Mana yang Duluan, Nalar atau Hasrat? 17

Mana yang Duluan, Nalar atau Hasrat?

Kita harus menjadikan nalar untuk memimpin keputusan yang kita ambil dan mengontrol hasrat yang kita miliki. Apakah hal tersebut sesuatu yang tepat?

Pernah ga, elo lagi belajar untuk ujian seleksi perguruan tinggi, eh tiba-tiba didatangi sama rasa malas? Elo ngerasa entah kenapa elo ga mau lagi coba buka buku pelajaran atau mengerjakan soal latihan, dan memutuskan untuk nonton film dan bermain video game.

Enggak cuma satu hari aja, di hari-hari selanjutnya elo juga masih merasakan hal yang sama. Elo pun akhirnya tetap mengisi hari dengan nonton film, bermain, dan tidur-tiduran, seraya mengabaikan kegiatan belajar.

Eh tapi, entah kenapa, tiba-tiba seakan elo ditegur sama nalar diri elo sendiri, kalau elo main dan tidur-tiduran terus, nanti elo ga bakal bisa ngerjain soal ujian dengan baik. Kalau begitu, berarti elo ga akan bisa untuk diterima sebagai mahasiswa di perguruan tinggi yang elo mau.

Untuk itu elo harus segera berbenah. Elo pun memutuskan untuk harus bisa ngelawan hasrat untuk tidur-tiduran, dan main game, dan berupaya untuk berpikir jernih, dan menggunakan nalar untuk kembali lagi belajar demi meraih impian yang elo punya.

Skenario di atas mungkin hanya salah satu contoh ilustrasi yang oleh banyak orang, dianggap menggambarkan betapa pentingnya kita untuk mengikuti nalar (reason) yang kita miliki, untuk mengendalikan hasrat (passion) yang kita rasakan, baik itu dalam bentuk emosi (sedih, kecewa, marah) atau hawa nafsu, seperti nafsu untuk main video game terus-terusan, makan-makan yang ga sehat, dan lain-lain.

Terus, apa itu nalar? Didefinisikan oleh Rescher (1988), nalar adalah kapasitas manusia untuk memecahkan masalah dan mencari kebenaran, yang berbeda dengan insting, imajinasi, atau keyakinan, dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara intelektual. Bagi banyak orang, dan mungkin termasuk elo sendiri, menjadikan nalar sebagai pemimpin atas keputusan yang kita ambil merupakan sesuatu yang wajib kita lakukan.

Ketika kita menggunakan nalar untuk memecahkan masalah atau mencari kebenaran, maka kita harus bertumpu pada pembuktian yang ada dan cara berpikir sesuai dengan kaidah logika, bukan hanya berdasarkan insting atau keyakinan. Hal inilah yang membuat banyak orang berpandangan kalau menjadikan nalar untuk memimpin keputusan yang akan kita ambil adalah hal yang sangat penting. Ketika seseorang tidak menggunakan nalar untuk keputusan yang diambil misalnya, maka hampir bisa dipastikan keputusan yang diambil tersebut menjadi sesuatu yang tidak tepat.

Pandangan ini kayaknya memang sesuatu yang sangat masuk akal bukan? Tapi elo tahu ga, kalau ternyata ada lho seorang filsuf dan pemikir asal Skotlandia yang lahir tiga abad lalu yang punya pandangan yang sangat berbeda. Dia bilang, kita ga bisa menjadikan nalar untuk memimpin hasrat yang kita miliki.

Lho, yang bener? Masa sih? Yuk kita coba simak sama-sama.

****

Sebelum gue perkenalkan elo sama filsuf tersebut, gue mau coba ajak elo melakukan perjalanan pakai mesin waktu imajiner ke kota Athena 23 abad yang lalu. Kota yang saat ini menjadi ibukota Yunani tersebut, pada saat itu merupakan salah satu tempat peradaban paling maju di dunia, yang menjadi pusat perkembangan berbagai gagasan filsafat dan ilmu pengetahuan.

