Bagaimana Tanggung Jawab Moral bisa menyebabkan Krisis Ekonomi?

Bagaimana mungkin tanggung jawab moral bisa menyebabkan krisis ekonomi? Kenyataannya itu terjadi pada tahun 2008. Penasaran bagaimana ceritanya? Baca selengkapnya di sini.

Kalo kita bicara tentang “moral” biasanya yang terpikir adalah suatu perilaku manusia yang baik atau buruk. Orang yang membunuh orang lain adalah orang yang tidak bermoral, orang yang membantu orang lain berarti moralnya baik. Tapi rupanya, cakupan moral dalam ekonomi tidak sesederhana itu. Dalam dunia ekonomi, cakupan “tanggung jawab moral” itu bisa jadi sangat kompleks dan dampaknya bisa sangat luas sampai bisa menyebabkan krisis ekonomi yang luar biasa mengerikan! Wah, kok bisa sih sebuah tanggung jawab moral jadi menyebabkan krisis ekonomi? Apa hubungannya moral sama ekonomi? Oke, dalam artikel ini gua akan membahas sebuah sudut pandang fenomena ekonomi yang relatif jarang dikupas. Tapi sebelumnya, supaya ngerti konteks yang mau gua bicarakan di sini, gua mau evaluasi dikit dulu pemahaman lu tentang pengertian ekonomi secara mendasar dan juga arti dari krisis ekonomi.

Pengertian Ekonomi dan Krisis Ekonomi

Banyak pelajar di Indonesia yang terlalu mengasosiasikan ekonomi dengan uang saja, padahal pengertian ekonomi tidak sesempit itu. Dalam cakupan ekonomi, yang kita bicarakan sebetulnya tidak hanya sebatas pada uang, uang, dan uang saja. Terus, kalo bukan bicara soal uang, sebetulnya apaan sih ekonomi itu? Ekonomi adalah situasi di mana sebuah masyarakat bisa memenuhi kebutuhannya, dengan cara apa? Dengan cara masyarakat itu sendiri juga yang menyediakan kebutuhan tersebut. Jika masyarakat lapar, ada sebagian masyarakat yang memproduksi makanan, jika masyarakat ingin tempat tinggal, ada sebagian masyarakat yang menyediakan tempat tinggal, jika masyarakat ingin bepergian, ada sebagian masyarakat yang menyediakan jasa angkutan.

Itulah hukum permintaan dan penawaran, itulah ekonomi. Nah, supaya kondisi tersebut stabil, adil, dan … maka dibutuhkan satu tolak ukur yang dianggap berlaku bagi semua pihak, alat itulah yang namanya UANG. Jadi peran uang dalam dunia ekonomi sebetulnya hanya sebagai nilai tukar yang disepakati secara bersama, supaya setiap lapisan masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya dengan tolak ukur (baca: uang) yang sama dengan pihak yang bersedia memenuhi kebutuhan tersebut.

Itulah kurang lebih illustrasi dari keadaan ekonomi, nah lalu apa itu krisis ekonomi? Krisis ekonomi bentuknya bisa macem-macem, tapi yang jelas itu adalah kondisi yang mengakibatkan kesetimbangan ekonomi bergeser sehingga masyarakat tidak lagi bisa mendapatkan hal yang ‘diinginkan’, karena tidak bisa diimbangi dengan pihak yang mampu menyediakan ‘keinginan’ tersebut. Supaya lebih kebayang dengan konkrit, mungkin gua bisa ceritain sedikit tentang krisis ekonomi yang pernah dialami Indonesia.

Buat lu yang mungkin pernah diceritakan oleh kakak atau orangtua lu, Indonesia sendiri pernah mengalami krisis ekonomi yang luar biasa pada tahun 1998. Dari total hutang luar negeri Indonesia sebanyak 138 milyar USD (Maret 1998),  20 milyar USD akan jatuh tempo pada tahun 1998, sementara pada saat itu cadangan devisa Indonesia cuma sekitar 14,5  milyar USD. Pada saat itulah, dunia tidak percaya dengan nilai rupiah sebagai mata uang yang disepakati bersama. Sampai akhirnya, nilai tukar rupiah anjlok dari yang tadinya Rp 4.850/ 1 USD tahun 1997, terjun bebas sampai hampir mendekati Rp 17.000/ 1 USD pada Januari 1998.

