Apa aja yang harus dihadapi korban kekerasan seksual setelah speak up, hingga bisa mendapatkan keadilan? Yuk, baca selengkapnya!
November 2021 lalu, film Penyalin Cahaya (2021) memenangkan nominasi Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2021. Gue nggak heran sih, karena tema yang diangkat juga jarang dibahas dalam perfilman Indonesia, yaitu kekerasan seksual.
Penyalin Cahaya nyeritain tentang anak kuliahan bernama Suryani (Sur) yang datang ke pesta perayaan kemenangan teaternya. Di pesta, Sur “kalah” dari games yang mana nyorot dia buat minum minuman beralkohol.
Setelah terpengaruh alkohol, Sur nggak ingat apa-apa lagi. Tahu-tahu, dia bangun kesiangan di dalam kamarnya. Sur langsung cepat-cepat berangkat ke kampus, karena dia harus wawancara buat penerimaan beasiswa.
Sesampainya di kampus, Sur harus kehilangan beasiswanya karena selfie-nya yang lagi mabuk ke-publish di akun media sosialnya. Dia ngerasa nggak upload foto itu sama sekali, bahkan nggak sadar kalau selfie. Apalagi, saat Sur mau ganti baju, dia baru sadar kalau bajunya kebalik. Sur mulai curiga sama teman-teman teaternya. Dia menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi tadi malam.
Hingga akhirnya, penyelidikan Sur berujung pada peristiwa yang lebih besar; dia ternyata jadi korban kekerasan seksual saat pesta itu. Sur kemudian berjuang buat nyari siapa pelakunya dan minta keadilan.
Dalam film ini, istilah 3M (menguras, menutup, mengubur) jadi meaningful. Semboyan buat mencegah penyakit DBD bisa berhubungan sama penanganan kasus kekerasan seksual yang diceritakan dalam film itu. Sur yang awalnya nyoba mengungkap kebenaran, terpaksa mengubur peristiwa yang dialami. (Btw, elo bisa baca update berita tentang Penyalin Cahaya terkait kasus kekerasan seksual di sini ya).
Gue jadi punya pertanyaan besar. Gimana perjuangan korban kekerasan seksual dalam speak up? Apa aja yang harus dihadapi buat speak up dan mendapatkan keadilan?
Gue pun mencoba mencari jawabannya.
Daftar Isi
Apa Itu Kekerasan Seksual?
Sebelum gue ngejelasin pertanyaan di atas, gue mau ngasih pengertian tentang kekerasan seksual. Menurut UN Women, kekerasan seksual adalah setiap tindakan seksual yang dilakukan di luar kehendak orang lain, dan bikin si penerima jadi nggak nyaman atau bahkan trauma.
Yang dimaksud tindakan seksual adalah kontak seksual antara dua orang atau lebih dengan memasukkan alat kelamin lelaki ke alat kelamin perempuan; kontak antara mulut dan alat kelamin atau alat kelamin ke anus orang lain; kontak antara jari, tangan, atau bagian tubuh lain seseorang dengan alat kelamin atau anus orang lain; atau menggunakan alat pengganti lainnya untuk berhubungan dengan alat kelamin atau anus orang lain.
Gue kasih contoh: Anton ngelakuin tindakan seksual ke Bela, di luar kehendak Bela. Tindakan itu dilakukan di luar kehendak Bela, yang mana:
- Bela nggak ngasih persetujuan karena dia emang nggak mau, atau
- Bela nggak sadarkan diri karena mabuk atau pengaruh obat-obatan, atau
- Bela masih di bawah umur atau mengalami gangguan kejiwaan, sehingga nggak bisa memberikan keputusan konsensual.
Ketika Bela punya salah satu kondisi di atas, tetapi Anton masih maksa Bela buat ngelakuin tindakan yang mengandung hasrat seksual, maka Anton termasuk melakukan kekerasan seksual ke Bela.