Kalau elo pernah baca topik seputar filsafat Yunani Kuno, elo pasti pernah dengar tokoh besar bernama Plato. Ya, Plato sendiri merupakan salah satu filsuf dan pemikir paling berpengaruh dalam sejarah. Meskipun sudah meninggal dunia lebih dari dua ribu tahun yang lalu, hingga hari ini, karya-karyanya masih terus dibahas dan dipelajari di berbagai lembaga pendidikan di seluruh dunia.

Mana yang Duluan, Nalar atau Hasrat? 18
Plato. Sumber Gambar: https://pixabay.com/photos/plato-sculpture-art-statue-ancient-3230487/)

Salah satu gagasan Plato yang paling terkenal adalah alegorinya yang bernama “Alegori Kereta Kuda” (Chariot Allegory). Buat elo yang mau tahu lebih banyak tentang apa yang dimaksud dengan alegori, bisa cek artikel Zenius berikut ini.

Dalam alegorinya tersebut, Plato membahas mengenai jiwa manusia. Filsuf Yunani itu memberi analogi bahwa jiwa manusia itu seperti sebuah kereta kuda yang ditarik oleh dua ekor kuda.

Kuda pertama melambangkan nafsu yang kita miliki, seperti keinginan untuk makan makanan yang nikmat, untuk mendapatkan uang yang banyak dan lain-lain. Sementara, kuda kedua melambangkan emosi, seperti rasa marah, takut, kecewa, dan lain sebagainya.

Nah, si kusir yang mengendalikan kereta tersebut melambangkan nalar kita, yang memiliki tugas untuk mengendalikan kuda pertama (nafsu) dan kuda kedua (emosi). Seseorang yang bijak, bagi Plato, adalah ia yang bisa menjadikan nalarnya sebagai pemimpin untuk mengontrol emosi dan nafsu yang dimilikinya. Jangan sampai si kusir menjadi hilang kendali atas dua ekor kudanya.

Plato sendiri tentu bukan satu-satunya orang yang punya pandangan seperti itu. Ide yang dituliskan oleh Plato tersebut mungkin udah sering elo dengar dari banyak orang, baik itu keluarga, guru, atau pun teman-teman, dengan bahasa yang berbeda tentunya. Bahwa, orang yang bijak itu adalah ia yang bisa menggunakan nalarnya untuk memimpin emosi serta nafsu yang ia miliki.

Chariot Allegory, Alegori KEreta Kuda
(Sumber gambar: Google Creative Commons: https://www.maxpixel.net/Fresco-Tomb-Of-The-Diver-Chariot-Salerno-Paestum-1736384)

Misalnya nih, elo punya nafsu untuk makan gorengan setiap hari. Padahal berdasarkan nalar, elo tahu kalau kebanyakan makan gorengan itu ga baik untuk kesehatan tubuh kita. Maka dari itu, yang sebaiknya elo lakukan adalah menjadikan nalar sebagai pemimpin dari keputusan yang akan elo ambil, dalam hal ini jangan makan gorengan kebanyakan, meskipun elo punya nafsu untuk makan gorengan sebanyak-banyaknya.

Contoh lainnya, misalnya elo ga berhasil untuk lulus tes seleksi kampus yang elo mau. Elo pun merasa sedih dan putus asa sehingga menjadi malas untuk belajar. Padahal elo tahu, dengan menggunakan nalar, merasa sedih dan putus asa ga akan mengubah apa pun. Kalau elo mau lulus tes seleksi tahun depan, ya elo harus belajar lebih giat lagi. Dalam situasi ini, hal terbaik yang harus elo lakukan adalah menggunakan nalar elo untuk mengendalikan emosi yang elo rasakan, agar elo bisa kembali bangkit dan berjuang untuk ikut tes selanjutnya.