Itu adalah horor yang pernah dialami bangsa Indonesia. Emang apa horornya sih kalo nilai mata uang rupiah anjlok? Artinya, seluruh sektor bisnis yang melibatkan mata uang asing, akan terkena dampaknya. Ribuan perusahaan bangkrut karena tidak mampu membayar hutang dalam bentuk dollar, banyak bank-bank yang gulung tikar sementara uang nasabahnya hangus utk bayar hutang, jutaan karyawan di PHK karena perusahaan gak mampu bayar gaji karyawan. Sebetulnya, apa sih penyebab krisis ekonomi 1998? Wah, penyebabnya itu cukup kompleks dari mulai krisis politik, sikap pemerintah terhadap kondisi ekonomi tidak jelas, sampai bencana kekeringan (La Nina) yang menyebabkan sektor industri perikanan dan pertanian Indonesia melemah. Mungkin ke depannya gua akan cerita soal krisis ekonomi 1998 dalam kesempatan lain.

Buat lebih paham dinamika ekonomi dunia, baca juga : Tiga Skenario Kebijakan Ekonomi Dunia.

Pengertian Moral Hazard dalam Ekonomi dan Krisis Ekonomi Amerika 2008

Okay, gua harap sampai di sini lu lumayan paham pengertian dasar dari ekonomi dan krisis ekonomi itu sendiri, nah sekarang kita balik lagi ya ke topik “hubungan moral dengan krisis ekonomi”. Kalau krisis ekonomi 1998 di Indonesia diakibatkan oleh situasi politik dan hutang luar negeri yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah, maka 10 tahun kemudian (tahun 2008) Amerika dan Eropa juga pernah mengalami krisis ekonomi yang tidak kalah mengerikan, dimana salah satu pemicu dari krisis ini adalah “tanggung jawab moral” atau sering disebut dengan istilah moral hazard (bahaya moral).

Mungkin lu sebelumnya gak pernah terpikir bahwa Amerika dan Eropa pernah mengalami krisis ekonomi, karena selama ini Amerika Serikat (selanjutnya disingkat: AS) dan Eropa menjadi sebuah icon peradaban yang maju, negara yang kaya, makmur, sejahtera, dan sebagainya. Faktanya, Amerika dan Eropa juga tidak luput dari krisis ekonomi, yang dampaknya cukup berkepanjangan hingga saat ini. Mulai sejak tahun 2008, 4.4 juta kepala keluarga di AS kehilangan pekerjaan, lembaga keuangan di Eropa banyak yang tutup, kekayaan negara AS terkuras untuk membayar kredit macet rakyatnya, harga emas, saham, obligasi di AS anjlok sampai jadi sangat murah. Ngeri banget kan?? Itulah kenapa campaign pilpres antara Barack Obama vs John McCain di Amerika tahun 2008 sangat bertumpu pada penyelesaian masalah ekonomi ini.

Okay, video tersebut. memberikan sedikit penggambaran bagaimana AS berjuang melawan krisis ekonomi, sekarang yuk kita bahas kenapa krisis ekonomi itu bisa terjadi, dari sudut pandang yang cukup lain yaitu, faktor moral hazard (bahaya tanggung jawab moral). Istilah moral hazard, biasanya diucapkan oleh perusahaan asuransi. Misalnya asuransi kebakaran rumah, dimana pemilik rumah membayar iuran kepada perusahaan asuransi (namanya premi), sementara perusahaan asuransi akan membayar ganti rugi KALAU rumah yang bersangkutan terbakar. Dalam hal ini, perusahaan asuransi akan menanggung risiko jika rumah tersebut mengalami kebakaran dengan jumlah yang cukup besar, namun pemilik rumah harus membayar premi setiap bulan pada pihak asuransi. Dalam hal ini, ada aja pemilik rumah yang jadi seenaknya dalam menjaga rumahnya untuk tidak terbakar. Mungkin mereka mikir:

