Resensi Buku : Guns, Germs, and Steel 9

Resensi Buku : Guns, Germs, and Steel

Artikel ini mengupas buku “Guns, Germs, and Steel” yang menjawab secara ilmiah mengapa terjadi ketimpangan perkembangan peradaban di era modern sekarang ini.

Kalo kata orang-orang zaman dulu sih, buku itu jendelanya pengetahuan. Lo pasti udah pada paham lah maksud ungkapan ini. Nah tapi berdasarkan survey dari tulisan Glenn sebelumnya, genre bacaan favorit pengunjung blog ini didominasi oleh tema motivasi, fantasy adventure, teenlit, chicklit, dan romance..

Abis ngeliat survey Glenn itu, gue rada kuatir sama pemaknaan anak-anak muda di Indonesia soal “membaca buku”. Gua bukan mau bilang kalo buku-buku dengan genre fantasy adventure, teenlit, romance, drama, dan kawan-kawan itu jelek yah… tapi yang jelas  buku-buku semacam itu gak segitunya dalam merepresentasikan ungkapan “buku adalah jendela pengetahuan”.

Jadi, pada kesempatan kali ini gue mau kasih contoh, gimana sebuah buku bisa bener-bener jadi “jendela pengetahuan” dan mampu mengubah paradigma berpikir banyak kaum terpelajar di dunia.  Di sini, gue bakal ngebahas satu buku yang secara pribadi udah bikin pengetahuan sekaligus daya analisis gue bertambah pesat. Buku ini juga bisa bikin kita lebih mengerti beberapa masalah sosial dan analisis gejala sosial dalam lingkup global. Judul buku yang bakal gue bahas yakni “Guns, Germs, and Steel”, atau versi Indonesianya “Bedil, Kuman, dan Baja”.

Resensi Guns, Germs, and Steel

Ggas_human_soc

Buku ini ditulis oleh Jared Mason Diamond, profesor geografi dari University of California, Los Angeles (UCLA) dari hasil penelitian selama berpuluh-puluh tahun di Papua (baik Papua barat bagian Indonesia, maupun Papua Nugini). Dirilis pada tahun 1998, buku ini langsung menangin dua penghargaan tertinggi dalam kesusastraan modern yaitu Pulitzer dan Aventis, dua-duanya pada kategori buku ilmiah.

Widih hebat amat yak … Apa sih sebenernya yang dibahas sama buku ini sampe-sampe bisa nyabet dua penghargaan paling bergengsi itu??

Kalo boleh gue rangkum hipotesa pertanyaan di  buku ini dalam gaya anak muda jaman sekarang, kira-kira kayak gini nih..

“Kenapa yah, orang-orang bule di Eropa sana punya kebudayaan yang lebih maju daripada sebagian besar budaya lain di dunia seperti Afrika, Amerika Selatan, India, dan juga Indonesia?”

 

“Kenapa yah, orang-orang bule itu juga yang jadi pelopor menjelajah ke berbagai pelosok dunia termasuk Indonesia, sementara kita cuma bisa bengong ngeliat persenjataan canggih dan kebudayaan mereka yang udah pesat jauh melewati kita?”

Nah, jawaban dari pertanyaan di atas itu dibahas gila-gilaan secara ilmiah dalam buku ini. Penasaran, kan? hehe..

Inspirasi Penelitian Jared Diamond

Lucunya inspirasi buat bikin mahakarya ini diawali dari percakapan Jared Diamond dengan seorang petugas kelurahan asal Papua Nugini yang bernama Yali pada tahun 60an. Sekitar 35 tahun sebelum buku ini dipublikasikan. Jadi kebayang lah ya sama lo kalo buku ini adalah hasil dari penelitian ilmiah selama 30 tahun lebih di Papua!

Yali heran kenapa orang-orang bule (Eropa & Amrik) kok banyak banget ngirim bantuan berupa alat-alat teknologi canggih ke Papua, tapi orang asli Papua ga bisa nyiptain alat-alat kaya gitu. Dari situ, Jared merasa tertantang untuk mencari jawaban atas pertanyaan Yali tersebut.

Apakah karena Ras? Atau Geografis?

