin soal risikonya. Apa aja sih hal buruk yang mungkin terjadi ketika kita bisa menjelajah waktu?
Setiap perjalanan pasti ada risikonya. Baik itu perjalanan darat, laut, udara, maupun antar dimensi. Kita berisiko kehabisan bahan bakar di jalan tol. Kalau naik pesawat, kita juga ada kemungkinan mengalami turbulensi yang mengocok isi perut. Kalau naik kapal, well, you’d better watch Titanic.
Lalu apa risiko perjalanan ke masa lalu?
Paradoks, tentu saja. Apa itu paradoks? Temannya karedok? Bukan, paradoks nggak pakai saus kacang. And it’s not food at all.
Mengutip kamus Merriam-Webster, paradoks adalah prinsip kontradiksi untuk menerima sebuah gagasan atau ide atau opini. Jadi secara linguistik, paradoks itu adalah suatu keadaan kontradiktif. Gini deh, gampangnya:
Elo abis jalan-jalan sama temen elo. Seharian elo keluar rumah. Elo main ke mall. Elo cari baju di H&M. Elo ke mana-mana lah pokoknya. Terus elo balik rumah. Sampai rumah elo capek. Wajar dong. Elo capek banget sehingga elo pengen istirahat. Elo rebahan di kasur, memejamkan mata, tapi tetap nggak bisa tidur.
That’s a paradox. Elo capek banget sampai elo nggak bisa tidur.
Contoh lain:
Elo tuh sering banget diisengin sama adik elo. Iseng banget lah, pokoknya. Baju elo dipakai. Donat yang elo simpen di lemari es juga diembat. Stick PS elo dirusakin. Banyak deh, pokoknya. Lalu suatu saat mami elo bilang kalau si adik ini mau sekolah asrama (soalnya isengnya nggak ketolongan). Elo senang dengar itu, tapi at the same time elo ngerasa bahwa elo akan merindukan keisengan dia.
Nah, time travel itu berisiko menciptakan situasi paradoksal. Seperti apa? Mari kita tanya Om Novikov.
Igor Dmitriyevich Novikov adalah seorang ahli astrofisika kenamaan dari Russia yang pertama kali mengenalkan konsep causal loop, atau yang kemudian sering dikaitkan dengan the Grandfather Paradox. Apa itu causal loop dan paradoks kakek?
Coba gue persingkat bahasan kita dengan contoh seperti ini. Elo bingung banget memahami materi termokimia. Waktu tes, nilai elo jatuh. Terus temen elo ngenalin elo sama Zenius. Karena di Zenius ada macam-macam materi belajar yang mudah untuk dipahami dan asyik, elo jadi paham nih sama termokimia.
Someday, elo menemukan cara untuk kembali ke masa lalu. Karena elo masih nyesek sama nilai tes kimia itu, elo memutuskan untuk kembali ke masa lalu dan mengenalkan Zenius ke diri elo sendiri beberapa hari sebelum tes materi termokimia itu berlangsung. Alhasil, elo berhasil dapat nilai bagus.
Pertanyaannya adalah, ketika elo kembali ke saat ini, nilai elo yang tercatat yang mana, nih? Nilai yang sebelum elo kenal Zenius? Atau yang setelahnya?
See? Time travel itu kompleks, Sob. Ini kita baru bahas risiko pergantian nilai. Coba kita bahas isu perdamaian dunia. Coba kita bisa kembali ke masa lalu kita terus culik Adolf Hitler dan bawa dia ke Depok untuk buka outlet cilok. Landscape global berubah, nggak? Alternate universe, itu namanya.
Tentang Mesin Waktu
Jadi pertanyaannya sekarang adalah: Kita beli mesin waktu di mana, ya? Bentuknya seperti apa? Tony Stark dan kawan-kawan cuma pakai kostum dan jam tangan tuh di Avengers: Endgame (2019). Nobita dan Doraemon malah lebih absurd, masuk ke laci meja.
Jadi gambaran mesin waktu yang paling tepat itu seperti apa? For that, Marty McFly and Doc Brown did it right. At least, mereka tepat dalam mendefinisikan bahwa kendaraan dan kecepatan tertentu dibutuhkan untuk bisa melintas dimensi waktu.
Mari kita berhitung sejenak, yuk.
Pada hari Rabu, Adolf dan Joseph minum kopi di rumah Benny. Lalu Adolf, karena saking isengnya, memutuskan untuk naik pesawat memutari dunia. Pesawat yang ditumpangi Adolf itu revolusioner, karena memecahkan rekor kecepatan dunia dengan melaju secepat 44.000 km/jam alias 25 kali lebih cepat dari kecepatan rotasi bumi dan 48 kali lebih cepat dari pesawat Boeing 747 milik maskapai penerbangan Garuda.
Adolf naik pesawat selama satu jam dan mendarat di depan rumah Benny. Karena Adolf sudah melewati 24 jam zona waktu dan batas penanggalan internasional (International Date Line), technically Adolf yang turun dari pesawat dan bertemu Benny dan Joseph adalah Adolf versi hari Kamis, dong.
Adolf yang sama, tapi dari masa depan.
Itu salah satu bentuk penjelasan penerapan penjelajahan waktu yang masih dalam ranah non-fiksi. Apakah itu memungkinkan? Well, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pernah mengembangkan pesawat hipersonik dengan nama X43. Pesawat nirawak tersebut “hanya” berhasil menyentuh kecepatan 11.000 km/jam, seperempat kecepatan yang dibutuhkan Adolf.
So, jawaban untuk dialektika mesin waktu adalah tidak, untuk saat ini. Kita masih berjuang untuk menemukan sumber energi yang dapat menciptakan propulsi yang cukup besar sehingga pesawat bisa melaju secepat itu. Kita masih jauh dari pembuktian konkret dilasi waktu yang diajukan oleh Einstein dalam teori relativitas. Perjalanan menembus kecepatan cahaya masih hanya di atas kertas dan dalam angan para ilmuwan.
Bukannya tidak mungkin, lho. Someday, it might be. But until then, yuk pantengin Zenius sambil belajar banyak tentang hal-hal serupa. Who knows, you’ll be the next inventor of the century.
Who knows, perjalanan antar-dimensi itu bakal jadi temuan elo di masa depan. Yuk, bisa yuk!
Referensi:
What we get wrong about time – BBC (2021)
Atasi Banjir, Anies Terbitkan Pergub Konsep Naturalisasi Sungai – Suara (2019)
Apakah yang dimaksud dengan Paradoks (Paradox)? – Sederet.com
NASA X-43 – Aerospace Technology
Leave a Comment