“Ngapain hati-hati soal kebakaran? Toh kalaupun terbakar akan diganti dan jumlah uang penggantinya itu sangat besar! Lagian kalau rumahnya jadi gak kebakar, rugi dong gue bayar premi asuransi itu? Apa gue bakar aja sekalian yah rumah ini biar dapet uang pengganti dari asuransi? Hehehe…”

Inilah yang namanya MORAL HAZARD, ketika ada pihak yang memiliki tanggung jawab moral tertentu, tetapi TIDAK PUNYA tanggung jawab legal. Terus, untuk menghindari bahaya moral ini bagaimana? Biasanya sih, pihak asuransi mewajibkan semua pelanggannya untuk menjaga rumah mereka seoptimal mungkin dari kebakaran, misalnya dengan menyediakan tabung pemadam api, dengan membangun rumah menggunakan bahan yang tak mudah terbakar, pengecekan listrik dan bahan-bahan yang mudah terbakar, dan seterusnya. Sehingga jika kebakaran terjadi karena disebabkan ketidakpatuhan pihak pemilik rumah, perusahaan asuransi tidak akan menggantinya. Sayangnya tidak semua moral hazard  bisa diatasi semudah itu, dan itulah yang bisa menyebabkan krisis ekonomi dengan skala luas.

Penyebab Krisis Ekonomi AS dan Eropa 2008: Hutang, Piutang, dan Kredit Rumah

Pertanyaan paling mendasar ketika kita hendak meminjamkan uang pada orang lain adalah kapan hutang tersebut bisa dibayar lunas? Hutang dalam ekonomi itu tidak selamanya buruk, jangan dianggap hutang adalah suatu bentuk yang hina, hutang dalam ekonomi bisa jadi suatu strategi yang wajar dilakukan, asalkan dapat dipertanggung-jawabkan.

Salah satu bentuk hutang yang paling umum dan kemungkinan besar akan dilakukan oleh semua orang adalah KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Jarang ada orang yang bisa membeli rumah secara kontan, karena harganya sangat mahal. Jadi, wajar saja kalau hampir semua orang dari ekonomi bawah sampai menengah untuk datang ke bank, meminta pinjaman uang dalam bentuk KPR.

Biasanya, sebelum bank memberikan pinjaman, pihak bank menanyakan pertanyaan mendasar “Apakah Anda mampu bayar hutang ini? Kapan bisa dibayar lunas?”, Tapi tentu saja pertanyaan itu diperhalus jadi jauh lebih spesifik: “Penghasilan perbulan anda berapa? Anda sudah berkeluarga? Ada tanggungan lain? Sebelumnya sudah pernah mengajukan kredit?”. 

Ingat, bank ini adalah perusahaan yang membutuhkan untung, bukan organisasi amal yang suka menghibahkan uang, jadi tentu saja pihak bank juga butuh kepastian dari peminjam agar uangnya bisa kembali plus sedikit keuntungan dari bunga.

Nah, masalahnya di AS, pertanyaan paling mendasar ini tidak menjadi syarat prioritas. AS punya sebuah semboyan atau lebih dikenal dengan “American Dream” salah satunya adalah menciptakan demokrasi yang dilandasi warga negara memiliki hak atas tanah di AS (baca: memiliki rumah). Berpegang pada “semboyan” itu, pemerintah AS memberlakukan kebijakan yang cukup berani, yaitu dengan memberikan kredit rumah kepada siapapun yang memintanya!

Lalu bagaimana dengan warga negara AS yang dianggap kurang mampu? Mereka akan mendapatkan “kredit khusus” untuk orang-orang yang tidak mampu, kredit itu disebut dengan “subprime mortgage” atau “kredit rumah di bawah primer”. Lebih tepat sih disebut “kredit rumah di bawah standard”. Sementara itu, para pemberi kredit (pegawai bank) jadi semakin bersemangat untuk memberikan kredit rumah ini sebanyak mungkin, sebab mereka mendapat komisi (uang imbalan) dari setiap kredit rumah yang dikeluarkan bank.

Jadi di satu sisi pemerintah ingin warganya mendapatkan kebebasan demokratis dalam bentuk kepemilikan rumah (baca: American Dream), di sisi lain pihak pegawai bank juga ingin mendapatkan keuntungan berupa komisi dari setiap kredit yang cair. Jadi hampir semua pihak bisa mendapatkan kredit rumah di AS, baik yang mampu maupun yang belum atau bahkan TIDAK mampu. Kontrol antara siapa yang pantas mendapatkan kredit dan yang tidak pantas jadi longgar sekali.