Sebelum buku ini terbit, ada beberapa penjelasan populer kenapa orang-orang bule itu bisa bikin teknologi yang maju. Salah satunya adalah ras: Katanya ras orang bule itu emang ras yang unggul, makanya kebudayaan mereka bisa lebih maju. Tapi justru itu yang mau diteliti sama Jared Diamond. Dan, akhirnya dia berhasil nunjukin kalau bukan ras alasannya.

Selain penjelasan tentang Ras, ada juga tentang Geografis. Maksudnya gini: Manusia bisa membuat peradaban yang maju itu karena diuntungkan secara geografis. Contoh, berbagai peradaban muncul di dekat sungai. Berarti sungai ini adalah elemen penting untuk menghasilkan peradaban. Nah, ini arahnya udah bener, tapi terlalu mensimplifikasi masalah. Karena banyak juga sungai-sungai di dunia yang tanahnya subur, tapi nggak ada kebudayaan di situ.

Kalau gitu, faktor apa lagi dong yang bisa menjelaskan kenapa orang-orang bule itu bisa menciptakan teknologi yang canggih tadi?

Nah, akhirnya Jared mencoba menjawab pertanyaan Yali dengan mengemukakan argumen-argumennya (yang disertai dengan data dan sumber-sumber yang akurat) yang pada secara singkat gua coba tuangin pada beberapa point nih:

  1. Perbedaan hewan liar dan tanaman liar yang bisa didomestikasi (dijinakan dan dibudidayakan).
  2. Perbedaan sumbu benua (utara – selatan atau barat – timur), dan
  3. Perbedaan panjang garis pantai pada masing-masing benua.

Coba gua bahas singkat yah, kita di jaman modern emang enak makan tinggal makan, buka kulkas, tinggal pergi ke warteg atau restoran. Kalo balik ke 15.000 tahun yang lalu, semua manusia yang hidup di Bumi ini masih ngumpulin makanan dengan cara berburu, mancing, atau nyomot buah di pohon. Kebayang kan susahnya hidup kaya gitu? Nah, beberapa orang yang brilian (atau iseng, mungkin) mencoba untuk menjinakan beberapa hewan liar untuk kebutuhan-kebutuhan mereka (bisa diambil dagingnya, telurnya, susunya, dikendarain, atau sekadar buat temen berburu). Nggak bisa kita bayangin sih, gimana perjuangan itu orang-orang dalam ngejinakin hewan-hewan liar tersebut. Bisa jadi bonyok-bonyok, keseruduk, atau kecakar hewan liar atau mungkin mau coba domestikasi tumbuhan ada yang keracunan atau salah makan (PS. gak ada norit 15.000 tahun yang lalu)

Nah, yang jadi poin pembeda signifikan terhadap perubahan bentuk peradaban dari segi domestikasi pangan itu adalah ketersediaan tanaman-tanaman atau hewan liar yang berpotensi untuk didomestikasi tersebut. Gini nih gampangnya, kita sekarang di Indonesia bisa ngeliat berbagai macam hewan domestikasi kaya sapi, bebek, ayam, anjing, kucing, dsb. Zaman dulu, sebelom perdagangan atau migrasi manusia udah canggih kaya sekarang, masyarakat nusantara nggak kenal tuh yang namanya domba, kambing, dsb. Adanya cuma ayam, babi, anjing, dan kerbau. Sedangkan di kurun waktu yang sama, masyarakat Afrika Selatan yang masuk ke dalam suku San, nggak berhasil nemuin hewan dan tumbuhan apapun yang bisa didomestikasi (bahkan sampe sekarang), namun masyarakat Mesopotamia (cikal bakal kebudayaan Barat), sudah berhasil domestikasiin gandum, kambing. Masyarakat Kaukasia (cikal bakal orang Eropa alias bule) sudah berhasil mendomestikasi anjing dan kuda. Nah perbedaan domestikasi pangan inilah yang menunjang perkembangan budaya yang berkesinambungan selama ratusan tahun, sementara ada bagian dunia lain yang gak mampu domestikasi jadi kebudayaan dan teknologinya gak berkembang alias mandeg di situ-situ aja terus.

Tapi, masa gara-gara perbedaan budaya budidaya pangan (hewan dan tumbuhan)  bisa bikin ketimpangan budaya sejauh itu? Jawabannya memang ‘iya’, salah satunya faktornya adalah domestikasi pangan. Di buku ini si Mr. Diamond ngasih penjelasan yang lengkap dan juga enak banget kenapa  gara-gara perbedaan hewan dan tumbuhan lokal aja bisa bikin perbedaan peradaban yang segitu parahnya.

