Kenapa sih Bencana Kabut Asap ini Ga Habis-habis?

Bagaimana hutan bisa terbakar? Artikel ini menjelaskan penyebab kebakaran hutan, upaya penanggulangan yang efektif dan juga upaya pencegahan.

Dua bulan sudah, kabut asap tebal menyelimuti kota-kota di Sumatra dan Kalimantan. Itu berarti 40 juta warga Indonesia terkena paparan asap akibat kebakaran hutan sejak Agustus 2015 silam. Dengan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) berada pada tingkat berbahaya, jarak pandang bisa menurun hingga 1030 meter. Akibatnya, sekolah banyak diliburkan. Beberapa aktivitas warga ikut terganggu. Kerugian ekonomi akibat kabut asap disinyalir mencapai lebih dari Rp 20 triliun.  Ditambah lagi, puluhan ribu warga terserang ISPA (infeksi saluran pernapasan akut). Kabut asap ini juga telah memperburuk kondisi kesehatan beberapa warga hingga merenggut nyawa mereka. Ingin rasanya mengungsi, tetapi bandara di kota-kota tertentu, seperti Pekanbaru, beberapa kali lumpuh total. Belum lagi beberapa negara tetangga kita ikut terkena dampak dari bencana kabut asap ini, seperti Singapura dan Malaysia.

Tidak sedikit warga yang mengutuk para pelaku kebakaran hutan yang dipandang menjadi dalang bencana kabut asap. Ada pula yang mengecam pemerintah karena dipandang lamban mengatasi situasi yang sudah mencapai level darurat ini. Di tengah keputusasaan menghadapi kabut asap, berbagai kampanye bermunculan untuk meningkatkan kesadaran, menggalang bantuan, hingga mendorong aksi mengatasi kabut asap, seperti video berikut:

 

Tapi, sebagian besar dari kita mungkin gemas, kenapa kok kabut asap nggak habis-habis? Bukankah beberapa hari yang lalu sudah sempat turun hujan? Apa benar pemerintah kali ini lelet dalam mengatasi masalah kabut asap? Atau memang kabut asap tahun 2015 kali ini adalah yang terparah sepanjang sejarah perkabutasapan di Indonesia? Lalu, kenapa pula masalah kabut asap kerap sekali muncul di Sumatra dan Kalimantan? Nggak jarang gue melihat cerita yang berseliweran di sosial media dari para warga Sumatra/ Kalimantan. Ketika kecil, mereka pernah merasakan libur sekolah karena kabut asap. Hingga kini, mereka udah kerja dan punya anak, eh giliran anak mereka sekarang yang libur sekolah karena kabut asap. Kabut asap telah menjadi lagu lama dan masalah yang tak pernah tuntas bagi beberapa kota di Sumatera dan Kalimantan.

kabut asap banner

Nah, tulisan ZeniusBlog kali ini hadir untuk menjawab semua pertanyaan tersebut sekaligus bentuk keprihatinan kami terhadap situasi kabut asap di Sumatera dan Kalimantan. Gue tertarik ngebahas masalah ini karena ini masalah sangat erat kaitannya dengan Ekologi, ilmu yang gue pelajarin pas gue kuliah. Untuk bisa menjawab semua pertanyaan tersebut, pertama-tama tentunya gue perlu menjelaskan perihal kebakaran hutan itu sendiri, konteksnya untuk wilayah Sumatra dan Kalimantan, hingga alternatif-alternatif penanganan kebakaran hutan. Gue berharap dengan adanya pemahaman yang lebih baik tentang kebakaran hutan, kita semua bisa jadi lebih bijak dalam memandang hingga mendukung aksi penanganan kabut asap yang sedang berlangsung. Oke deh, langsung aja kita bahas.