Pada saat itu (sebelum krisis 2008), pasar kredit rumah AS, cenderung nggak peduli apakah kredit-kredit rumah akan berujung menjadi kredit macet. Kenapa si peminjam uang kok seolah-olah gak peduli sama duitnya?

“Tenang saja Pak.. Harga rumahnya akan naik terus kok!”

“Tenang saja…” jawab si pegawai bank meyakinkan si calon peminjam. “Saat ini  harga rumah di AS sedang naik tajam! dan akan selalu naik tajam! Kalau misalnya suatu hari nanti Anda gak bisa bayar cicilan kredit rumah, jual saja rumahnya! Uangnya pasti cukup bukan cuma untuk bayar hutang, tapi juga untuk membeli rumah baru!”. Lalu, kontrak peminjaman uang pun ditandatangani.

Dalam skenario tersebut, akhirnya KPR bukan cuma berarti meminjam uang untuk membeli rumah, tapi juga sekaligus menjadikan rumah yang ingin dibelinya itu sebagai jaminan, malah cenderung menggunakan rumahnya tersebut sebagai jaminan untuk KONSUMSI kartu kredit mereka! Jadi bisa dibilang, ada masa ketika orang-orang di AS menggunakan rumah mereka sendiri sebagai “mesin ATM”. Situasi ini keliatan seperti ini terkesan seperti too good to be true yah? Padahal ini adalah moral hazard yang tanpa sadar dilakukan secara serempak oleh sebagian besar masyarakat AS, sampai akhirnya itu menjadi bahaya bom waktu yang akan meledak tanpa diduga-duga.

Moral Hazard berlapis dalam hutang-kredit

Memang apa aja sih moral hazard yang berlaku dalam fenomena ini?

  1. Pertama, bankir yang seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk meyakinkan semua kredit dari banknya adalah kredit yg bisa terbayar, malah cenderung mengobral kredit demi mendapat komisi
  2. Peminjam kredit yang seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan diri mereka cuma meminjam uang yang bisa mereka kembalikan. Mereka cenderung meminjam tanpa perhitungan panjang karena merasa sudah mendapat kepastian tsb.

Moral hazard antara pemberi kredit dan peminjam ini akhirnya bertumpuk hingga skalanya luar biasa besar! Bayangkan saja, jutaan calon pemilik rumah amat bernapsu meminjam uang! Akhirnya, uang KPR yang dipinjamkan itu jumlahnya trilyunan USD!! Itu adalah jumlah uang yang sangat luar biasa besar dan fantastis! Kalau tadi kita bicara krisis ekonomi 1998 berbunyi ratusan milyar USD, sekarang kita bicara soal trilyunan USD yang yang menunggu menjadi kredit macet dan hanya bergantung pada harapan bahwa harga tanah & rumah akan selalu naik! Ngeri banget kan??

Kredit Macet di AS Berdampak Sampai ke Eropa, Bahkan Asia!

“Lho kok bisa? Dari yang tadinya cuma krisis kredit macet di negara Amerika, kenapa Eropa sampai ke Asia jadi ikut ngerasain dampaknya?”

Sebetulnya, ada satu lagi penyebab (selain dapet komisi dan dorongan dari pemerintah) kenapa para bankir AS royal memberikan kredit rumah: soalnya piutang tersebut sudah dijual ke bank-bank dan institusi keuangan di seluruh dunia, sebagian besar di Eropa dan Asia!! Nah loh, peminjam-peminjam kredit rumah itu TIDAK HANYA berutang ke bank di Amrik yang memberikan mereka uang, mereka juga berhutang pada pada institusi keuangan dan bank-bank lain di luar AS. Di sini muncul satu lagi moral hazard oleh para kreditur:

“Ah, gua gak peduli ini pasutri-pastri baru ini pada bisa bayar hutang KPR atau nggak, yang penting gua dapet komisi, yang penting gue nurut sama kemauan pemerintah untuk ngasih semua orang hak yang sama dapet rumah.. Lagian, kalo ujung-ujungnya mereka gak bisa bayar, toh nanti yang nanggung adalah perusahaan investasi di Eropa sana, bukan gue, bukan bank tempat gue kerja.”