Menjadikan nalar sebagai pemimpin ini memang terlihat sebagai hal yang sangat bijak untuk dilakukan. Tapi, sebagaimana yang disampaikan di awal tadi, ada lho pemikir dan filsuf besar asal Skotlandia yang justru memiliki pandangan sebaliknya.

Untuk itu, yuk kita balik masuk ke mesin waktu imajiner, dan pergi ke Skotlandia di abad ke-18. Di wilayah yang terletak di bagian utara pulau Britania Raya tersebut, akan gue kenalkan elo dengan seorang filsuf besar yang bernama David Hume.

****

Hume sendiri merupakan salah satu filsuf terbesar Eropa, yang lahir di kota Edinburgh, Skotlandia, pada tahun 1711. Eropa pada masa itu sedang memasuki masa yang dikenal dengan nama Era Pencerahan. Pada era tersebut, berbagai gagasan revolusioner muncul dan berkembang dengan sangat pesat, mulai dari gagasan mengenai ilmu pengetahuan, seperti pentingnya penggunaan nalar dan pembuktian empiris, hingga ide-ide filsafat politik mengenai kebebasan, toleransi, demokrasi, dan pemisahan antara institusi agama dengan negara.

David Hume
(David Hume. Sumber gambar: Google Creative Commons: https://snl.no/David_Hume)

Salah satu karya Hume yang paling dikenal dan berpengaruh adalah bukunya yang berjudul “A Treatise of Human Nature”, yang terbit pada tahun 1739. Dalam bukunya tersebut, Hume menulis salah satu kata-kata yang paling terkenal dalam studi filsafat, yakni “Reason is, and ought only to be the slave of the passions.”

Maksudnya gimana sih?

Jadi, Hume memiliki gagasan bahwa, nalar (reason) saja tidak cukup untuk membuat seseorang melakukan suatu tindakan, dan dibutuhkan hasrat (passion) yang mendorong seseorang menggunakan nalarnya untuk tujuan tertentu. Ga cuma itu, Hume juga menulis bahwa mustahil bagi kita untuk menjadikan nalar sebagai pemimpin atas keputusan yang kita ambil, dan nalar kita tidak lebih hanya akan menjadi “alat” dari hasrat yang kita miliki untuk mencapai tujuannya.

Terus kalo gitu, apa sih apa itu hasrat (passion) menurut Hume? Arti hasrat (passion) di masa Hume sendiri memiliki makna yang mungkin berbeda dengan pemahaman mengenai hasrat saat ini. Di abad ke-18, passion atau hasrat adalah apa yang saat ini kita anggap sebagai emosi (emotion), perasaan (feelings), dan keinginan (desires).

Pernyataan dari Hume ini mungkin sesuatu yang buat elo sangat aneh dan ga sesuai dengan yang elo alami sehari-hari. Gimana bisa Hume bilang mustahil menjadikan nalar sebagai pemimpin untuk mengontrol hasrat yang kita miliki? Padahal, kita merasa bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang hampir setiap hari kita lakukan secara sadar, seperti menekan keinginan untuk makan makanan yang dapat membahayakan tubuh misalnya, supaya kita bisa hidup lebih sehat.

Tapi coba deh elo pikir kembali. Berdasarkan beberapa ilustrasi yang dituliskan di atas, apakah keputusan yang elo anggap diambil berdasarkan nalar itu memang benar-benar murni karena nalar, atau setidaknya didahului oleh nalar, atau keputusan tersebut diambil karena elo memiliki hasrat lain yang jauh lebih kuat?

Ketika elo lagi malas belajar misalnya, padahal elo lagi mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian seleksi perguruan tinggi, “nalar” elo seakan-akan menjadi pihak yang mengingatkan elo untuk balik ke meja belajar dan mengerjakan latihan soal supaya nanti elo bisa mengikuti ujian dengan baik. Tapi tanpa adanya hasrat dari dalam diri elo untuk diterima di perguruan tinggi yang elo mau, apakah bisa lantas elo tiba-tiba bangkit dari tempat tidur dan membuka latihan soal?