 

Pengenalan masalah kebakaran hutan

Oke, yang pertama bakalan gue bahas adalah apa sih sebenernya kebakaran hutan itu? Gue rasa bahasan ini penting untuk mencegah pemahaman yang salah tentang masalah kebakaran hutan. Sebenernya kebakaran hutan itu adalah proses yang secara alami terjadi di alam. Nah, bingung nggak lo? Jadi, kebakaran itu emang bagian dari siklus alami dari ekosistem hutan. Kebakaran hutan normal terjadi pada saat musim kering. Kebakaran ini memiliki fungsi sangat penting bagi ekosistem hutan, yaitu untuk menjaga keanekaragaman jenis (spesies) tumbuhan dan hewan yang ada di hutan. Mungkin lo bakal mikir, “lah kebakaran kan justru ngancurin keanekaragaman dong, kok malah menjaga sih?” Kebakaran hutan alami bakal mencegah adanya spesies yang mendominasi di hutan. Kalo ada spesies yang mendominasi, tentu bakal mendesak kehidupan spesies lain dong sehingga risikonya keanekaragaman bakal rendah. Padahal, hutan yang bagus adalah hutan yang memiliki keanekaragaman hewan dan tumbuhan yang tinggi.

Indonesia sebagai negara beriklim tropis memiliki 2 tipe musim sepanjang tahun, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Kebakaran hutan di Indonesia umumnya terjadi secara alami di musim kemarau. Yah, lo bayangin aja, di hutan pasti banyak ranting pohon dan daun-daun kering yang ada di tanahnya. Saat musim kemarau, daun-daun dan ranting pohon menjadi kering. Jika terkena panas terus-menerus, ranting pohon itu bakalan terbakar. Itulah penyebab alami dari kebakaran hutan.

Tapi perlu diingat, kebakaran yang murni karena siklus alam, biasanya tidak menyebar terlalu luas. Kenapa? Karena tumbuhan hidup mengandung air yang banyak sehingga sangat sulit untuk terbakar. Maka dari itu, kebakaran alami biasanya hanya menghasilkan kebakaran yang relatif ringan.

Namun, jika kebakaran yang terjadi sangat besar dan luas, ini akan berdampak buruk bagi ekosistem hutan. Meskipun kebakaran hutan dapat terjadi secara alami, di Indonesia, kebakaran hutan sering disebabkan atau diperparah oleh ulah manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, manusia bisa bikin hutan kebakaran dengan tindakan-tindakan, seperti pembukaan lahan dengan cara dibakar, pemakaian api yang tidak benar saat berada di dalam hutan, dll. Secara tidak langsung, manusia juga dapat mempermudah terjadinya kebakaran hutan dengan mengubah fungsi lahan yang ada, seperti pengeringan rawa-rawa gambut.

 

El Nino dan La Nina

Seperti yang udah gue mention di atas, faktor iklim jadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya kebakaran hutan, yaitu kemungkinan terjadinya kebakaran membesar saat musim kering. Dengan banyaknya pemberitaan tentang kabut asap, mungkin beberapa dari lo udah nggak asing lagi nih dengan istilah El Nino dan La Nina. Bukan-bukan. Ini bukan judul lagu dari penyanyi Latin papan atas tangga lagu Amrik.

El Nino dan La Nina ini merupakan siklus anomali (penyimpangan) iklim yang terjadi di Samudra Pasifik. Keduanya itu merupakan pasangan yang saling berlawanan. Sederhananya, El Nino menyebabkan kekeringan di daerah Indonesia dan Australia sedangkan curah hujan tinggi di benua Amerika. Sebaliknya, La Nina menyebabkan kekeringan di benua Amerika sedangkan curah hujan yang sangat tinggi di Indonesia dan Australia. Siklus ini berlangsung dalam waktu sekitar 5 tahun atau 7 tahun sekali. Waktu efek El Nino atau pun La Nina dapat berlangsung sekitar 9 bulan sampai dengan 12 bulan. Namanya juga anomali, kadang agak sulit diprediksi. Untuk lihat proses terjadinya El Nino dan La Nina, lo bisa liat video ini:

 

Nah, mungkin sebagian besar dari lo udah tau nih sekarang lagi siklus apa? Ya, akhir-akhir ini daerah Pasifik sedang mengalami El Nino yang berakibat pada kekeringan di Indonesia. Lo mungkin udah ngerasain tuh, sekarang rasanya Indonesia lagi jarang banget ujan dan langit tampaknya lagi terik mulu. FYI, ini juga kasih dampak tambahan pada para warga yang lagi diselubungi kabut asap. Udah nafas sesak karena kabut, di sana juga sering mati lampu karena  pemadaman listrik bergilir. Soalnya, PLTA di sana kering karena hujan jarang turun 🙁 Di Jakarta sendiri, udah ada tuh beberapa warga yang numpang mandi dan nyuci di rumah tetangganya karena rumahnya kekeringan air.