Lebih lanjut, masyarakat Eurasia (Eropa dan Asia daratan), Amerika Tengah (kebudayaan Maya, Olmec, Aztec) mengembangkan tulisan sebagai sarana komunikasi yang praktis. Nah dari situ, mulai manusia ngenal tulisan..dan bisa lo tebak, dengan mengenal tulisan, kebudayaan dan kebutuhan manusia berkebang pesat! dan akhirnya berimbas ke banyak hal seperti perdagangan, persaingan usaha, dan juga dari segi politik!

Dari segi politik. Seiring dengan pertambahan populasi jadi makin banyak, akhirnya bentuk kepemimpinan ga cukup kepala suku doang. Perlu pemimpin (raja) yang dianggap mampu untuk membimbing ribuan orang, lengkap dengan pasukan militernya. Perang yang tadinya cuma tawuran antar kampung, pas waktu itu berubah jadi peperangan massal dengan jumlah tentara ratusan maupun ribuan. Hal ini mendorong para kubu yang bermusuhan untuk meriset senjata-senjata maupun alat pertahanan yang dianggap paling canggih. Sehingga terciptalah perang industri, mulai dari senjata sederhana dari kayu dan batu, hingga ke senjata berbasis baja/STEEL (pedang, tombak, perisai, panah).

Inca-Spanish_confrontation

Cukup lama manusia di bagian Eurasia mengandalkan baja dalam peperangan sebelum ketika pada tahun 1000 Masehi, Cina menemukan bubuk mesiu yang menjadi cikal-bakal senapan api/GUNS. Nah sekarang bayangin kalo ada dua kebudayaan yang punya perbedaan keadaan geografis atau sumber daya alam, terus saling musuhan. Bisa ketebak dong hasilnya gimana. Jared Diamond memberikan satu contoh di buku ini yang bener-bener gambarin gimana dua peradaban yang beda teknologi harus ketemu di medan perang, ketika membahas soal Battle of Cajamarca.

GUNS udah, STEEL udah, terus germsnya mana? Nah, nggak jauh-jauh dari domestikasi tadi deh. Germs (kuman) itu merupakan pembunuh manusia paling ganas dari jaman dulu bahkan sampe sekarang. Lo sebut aja deh, cacar, kolera, disentri, tifus, malaria, dan sebagainya. Pada kasus ekstrim, pada abad ke 14 dulu Eropa pernah dilanda wabah yang dikenal luas sebagai “The Black Death”.

Xenopsylla_chepsis_(oriental_rat_flea)Black Death ini merupakan pandemi pertama di dunia, dengan total kematian diperkirakan hingga 200 juta jiwa, dan korban terbanyak berada di daratan Eropa. (itu hampir sama banyaknya dengan jumlah populasi penduduk Indonesia sekarang lho!). Penyebabnya cuma “kuman” yang namanya Xenopsylla cheopis. Hal ini membuat sosiologi masyarakat Eropa berubah drastis, mulai dari berkurangnya kepercayaan terhadap otoritas Roma, hingga perubahan persepsi hidup orang-orang Eropa yang cuma idup buat hari ini doang. Intinya, gawat banget deh.

Tapi kok malah Eropa yang pada mati? Bukannya Eropa lebih maju yah??

Nah, ini dia letak serunya. Inget prinsip utama dalam evolusi itu adalah survival for the fittest yang kalo boleh gua sederhanakan dalam rumus itu:

Evolusi = Seleksi Alam + Mutasi

Setelah wabah ini merenggut nyawa jutaan jiwa, ada aja orang yang lolos dari seleksi alam ini, di mana orang-orang yang bisa bertahan dan fit dengan lingkungan adalah mereka yang bisa mengembangkan antibodi dan kebal terhadap waban ini dan terus beranak-pinak dari abad 14 sampe ratusan tahun kembali memenuhi Eropa.

Nah, ratusan tahun setelah wabah itu menyerang, orang-orang Eropa mulai ngadain eksplorasi besar-besaran ke “Dunia Baru” dan bagian-bagian dunia yang terpencil macam Australia, Amerika, dan lain-lain…  Dalam eksplorasi itu, mereka juga bawa sapi, ayam, termasuk juga tikus yang ada di kapal, dan sebagainya.