Menurut Hume, jawabannya tentu enggak. Apa yang elo anggap keputusan yang elo ambil dengan menggunakan nalar elo, dalam hal ini memilih untuk belajar dari pada tidur-tiduran, sebenarnya ga lebih dari ekspresi dari hasrat lu yang lain yang jauh lebih besar dibandingkan keinginan tidur-tiduran, yakni hasrat untuk kuliah di kampus impian elo.

Hal ini sama juga ketika elo memilih untuk membatasi makanan yang bernutrisi rendah dan membahayakan bagi tubuh. Ketika elo memilih untuk melakukan hal tersebut, padahal elo punya hasrat untuk makan makanan tersebut setiap hari karena rasanya yang lezat, bukan berarti lantas lo mengikuti nalar lo dibandingkan dengan hasrat yang elo miliki.

Pilihan tersebut bisa elo ambil hanya ketika elo punya hasrat untuk hidup sehat yang lebih besar dibandingkan dengan hasrat elo untuk mendapatkan kesenangan sesaat dari mengkonsumsi makanan yang bernutrisi rendah. Setelah itu barulah elo menggunakan nalar elo untuk berpikir dan mencari informasi mengenai makanan apa yang bernutrisi tinggi dan makanan apa yang dapat membahayakan bagi tubuh bila dikonsumsi secara berlebihan.

Inilah yang dimaksud oleh Hume melalui pernyataannya bahwa bahwa “nalar akan selalu menjadi alat dari hasrat yang kita miliki”. Kita akan selalu dan hanya bisa menggunakan nalar kita dengan berpikir logis dan mencari informasi berdasarkan bukti empiris, untuk memenuhi hasrat yang kita miliki. 

Contoh lain misalnya, sangat mustahil gue bisa menyelesaikan artikel ini kalau gue ga menggunakan kapasitas nalar yang gue miliki. Dengan menggunakan nalar, gue mencari informasi yang tepat mengenai Plato, David Hume, dan gagasan yang mereka bawa. Selain itu, gue juga menggunakan nalar agar bisa menyusun kata-kata dengan baik supaya artikel gue bisa dibaca dan dipahami oleh para pembaca.

Akan sangat mustahil bagi gue menggunakan nalar untuk membuat artikel ini kalau gue ga punya hasrat tertentu yang mendasarinya. Misalnya, salah satunya, gue punya hasrat ingin berbagi pengetahuan mengenai gagasan-gagasan filsuf Era Pencerahan yang sangat memberi pengaruh besar dalam hidup gue, salah satunya adalah David Hume. Gue merasa senang kalau bisa memperkenalkan dan menyebarkan ide-ide yang mereka bawa kepada para pembaca. Baru lah, setelah hasrat itu muncul, gue menggunakan nalar yang gue miliki untuk berusaha menulis artikel mengenai gagasan pemikiran David Hume dengan baik.

Kalau elo masih ragu dan skeptis tentang pernyataan Hume mengenai hasrat dan nalar, elo bisa mencoba memulai dari merefleksikan berbagai keputusan yang elo anggap ambil dengan menggunakan nalar elo ketimbang dari hasrat yang elo miliki, mulai dari hal yang kecil sampai besar.

Misalnya, ketika elo pergi ke mall, dan elo melihat gadget keluaran terbaru yang sangat canggih tapi harganya cukup menguras dompet. Elo punya hasrat untuk membeli gadget tersebut, tapi setelah elo pikir ulang dengan menggunakan nalar, elo akan menghabiskan tabungan lo kalau lo membeli barang yang elo inginkan. Akhirnya, elo memutuskan untuk mengurungkan hasrat untuk membeli gadget tersebut.