Sebelum El Nino 2015 kini, pusat prakiraan iklim Amerika (Climate Prediction Center) mencatat bahwa sejak tahun 1950, telah terjadi setidaknya 22 kali fenomena El-Nino. Enam kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitas kuat yaitu 1957/1958, 1965/1966, 1972/1973, 1982/1983, 1987/1988 dan 1997/1998. Tahun 1997 sering diingat sebagai terjangan El Nino yang terkuat sepanjang sejarah Indonesia. Mungkin lo bisa tanya ke kakak atau orang tua kalian, pada tahun 1997 terjadi bencana kekeringan yang luas di Indonesia. Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah di seluruh dunia dan banyak mencuri perhatian dunia internasional. Berdasarkan analisis terbaru dari National Oceanic and Atmospheric Administration dan NASA, El Nino 2015 akan terus menguat menyamai El Nino 1997.

Mari kita liat gambar potensi awan hujan yang diambil pada tanggal 10 Oktober 2015 oleh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional):

awan hujan
Sumber: http://sadewa.sains.lapan.go.id/ (lo bisa klik link ini untuk liat data real time nya)

 

Gambar awan hitam merepresentasikan awan potensi hujan. Bisa lo liat pada gambar di atas, awan hujan sangat jarang  muncul di Indonesia. Padahal, biasanya kita diajarin di sekolah, kalo nama bulannya berakhiran –ber, seperti September – Desember, itu identik dengan ember, artinya Indonesia udah masuk musim hujan. Hehehe. Tapi dengan datangnya anomali El Nino, hingga Oktober kini, hujan masih juarang banget turun.

Nah, kondisi kering yang berkepanjangan ini yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan di seluruh wilayah Indonesia. Iya, seluruh wilayah Indonesia, bukan cuman di Sumatera dan Kalimantan aja. Lo bisa perhatikan gambar di persebaran titik api (hot spot) yang ada di Indonesia pada tanggal 14 Oktober 2015:

Sumber: http://fires.globalforestwatch.org/#v=map&x=122.07&y=-5.44&l=4&lyrs=Active_Fires (lo bisa klik link untuk liat data realtime)
Sumber: http://fires.globalforestwatch.org/#v=map&x=122.07&y=-5.44&l=4&lyrs=Active_Fires (lo bisa klik link untuk liat data realtime)

 

Warna kuning merupakan tempat yang kebakarannya paling parah. Warna abu-abu yang kebakarannya “paling mendingan” (bukan berarti kecil loh). Dari gambar di atas, lo bisa liat bahwa titik api (hotspot) terdapat di hampir seluruh Indonesia, Tapi memang, yang paling parah ada di Sumatera dan Kalimantan. Makanya, media di Indonesia pada fokus beritain kebakaran dan asap yang ada di Sumatera dan Kalimantan aja. Nah dari sini, timbul pertanyaan, kenapa kok kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera yang paling parah? Itu faktor dari lahan gambut yang sangat banyak terdapat di Kalimantan dan Sumatera.

 

Kenapa kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan paling parah?

Di bagian atas udah sedikit gue singgung bahwa Sumatra dan Kalimantan mengalami kebakaran hutan paling parah karena memiliki banyak lahan dengan jenis tanah gambut. Emangnya apa sih hubungannya lahan gambut dengan kebakaran hutan? Nah, lo mesti tau apa itu tanah gambut.

rawa gambut
Contoh penampakan lahan gambut alami. Sumber: Mongabay.com.

 

Apa itu lahan gambut?