Sebuah kredit rumah yang macet adalah masalah, bukan cuma untuk pemilik rumah tapi juga untuk bank. Ingat, bank mengharapkan uangnya kembali, bukannya mengharapkan sertifikat rumah. Di masa lalu, begitu ada kredit macet, biasanya pihak peminjam dan kreditor bisa melakukan negosiasi ulang. Di banyak kasus, bank memberikan keringanan: tanggal jatuh tempo ditunda, dan/atau bunga hutang dikurangi, dst. Harapannya, kredit rumah macet itu bisa lancar lagi.

Sayangnya, saat itu status para pemilik rumah gak cuma berhutang ke bank, tetapi ke berbagai perusahaan lain di luar Amrik. Para pemilik piutang (perusahaan luar Amrik) ini gak mau tahu, mereka gak mau repot-repot memberikan kelonggaran atau mengurusi negosiasi ulang. Mereka cuma mau secepatnya mendapatkan uang. Jadi, gak ada tuh ceritanya negosiasi ulang, dan langsung ke tahap penyitaan rumah. Masalahnya, yang sampai pada tahap penyitaan rumah ini sampai berbunyi jutaan kepala keluarga! Gila banget, kan??

“Loh kok perusahaan di luar AS berani amat beli kredit yang berpotensi jadi kredit macet?”

Lu mungkin bertanya “Tunggu, tunggu, inikan kredit di bawah standard (yang berisiko besar jadi kredit macet), kenapa institusi-institusi keuangan mancanegara mau aja beli kredit bermasalah seperti itu?”

Tentu saja institusi-institusi keuangan di luar AS itu semuanya menanyakan pertanyaan dasar “ini peminjamnya mampu bayar gak?”. Tapi lagi-lagi pertanyaan itu gak jadi skala prioritas. Kenapa? Masalahnya mereka (perusahaan investasi luar AS) tau ada satu kebijakan Pemerintah AS yang memprioritaskan “demokrasi pemilik rumah” sehingga pemerintah AS MENJAMIN semua kredit rumah. Berkat jaminan itu, semua kredit rumah dianggap kredit yang pasti lancar (baca: kalau sampai gak lancar, negara akan bersedia membantu).

Ini lagi-lagi jadi moral hazard oleh perusahaan investasi di luar AS yang secara gak langsung berpikir:

“Ah… peduli amat ini para peminjam bank-bank di AS adalah orang yang mampu bayar atau nggak, toh semua kredit rumah yang macet ditanggung negara Amerika yang kaya-raya itu!”

Masalah ini jadi balik lagi ke konsep asuransi yang gua sebutkan jadi contoh di atas. Pemerintah AS di sini berperan jadi perusahaan asuransi raksasa yang menjamin semua kredit rumah bagi semua warga negaranya. Masalahnya, pemerintah AS tidak bertindak seperti perusahaan asuransi kebakaran rumah yang mewajibkan pelanggannya mencegah kebakaran semaksimal mungkin. Karena pemerintah AS tidak mewajibkan pihak bank untuk mencegah kredit rumah macet, malah mendorong supaya kredit dicairkan! Bahkan pemerintah AS melakukan deregulasi/penghapusan hukum soal kredit rumah.  Kenapa tidak? Amerika itu kan negara bebas, bung! Dan ingat, ini adalah soal “American dream”! Celakanya, saat kredit macet ini sudah trilyunan Dollar, pemerintah amrik biar kaya, juga GAK BAKALAN SANGGUP menanggungnya.

Dampaknya Kredit Macet Ini Jadi Sangat Meluas dan Berkepanjangan.

Krisis ekonomi akhirnya pecah tahun 2008 ketika terlalu banyak kredit macet terjadi, terlalu banyak orang menjual rumahnya, sampai penawaran rumah melampaui permintaan rumah. Harga rumah berhenti naik, malah cenderung turun. Para pemilik rumah panik, karena nilai jual rumahnya merosot sehingga tidak lagi bisa menjadi penjaminan jika mereka tidak mampu membayar kredit, baik untuk kredit rumah itu sendiri, maupun kredit barang konsumsi yang mereka beli dengan kartu kredit.