Sekarang coba elo refleksikan, apakah elo mengambil keputusan untuk ga membeli gadget tersebut karena elo memang murni mengikuti nalar elo, atau justru keputusan tersebut elo ambil karena didasari karena elo punya hasrat yang lebih besar dan lebih kuat untuk menabung dan menghemat uang yang elo miliki? Kalau hasrat elo untuk membeli gadget yang mahal itu lebih besar dan lebih kuat daripada hasrat elo untuk menabung, apakah mungkin elo dapat memilih ga mengeluarkan uang untuk membeli gadget tersebut?

Atau contoh lain misalnya, elo lagi berantem sama pacar elo karena dia lupa kalau elo berdua punya rencana untuk nonton film bareng pada akhir pekan yang lalu. Elo pun merasa kesal dan marah banget sama pacar elo. Tapi setelah berpikir dengan menggunakan nalar, elo sampai pada kesimpulan kalau elo marah terus-terusan hal itu ga akan memperbaiki keadaan dan membuat hubungan elo makin rusak. Akhirnya, elo memutuskan untuk memaafkan pacar lo atas kesalahan yang dia lakukan.

Sama seperti pertanyaan di ilustrasi sebelumnya, lantas apakah keputusan elo untuk memaafkan pacar elo itu memang benar-benar didasari oleh penalaran jernih yang elo lakukan? Atau justru, elo memutuskan untuk memaafkan pacar elo karena sebenarnya elo punya hasrat yang lebih besar untuk tetap bisa membangun hubungan dengan pacar elo dibandingkan hasrat elo untuk marah dan kesal ke dia? Sehingga, elo menggunakan nalar elo untuk berpikir gimana caranya memenuhi hasrat elo untuk tetap punya hubungan dengan dia, di mana elo menemukan keputusan yang paling tepat untuk memenuhi hasrat tersebut adalah dengan memaafkan pacar elo.

Kalau hasrat yang elo punya untuk tetap marah dan kesal dengan pacar elo, yang bukan ga mungkin akan mengakhiri hubungan yang telah kalian bangun, lebih besar daripada hasrat elo untuk tetap membangun hubungan dengan dia, apakah mungkin elo akan mengambil keputusan untuk memaafkan pacar elo atas kesalahan yang dilakukannya?

Tentunya, selama elo ga punya hasrat yang lebih besar dan lebih kuat daripada hasrat yang elo punya sekarang, apa pun hasrat tersebut, maka akan mustahil elo untuk menggunakan nalar elo untuk mengambil keputusan atau melakukan hal yang bertolak belakang dari hasrat yang elo miliki saat ini. Gagasan dari David Hume ini tentu merupakan pandangan yang bertolak belakang dari gagasan yang dibawa oleh Plato mengenai pentingnya kita menjadikan nalar untuk memimpin hasrat kita. 

****

Setelah membahas gagasan Hume mengenai hubungan antara nalar dan hasrat, yuk kita masuk lagi ke mesin waktu imajiner dan kembali ke masa sekarang. Akhir kata, pandangan Hume bahwa mustahil menjadikan nalar kita untuk memimpin keputusan yang akan kita ambil, bukan berarti lantas bisa disalahartikan bahwa penalaran merupakan hal yang tidak penting, dan dengan demikian kita boleh untuk mengambil keputusan secara serampangan tanpa mencari informasi berdasarkan bukti empiris atau berpikir sesuai dengan kaidah logika.

Menggunakan nalar sebelum kita mengambil keputusan adalah hal yang sangat penting dan krusial. Kalau elo ga melakukan hal tersebut, maka akan hampir mustahil elo akan bisa mengambil keputusan yang tepat dan dapat memenuhi hasrat yang elo punya, apa pun hasrat tersebut.

Referensi

Buku:

Rescher, Nicholas. 1988. Rationality: A Philosophical Inquiry into the Nature and the Rationale of Reason. New York: Oxford University Press.

Internet:

https://studylib.net/doc/6719438/chariot-allegory-of-plato

https://plato.stanford.edu/entries/hume/

https://plato.stanford.edu/entries/enlightenment/

https://plato.stanford.edu/entries/hume-moral/#pw

Bagikan Artikel Ini!