Tanah gambut sebenernya bukan “beneran” tanah coi. Tanah gambut merupakan lapisan organik (seperti kayu) hasil dekomposisi (penguraian) yang tidak sempurna dari tumbuhan. Apa tuh maksudnya? Jadi gini, alaminya kan ketika makhluk hidup mati, sisa-sisa tubuhnya akan terurai (terdekomposisi) menjadi unsur hara dan CO2. Proses dekomposisi ini membutuhkan oksigen (keadaan aerob). Pada proses pembentukan tanah gambut, sisa-sisa tumbuhan yang telah mati (terutama kayunya) terendam oleh air, biasanya dari air hujan yang terkumpul di cekungan di dataran datar. Kalo kasusnya sisa tumbuhan mati itu kerendem air, berarti proses dekomposisinya akan menggunakan molekul-molekul oksigen yang ada di dalam air. Tapi, kadar oksigen di dalam genangan air itu terbatas karena airnya itu-itu aja, nggak ada aliran. Sampai suatu saat, oksigen di air tersebut habis (kondisi anaerob). Proses dekomposisi sisa-sisa tumbuhan jadi lambat. Akumulasi dekomposisi yang sangat lambat inilah yang akan membentuk lapisan gambut. Singkatnya, lapisan gambut adalah seperti tumpukan kayu hasil dari lambatnya proses dekomposisi karena sisa-sisa tumbuhan terendam oleh air.

Ekosistem yang membentuk lapisan gambut biasa disebut juga dengan ekosistem rawa gambut (rawa karena banyak air). Banyak terjadi di daerah dengan tanah datar, karena ada cekungan dikit, air pada langsung ngumpul. Lapisan gambut yang terbentuk di sana bisa sampai sedalam 10–20 m. Gambaran proses pembentukan lahan gambut bisa lo liat di gambar ini:

pembentukan gambut

 

Kenapa Sumatera dan Kalimantan punya banyak lahan gambut?

Oke, setelah tau gimana lahan gambut terbentuk, pertanyaan selanjutnya adalah: “Terus kenapa Sumatra dan Kalimantan punya banyak lahan gambut?” Kemungkinan besar lo udah bisa jawab, tapi coba liat yuk gambar persebaran tipe hujan dan peta kontur Indonesia di bawah ini:

peta curah hujan
Sumber: Prof. Arwin Sabar, ringkasan kuliah Aplikasi Finite Different

peta kontur

Nah bisa lo liat tuh, pada gambar di atas (peta persebaran hujan), curah hujan di Sumatera dan Kalimantan lebih tinggi daripada Jawa dan Sulawesi. Terus, pada gambar bawah (peta kontur), sebagian besar kontur Pulau Sumatera dan Kalimantan adalah daerah yang datar. Nah, kombinasi dari curah hujan tinggi dan lahan yang relatif datar akan menghasilkan banyak lahan yang terendam oleh air. Lahan yang terendam oleh air ini yang berpotensi membentuk ekosistem rawa gambut.

 

Lah kan rawa banyak airnya, kenapa kok lahan gambut jadi bikin kebakaran?

Nah, di situ permasalahannya. Secara alami, lahan gambut sangat sulit terbakar karena lahan gambut terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang terendam oleh air (makanya disebut rawa gambut, karna kerendem air) seperti yang bisa lo lihat sebelumnya di gambar penampakan alami hutan gambut.

TAPIII… Lahan gambut bisa mudah kebakar saat lahan gambut dikeringkan! Lah? Buat apaan lahan gambut dikeringkan? Itu dia, ternyata banyak manusia yang menganggap lahan gambut merupakan lahan yang nggak produktif. Untuk bikin lahan gambut produktif (dijadikan lahan pertanian dan lahan perkebunan), lahan gambut perlu dikeringkan terlebih dahulu.

Gimana cara ngeringinnya? Lo jangan bayangin ngeringinnya pake pompa, ya.. Ngeringinnya itu dengan cara dibuat kanal-kanal sehingga air rawa gambut yang awalnya stagnan di situ dibuat jadi ngalir ke sungai. Alhasil, ekosistem rawa gambut berubah menjadi tanah dengan lapisan gambut (nama rawa mengacu pada lingkungan yang terendam air).