“Bukannya itu termasuk pelecehan seksual? Kekerasan seksual beda nggak sama pelecehan seksual?” Jadi, pelecehan seksual adalah salah satu jenis kekerasan seksual. Terus, apa itu pelecehan seksual?
Pelecehan seksual adalah ketika ada seseorang yang ngelakuin sesuatu yang mengandung hasrat seksual sama elo, dan mencoba tertuju pada organ seksual elo. Pelecehan seksual nggak hanya tentang sentuhan fisik, tetapi juga non-fisik. Jadinya, ada berbagai jenis pelecehan seksual.
Misalnya, ketika elo lagi jalan kaki, elo disiulin sama orang yang nongkrong di pinggir jalan. Orang tersebut juga ngedipin mata ke elo dan bilang, “Kok jalan sendirian? Mau gue temenin nggak, biar kita bisa jalan berdua?” Elo pun nggak nyaman dan merasa direndahkan sama omongannya.
Kalau elo mau kepo lebih lanjut sama detail 15 jenis kekerasan seksual di atas, elo bisa akses di sini.
Baca juga: Jenis Penyimpangan Sosial, Individual, dan Kolektif – Materi Sosiologi Kelas 10
Alasan Korban Kekerasan Seksual Susah Speak Up
Untuk menjawab pertanyaan ini, gue tanya sama Bu Mariana Amiruddin, Komisioner di Komnas Perempuan. Bu Mariana udah lama jadi aktivis perempuan yang memperjuangkan perempuan dan anak korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Hal pertama yang bikin gue penasaran adalah, apa alasan korban kekerasan seksual susah speak up?
Bu Mariana menjelaskan, sebenarnya yang bikin segalanya tampak sulit adalah pandangan negatif yang diterima korban kekerasan seksual. “Ketika korban speak up, dia justru dianggap sebagai aib atau malu-maluin. Bahkan, korban dianggap jadi penyebabnya,” kata beliau.
Di Penyalin Cahaya, Sur terbangun dalam keadaan nggak ingat apa-apa sama kejadian semalam. Ketika dia akhirnya tahu bahwa dia jadi korban kekerasan seksual, dia mengadu ke pihak yang dianggap bisa ngebantu dia mengadili pelakunya. Namun, pihak yang dipercaya justru menyalahkan Sur yang mabuk pada malam itu. Keluarganya jadi malu.
Bahkan, korban kekerasan seksual, seperti perkosaan, biasanya berakhir dinikahkan sama pelaku. Pernikahan dianggap sebagai “solusi”, padahal justru bikin korban makin trauma.
Bayangin aja, setelah kekerasan seksual terjadi, secara psikologis, korban jadi shock, ngerasa nggak nyangka sama apa yang barusan terjadi. Korban merasa nggak nyaman banget, atau bahkan bisa sampai menangis dan trauma. Buat ketemu sama pelaku aja nggak mau dan takut, apalagi kalau disuruh nikah sama pelaku? So, korban cenderung mikir-mikir buat speak up.
Baca juga: Fungsi LSM dan Inisiator Pemberdayaan Komunitas – Materi Sosiologi Kelas 12
Apakah Sulit Memperjuangkan Keadilan?
Menurut Bu Mariana, ketika korban mutusin buat berani speak up, korban perlu melapor kepada pihak berwajib (kepolisian) atau lembaga hukum yang menangani kekerasan.
Misalnya, ketika korban lapor polisi, ada unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yang menyediakan pendamping khusus. Pendamping ini bakal memberikan perlindungan dan pendampingan secara psikis. Soalnya, mental korban kekerasan seksual cenderung terguncang saat speak up. Pendamping juga membantu korban buat memproses hukum buat pelaku. Jadinya, korban nggak merasa sendirian dan merasa dilindungi.
However, yang jadi kendala adalah prosesnya yang bikin korban jadi capek dan mikir-mikir dulu karena butuh biaya.
Jadi, dalam ngelaporin kasus kekerasan seksual, korban perlu ngasih bukti buat diajukan ke pengadilan. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa atau pelaku.