Orang-orang asli Amerika dan Australia yang seumur idup dari zaman leluhur belom pernah liat binatang-binatang tersebut, yang artinya mereka juga nggak kebal sama kuman yang dibawa sama binatang-binatang tersebut. Akhirnya, banyak orang-orang non-Eurasia yang mati karena wabah yang ada di binatang-binatang yang dibawa oleh orang-orang Eurasia dalam misi eksplorasinya.

Kematian gara-gara kuman/GERMS di kalangan orang-orang non-Eurasia ternyata jauuuh lebih gede daripada kematian orang Eurasia dengan penyebab yang sama ratusan tahun sebelumnya. Nggak pernah kepikiran kali yah sama lo sebelumnya gimana kuman bisa membuat perbedaaan signifikan dalam peradaban manusia.

***

Nah, kalo lo perhatiin, dari tadi sebetulnya gua cuma bahas point nomer 1 doank lho.. yaitu tentang perbedaan domestikasi pangan (hewan dan tumbuhan)

Kesimpulan singkat dari point yang pertama

Salah satu penyebab mengapa bangsa-bangsa di Eurasia (Eropa, Cina, Jepang, India, Timur Tengah) mengalami percepatan peradaban dibandingkan kebudayaan lain di dunia adalah perbedaan domestikasi pangan yang juga didukung oleh kondisi geografis. Ketika sebagian besar daratan Eropa memiliki empat musim dimana hal itu menunjang masyarakatnya berpikir lebih kompleks untuk menyimpan cadangan di musim dingin, bercocok-tanam, mengembangkan ilmu pengetahuan dalam agrikultur, astronomi, perdagangan, persenjataan, dan lain sebagainya.

Sementara itu, Afrika, Papua, Aborijin Australia, suku-suku Indian di Amerika Selatan, memiliki kondisi geografi yang bikin masyarakatnya ga memiliki kebutuhan yang kompleks. Istilah sederhananya, ketika orang-orang di Papua gak mengalami 4 musim, begitu bangun pagi makanan berlimpah ruah di kanan-kiri, ya jadinya secara turun temurun merasa sudah cukup dengan budaya yang sudah ada + nggak ada/sedikit sumber pangan yang bisa didomestikasi, sehingga teknologi dan budayanya juga gak berkembang dan mandek di situ-situ aja.

Nah, itulah ringkasan singkat dari point 1. Nanti point nomer 2 dan nomer 3 tentang:  Perbedaan sumbu benua, dan Perbedaan panjang garis pantai pada masing-masing benua… biar lo coba gali sendiri dengan langsung baca bukunya. Oke?

Panjang yah? Seru yah? Eits, kalo lo baca beneran bukunya, lo bakal ngerasa puas karena bisa menelusuri lebih detail penelitian yang keren ini.

Kita di Zenius sangat menyarankan lo buat baca buku ini, selain bisa memperluas pengetahuan umum lo, buku ini juga juga akan membuka pemikiran lo bahwa penelitian ilmiah bisa berkolerasi dengan sejarah untuk mengungkap fenomena sosial yang terjadi sekarang ini sekaligus menelusuri jejak peradaban kita sampai dengan asal-usul manusia. Nah buat yang mau nonton video dokumenternya, lo bisa nonton video dokumenter di Youtube tentang buku Guns Germs and Steel yang dibuat National GeographicHighly Recommended!

Oke deh, moga-moga resensi gua kali ini lumayan ngebuka pikiran lo kalo buku itu emang beneran bisa jadi “jendela pengetahuan”, dan yang dimaksud dengan “buku” itu bukan cuma drama cinta-cintaan, petualangan ke negeri dongeng, atau ceramah motivasi doank.

 “If you only read the books that everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking.”

– Haruki Murakami

[Catatan Editor : Kalo ada yang mau ngobrol sama Faisal tentang sains, sejarah, dan budaya, langsung aja tinggalin comment di kolom bawah artikel ini. Btw kalo diantara lo ada yang suka males baca buku, gua saranin coba baca dulu artikel zenius tentang manfaat baca buku. Oh iya, buat yang belum gabung dengan Zenius, pastiin lo jadi member zenius dengan cara sign up di sini ]

Bagikan Artikel Ini!