Lahan gambut yang kering menimbulkan berbagai risiko masalah serius. Saat terjadi kekeringan panjang, seperti El Nino sekarang, lo bisa bayangkan lahan gambut menjadi tumpukan kayu kering yang siap terbakar. Dan gue yakin, lo pasti tau apa yang terjadi kalo kayu kering ditumpuk dan kena panas, tanpa ada yang membakar pun, lahan gambut itu bisa terbakar. Kondisi di Indonesia saat ini, dari tahun-ketahun (semenjak tahun 1960-an), banyak ekosistem gambut yang dikeringkan untuk dijadikan lahan-lahan yang “lebih produktif”. Konsekuensinya, jumlah lahan di Indonesia yang memiliki lapisan gambut kering sangat besar saat ini. Jadi wajar saat El Nino berlangsung, terjadi kebakaran hutan yang dahsyat. Apalagi, kalo ditambah dengan adanya pihak yang sengaja membakar hutan gambut yang lagi kering-keringnya. Makin super dahsyat deh kebakarannya.

Di sisi lain, risiko masalah juga timbul saat musim hujan. Sesuai namanya, rawa gambut memiliki fungsi utama untuk menampung air. Dengan dikeringkannya rawa gambut, tidak ada lagi yang menahan air hujan. Dampak langsung dari pengeringan rawa gambut adalah munculnya masalah banjir di tempat lain jika terjadi musim hujan.

 

Efek terbakarnya lahan gambut

Seperti yang sudah dibahas di atas, lahan gambut yang kering dapat diumpamakan sebagai tumpukan kayu kering yang siap terbakar. Lapisan gambut tersebut bahkan bisa mencapai 10 m. Nah, lo bayangin deh tuh, kalo itu udah kebakar jadinya gimana? Ini terkait banget dengan fungsi ekosistem rawa gambut yang lain. Karena lahan gambut merupakan sisa-sisa tumbuhan yang “gagal” terdekomposisi, berarti ekosistem rawa gambut juga berperan sebagai penyimpan karbon yang sangat tinggi. Lo pasti masih inget reaksi pembakaran hidrokarbon kayak gimana?

CxHy (carbon organik) + O2 –> CO2 + H2O

Nggak usah bingung, reaksi di atas itu cuma kebalikan dari proses fotosintesis aja. Proses fotosintesis: CO2 + H2O –> C6H12O6 + O2.Nah, C6H12O6 hasil fotosintesis itu kan jadi makanan buat tumbuhan, buat tumbuh dan membentuk kayu-kayu besar. Jadi, reaksi pembakaran kayu, ya tinggal lo balik aja itu reaksi fotosintesis.

Oke lanjut. Karena sisa-sisa tumbuhan itu isinya nggak se-simple C dan H aja dan pembakarannya nggak sempurna, jadi kemungkinan hasil pembakaran gambut tidak hanya menghasilkan CO2 dan H2O aja, tetapi juga menghasilkan senyawa lain, yaitu karbon monoksida (CO), Metana (CH4), dan Nitrogen oksida (N2O) yang berbahaya jika terhirup oleh saluran pernafasan kita.

Oke untuk saat ini, kita fokus membahas CO2 aja dulu karena COmerupakan gas yang paling dominan dari hasil pembakaran. CO2 adalah salah satu gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global. Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1997, terjadi El Nino yang mengakibatkan kebakaran hutan (terutama lahan gambut) di Indonesia. Diperkiraan kebakaran lahan gambut pada saat itu menghasilkan CO2 sebesar 0.81–2.5 Giga Ton. Nilai tersebut mendekati 13–40% total emisi CO2 per tahun di dunia. Sebagai perbandingan, total emisi CO2 Indonesia sepanjang tahun 2013 aja “cuma” sebesar 0.5 Giga Ton cuy. Karena keadaan iklim saat ini mirip dengan tahun 1997 dan saat ini lahan gambut kering semakin banyak, diduga kebakaran tahun ini akan lebih parah dari 1997.