Tidak sedikit para peminjam kredit kalang kabut untuk membayar hutang kredit. Kredit macet dimana-mana, sektor industri macet, dan seluruh dunia panik, sebab uang mereka hangus, tidak bisa kembali. Ketika banyak orang kehilangan uang secara serempak, masyarakat mulai menjual harta benda/aset mereka (emas, saham, obligasi, dan lain-lain.) secara serentak.

Ingat hukum permintaan dan penawaran sangat bergantung pada faktor kelangkaan. Jika semua orang menawarkan hal yang sama secara serempak (aset), maka nilainya malah justru jadi jatuh! Jadi ketika pasar dibanjiri penawaran aset-aset berharga tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan, harganya malah jadi turun dan pemilik aset yang tadinya nggak pernah minta kredit rumah atau membeli piutang kredit rumah, juga ikutan kena dampaknya karena harga aset non-tunai mereka juga jadi ikut-ikutan jatuh karena ulah orang lain.

Dan jangan lupa juga, karena kredit-kredit macet itu sudah menjadi piutangnya perusahaan-perusahaan di luar AS, artinya trilyunan dollar uang di luar Amerika juga hangus. Jadi, krisis ekonomi ini bukan cuma melanda Amerika Serikat saja, tapi juga seluruh dunia.

****

Ngeri banget yah, di mana kondisi ekonomi suatu negara bisa jatuh karena hal yang nggak diduga-duga, dan hal itu berdampak luas melebar ke pihak lain yang tadinya tidak ada sangkut pautnya, bahkan sampai mempengaruhi ekonomi di belahan dunia lain. Ingat betapa banyaknya moral hazard yang terjadi secara berlapis yang bertanggung-jawab atas krisis ekonomi ini? Ketika pemerintah tidak jeli dan menyadari bahwa setiap individu dalam masyarakat hanya bisa melihat situasi secara sempit dan jangka pendek (baca: bertindak untuk kepentingan pribadi dan melempar tanggung-jawab pada pihak lain), maka akibatnya bisa jadi sangat fatal bagi semua pihak. Hal yang lebih mengerikan lagi, tidak ada pihak yang bisa kita permasalahkan secara legal dalam hal ini. Tidak ada satu pun pihak yang melanggar hukum dan bertanggung-jawab atas fenomena kerusakan ekonomi ini, TIDAK ADA YANG DIPENJARA walaupun trilyunan dollar hangus!

Jadi cerita ini membuat lu semua yang kelak ingin masuk fakultas ekonomi dan menjadi seorang ekonom handal, harus belajar dari fenomena krisis ekonomi 2008 ini: bahwa kita sebagai manusia terpelajar harus bisa jeli untuk melihat fenomena ekonomi. Karena tidak lama lagi, cepat atau lambat lu akan terjun menjadi pelaku ekonomi, entah dalam skala besar maupun skala kecil, tapi pengetahuan akan ekonomi itu tetap diperlukan.Jika kelak lu berkesempatan menjadi pihak yang cukup berkuasa untuk mengatur kebijakan ekonomi, maka berhati-hatilah akan tindakan lu. Karena niat baik tidaklah cukup, tapi juga harus diiringi dengan analisa yang jeli, tidak hanya dari sektor ekonomi tapi juga psikologi pasar secara luas.

Terakhir, sebuah kebebasan selalu diiringi oleh tanggung jawab moral. Ingat, kebebasan bisa jadi diterjemahkan kebebasan untuk mensiasati kelonggaran hukum untuk merenggut kebebasan orang lain. Kita belajar dari kesalahan kebijakan untuk deregulasi yang membebaskan pasar kredit rumah, akhirnya malah menghancurkan pasar kredit rumah itu sendiri. Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran dari cerita gue ini, serta menambah pengetahuan lu semua para calon ekonom handal dan pelaku ekonomi yang bertanggung jawab. Sampai jumpa di artikel berikutnya!

Catatan Editor

Kalo ada yang mau nanya atau ngobrol sama Marcel seputar topik Ekonomi, jangan malu-malu langsung aja tinggalin comment di bawah artikel ini.

Bagikan Artikel Ini!