Dalam kasus kekerasan seksual, visum bisa jadi alat bukti surat. Buat anak yang jadi korban kekerasan seksual, aturan visum juga diatur dalam Pasal 21 ayat (1b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang nantinya bakal digunakan buat alat bukti di pengadilan.
Elo pasti pernah dengar istilah visum kan? Visum et repertum adalah laporan tertulis yang dibikin sama dokter. Setelah korban lapor ke polisi, polisi bakal ngajuin surat ke layanan kesehatan buat bikin visum. Nanti, dokter akan memeriksa korban secara menyeluruh. Laporan hasil pemeriksaan itulah yang disebut visum.
Sayangnya, biaya visum nggak gratis dan bahkan cukup mahal. Apalagi, sejauh ini, korban menanggung biayanya sendiri. Uang yang dikeluarkan minimal 150-300 ribu rupiah, belum termasuk ongkos perawatan lainnya.
Visum dan pendampingan psikis biasanya butuh waktu yang cukup panjang. Saat pemeriksaan, korban juga harus menghadapi pertanyaan berulang tentang kekerasan seksual yang diterima. So, butuh waktu lama buat korban siap mental. Apalagi, kalau korban ditemuin sama pelaku, korban bisa tertekan.
Sejauh Mana Pemerintah Menangani Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia?
Secara hukum, pemerintah Indonesia udah punya Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; menindak pelaku; dan mewujudkan lingkungan yang bebas kekerasan seksual.
Selain itu, Kemendikbud Ristek juga nerbitin Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbudristek PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Peraturan ini diharapkan bisa membuat korban berani speak up, dan kasus kekerasan seksual segera ditindak.
Dalam sistem pelayanan, Bu Mariana bilang, pemerintah sudah menyediakan unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yang udah gue ceritain tadi, dari Polres, Polda, sampai Mabes Polri. Peraturan Kapolri Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga menyediakan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) yang bisa dihubungi melalui nomor 129 atau 08211-129-129 (WhatsApp).
Namun, banyaknya laporan kekerasan yang masuk nggak sebanding sama pelayanannya. Menurut Catatan Tahunan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta 2021, kasus kekerasan seksual pada perempuan dewasa mengalami peningkatan. Dari 66 kasus, di antaranya adalah 22 kasus pelecehan nonfisik dan 18 kasus pelecehan fisik.
Namun, kasus pelecehan seperti meraba bagian tubuh korban atau nunjukin alat kelamin ke korban sulit buat ditindaklanjuti, karena nggak ada bekas fisik yang bisa dijadikan bukti. Bahkan, terkadang pihak berwenang menganggap kalau aksi itu atas dasar suka sama suka. Nggak ada unsur kekerasan yang bisa dibuktikan, sehingga penanganan lebih lanjut jadi lebih minim.
Mendadak, gue jadi kepo. “Apakah korban kekerasan yang selama ini diterima selalu perempuan? Atau ada laki-laki?” tanya gue ke Bu Mariana.
“Nope,” jawabnya.
Bu Mariana bilang, kasus kekerasan seksual nggak hanya dialami sama perempuan, tetapi juga laki-laki. Namun, budaya patriarki di Indonesia bikin laki-laki jadi malas untuk speak up.
Dalam budaya patriarki, laki-laki dianggap sebagai sosok yang dominan dan punya kuasa, sedangkan perempuan dianggap lemah. So, perempuan dianggap wajar jadi korban kekerasan seksual. Kalau laki-laki speak up tentang kekerasan seksual yang dilakuin pacar atau istrinya, orang-orang bakal nganggap, “Elo kok lemah banget sih? Masak elo kalah sama perempuan?”
So, gimana pandangan elo sekarang tentang kasus kekerasan seksual? Kasih tahu gue di kolom komentar ya!
Baca Juga Artikel Lainnya
Pacaran Sehat saat Remaja, Memangnya Bisa? – Tentang Cinta
Apa Itu Manipulatif dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Mental?
Infografis: Gaya Pacaran Berdasarkan Attachment Styles
Referensi
Leave a Comment