Untuk bisa menjawab apakah benar kebakaran tahun 2015 ini adalah yang paling parah, kita bisa bandingin dengan luasan kebakaran hutan tahun 97–98 yang sejauh ini dipandang sebagai peristiwa kebakaran paling parah sepanjang sejarah. Kajian yang dilakoni Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan jumlah lahan yang terdampak akibat kebakaran tahun 97 mencapai 9,75 juta hektare. Gimana dengan luas kebakaran tahun 2015? Lo bisa liat data luasan area kebakaran hutan semenjak tahun 2010 dari Kementrian Lingkungan Hidup di sini: http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran. Oiya, harap lo inget, tahun 2015 masih berjalan ya. Jadi luasan kebakaran di situ belom final. Ketika hitungan luasannya udah final, baru deh ntar kita bisa bandingin.

 

Upaya penanggulangan kebakaran hutan

Untuk penanggulangan kebakaran lahan gambut, gue langsung bilang aja dari awal kalo itu super susah. Kenapa kok susah? Kebakaran lahan gambut ini nggak kayak kebakaran yang umum terjadi di lahan lainnya. Karena kedalaman lapisan gambut bisa mencapai 10–20m, api dapat tersimpan sampe 5 meter di bawah permukaan tanah! So, meskipun di permukaan tanah terlihat sudah tidak ada api, api bisa tetap menjalar di bawah tanah dan nanti akan muncul lagi ke permukaan. Ini nih yang buat kabut asap nggak habis-habis.

Dari berbagai upaya penanggulangan, gue akan coba bahas beberapa alternatif berikut.

1. Penyemprotan dengan air

Ini cara yang paling umum diketahui, tapi sebetulnya kurang efektif karena hanya dapat mematikan api yang berada di permukaan saja.

2. Water bombing

Prinsipnya mirip seperti semprotan air tapi areanya lebih luas. Metode ini menurut gue pribadi juga kurang efektif karena hanya dapat mematikan api yang berada di permukaan saja. Bahkan terkadang, water bombing malah memperparah kabut asap karena bara api bawah tanah yang belum padam membuat air siraman tadi menguap dan membuat asap baru. Tapi, uap air tidak akan bertahan lama di atmosfer sih. Perlu perhitungan pemodelan udara yang teliti agar tindakan water bombing bisa efektif.

3. Hujan buatan

Hujan buatan hanya bisa dilakukan kalo emang udah ada awan potensi hujan di sekitar wilayah kebakaran hutan. Dengan kata lain, hujan buatan sebenarnya hanya mempercepat terjadinya hujan. Kalo awannya aja nggak ada, ya nggak bisa dibuat hujan buatan.

4. Sekat bakar

Upaya yang paling ideal untuk mengatasi kebakaran lahan gambut adalah secepat mungkin membuat sekat bakar saat pertama kali kebakaran terdeteksi. Upaya tersebut dilakukan untuk mencegah penyebaran kebakaran ke area gambut lain di sekitarnya. Setelah area kebakaran disekat, diharapkan kebakaran akan berakhir ketika tanah gambut yang kering di area tersebut sudah habis terbakar atau menunggu datangnya hujan yang akan memadamkan kebakaran.

5. Kanal air

Solusi lain yang cukup efektif adalah membuat kanal baru untuk mengalirkan air dalam jumlah besar ke area gambut yang sedang terbakar. Ini solusi yang paling cepat untuk menanggulangi kebakaran gambut, tapi susah dilakukan. Syaratnya: 1. Ada sungai dengan debit aliran air yang masih gede dan 2. Titik api masih bisa dijangkau. Selain itu, hal ini cukup berbahaya dikerjakan di tengah keadaan asap tebal seperti sekarang. Bisa mati yang kerja.

Dari fakta di atas, lo bisa bayangin deh tuh betapa susahnya matiin kebakaran gambut, apalagi yang udah kelewat luas kayak sekarang. Mau disekat juga area yang kebakar udah terlalu luas. Membangun sekat dan kanal air juga udah susah. Terus gimana dong? Yah, dengan berat hati, harapan terakhir kita adalah menunggu hujan musim hujan turun. Untuk benar-benar memadamkan kebakaran lahan gambut yang sudah meluas, tidak cukup dengan hujan satu hari saja. Butuh hujan gede berhari-hari yang biasa turun di musim penghujan.

 

Upaya pencegahan kebakaran hutan di masa depan

Saking susahnya penanganan kebakaran hutan (terutama buat lahan gambut), memang menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua untuk berpikir gimana caranya untuk mencegah kebakaran hutan di masa depan. Kalo udah kebakar parah kaya sekarang, repot banget matiinnya. Nah, gimana coba cara kita mencegah supaya meminimalisasi kebakaran-kebakaran kaya gini lagi? Mungkin lo udah pada tau lah ya jawabannya. Langkah paling pertama adalah ya stop pengeringan rawa-rawa gambut. Ini yang paling utama banget. Dengan masih adanya air di ekositem gambut, kalo ada orang yang sengaja mau bakar hutannya, ya hutannya bakal sulit terbakar. Selain itu, kalo lahan gambut yang dikeringkan terus bertambah, potensi kebakaran makin bertambah karena di musim kemarau lahan tersebut bisa terbakar sendiri, bahkan tanpa ada orang yang sengaja mau ngebakar hutan.

Terus, buat lahan gambut yang udah terlanjur dikeringin gimana? Kita bisa basahin lagi lahan tersebut dengan membendung kembali kanal-kanal pengering. Ini akan membuat air kembali mengalir ke lahan gambut. Lahan gambut kembali menjadi rawa gambut yang memiliki banyak air sehingga area tersebut jadi sulit terbakar.

****

Okay, dari pemaparan panjang lebar gue di atas, gue harapkan sekarang lo bisa paham bahwa kebakaran hutan saat ini merupakan wujud akumulasi kesalahan manusia yang mengeringkan lahan gambut selama bertahun-tahun. Efeknya baru terasa banget saat musim kering panjang (El Nino) menerjang. Begitu gambut udah kebakar, sangat sulit untuk mengendalikannya. Makanya, kita harus fokus mencegah supaya lahan gambut tidak banyak yang kering, supaya nggak gampang kebakar. Kalau lahan gambut masih banyak yang kering seperti saat ini (atau malah makin banyak yang dikeringkan), menurut hemat gue, saat El Nino berikutnya bakalan terjadi kebakaran yang bahkan lebih mengerikan daripada yang kita alami sekarang.

Nah, gua harap, apa yang gua ulas di sini membuka persepsi lo tentang betapa pentingnya pengetahuan tentang ekologi dan lingkungan, yang pengaruhnya bisa jadi mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Di sisi lain, dalam upaya menanggapi peristiwa seperti ini, jangan sampai kita hanya larut dalam kekesalan dan saling tuduh dan menyalahkan, tapi sebetulnya tidak tahu konteks masalah yang sebenarnya. Akhirnya, kata gue secara pribadi maupun Zenius Education secara umum, berharap agar bencana kabut asap ini dapat segera berlalu, dan berikutnya kita bisa sama-sama menemukan langkah pencegahan yang terbaik untuk masa mendatang!

Referensi

http://oceanservice.noaa.gov/facts/ninonina.html
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/lainnya/subiksagambut.pdf
http://earthobservatory.nasa.gov/IOTD/view.php?id=86681&src=fb
http://www.theguardian.com/environment/2015/oct/07/indonesian-forest-fires-on-track-to-emit-more-co2-than-uk
http://www.wri.org/sites/default/files/pdf/indoforest_chap4_id.pdf
http://www.cifor.org/ipn-toolbox/wp-content/uploads/pdf/C7.pdf
sumber gambar kebakaran hutan: http://www.rmolsumsel.com/read/2014/03/02/2787/Kebakaran-Hutan-Riau-Disengaja-
sumber gamabr masker: http://www.freevectors.net/details/Man+In+Facial+Mask

==========CATATAN EDITOR===========

Kalo ada di antara kamu yang mau ngobrol atau diskusi sama Ijul tentang fenomena kebakaran hutan, kabut asap, ataupun isu lingkungan secara umum… langsung aja tinggalin comment di bawah artikel ini.

Bagikan Artikel Ini!