Vaksin COVID-19 Cuma Akal-akalan Pembuat Vaksin, Bener Gak Sih? 41

Vaksin COVID-19 Cuma Akal-akalan Pembuat Vaksin, Bener Gak Sih?

Vaksin COVID-19 jadi salah satu upaya penanganan pandemi corona. Meski terbukti efektif membangun antibodi, masih banyak lho orang yang enggan ikut program vaksinasi padahal gak dipungut biaya.

Hampir dua tahun pandemi COVID-19 merebak, semakin gencar pula pelaksanaan program vaksinasi di berbagai negara. Pemberian vaksin jadi salah satu upaya membendung penularan virus melengkapi gerakan 5M: memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, mengurangi mobilitas, dan menjauhi kerumunan. Di negara kita, program vaksinasi pemerintah masih berlangsung. Menurut laporan Our World in Data per 24 Juli 2021, baru 6,6% penduduk Indonesia yang sudah mendapat vaksin COVID-19 dosis lengkap. Kamu kah salah satunya?

Kalau iya, selamat! Kamu gak cuma menolong dirimu sendiri, tapi juga orang lain. Dengan vaksin, tubuhmu bisa memunculkan antibodi yang bertugas melawan virus penyebab COVID-19 tanpa harus terinfeksi dulu. Eitsss tapi, vaksin gak lantas bikin kamu kebal COVID-19 seratus persen. Beberapa kali muncul di berita soal orang terjangkit COVID-19 meskipun udah vaksin, itu memang fakta. Tapi ada penjelasan ilmiahnya nih.

Sebelum lanjut, Zen udah pernah bahas soal vaksin dalam dua artikel, “Apa itu Vaksin & Bagaimana Cara Kerjanya?” dan “Bagaimana Vaksin Menyelamatkan Jutaan Nyawa Manusia“. Aku saranin kamu baca dua artikel itu karena soal vaksin dan sejarah penemuannya udah dibahas tuntas. Tapi dalam artikel ini, pembahasan bakal lebih spesifik tentang pembuatan vaksin COVID-19.

Secara umum, vaksin bekerja dengan cara memicu reaksi sistem imun tubuh supaya memproduksi antibodi.

Kenapa sih sistem imun harus di-trigger dulu? Emangnya gak bisa teraktivasi secara otomatis ya? Nah, sayangnya, tubuh kita baru bisa memproduksi antibodi ketika tubuh terpapar penyakit…

Jadi, sistem imun kita baru bisa membentuk antibodi terhadap COVID-19 setelah kita tertular penyakitnya. Tentunya, sungguh tidak efektif kalo kita harus nunggu positif COVID-19 dulu buat bisa punya antibodi. Kita gak tahu, saat terpapar, apakah bakal mengalami gejala ringan atau berat. Padahal, pandemi ini masih berlangsung. Karena itu, butuh vaksin buat nge-hack kerja sistem imun tubuh kita.

Vaksin COVID-19 aman gak sih?

Ada tiga skenario yang mungkin terjadi setelah pemberian vaksin COVID-19:

  • Pertama, setelah divaksin, lalu antibodi terbentuk, sangat kecil kemungkinan terpapar COVID-19. Karena vaksin mengajari sistem imun cara mengenali virus dan menyerangnya saat bertemu, sebelum menginfeksi.
  • Kedua, tetap terjangkit meski sudah dapat vaksin COVID-19 namun gejalanya ringan, bahkan bisa tanpa gejala.
  • Ketiga, positif COVID-19 setelah vaksin dan mengalami gejala berat, tapi kasus ini sangat jarang.

Kejadian positif COVID-19 setelah vaksin sering banget bikin orang jadi ragu buat vaksin. Karena jadi pada mikir, “Duh, berarti vaksin COVID-19 gak aman dong?” Ketika seseorang terdiagnosa positif COVID-19 setelah vaksin, penyebabnya ada beberapa kemungkinan: dia udah terinfeksi sebelumnya, dia terpapar saat vaksin, atau terpapar setelah vaksin. Jangan lupa tetap terapin 5M ya, apalagi saat divaksin kamu harus berada di tengah kerumunan.

Kalau ditanya, “Aman gak sih vaksin COVID-19?” Definisi “aman” dalam dunia medis, baik itu untuk tindakan pemberian obat, vaksin, maupun operasi, berarti lebih besar manfaat daripada risikonya. Jadi, aman bukan berarti tanpa efek apa-apa ya. Kayak obat jenis apapun itu pasti ada efek sampingnya. Vaksin COVID-19 juga punya efek samping, seperti demam, rasa lapar, dan ngantuk berlebih yang dirasakan setelah suntik vaksin. Tapi efek samping tersebut gak mengurangi efektivitas vaksinnya.

Kenapa masih ada orang yang menolak vaksin COVID-19?

Sebelum suatu vaksin dipakai, otoritas kesehatan tiap negara pasti mengeluarkan izin penggunaan vaksin. World Health Organization (WHO) sebagai badan kesehatan dunia juga mengawasi penggunaan tiap merek vaksin COVID-19 untuk memastikan keamanannya. Kalau gak lolos uji klinis, pasti dilarang beredar.

Tapi, masih bermunculan pihak yang menolak vaksin di tengah amukan pandemi. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia yang rilis pada 18 Juli 2021 mengungkap berbagai alasan masyarakat enggan divaksin. Dari 1.200 responden, 36,4% di antaranya gak bersedia ikut program vaksin COVID-19.

survei persepsi terhadap vaksin COVID-19
Dari 1.200 orang, 36.4% di antaranya enggan mendapatkan vaksin COVID-19. (Sumber: Lembaga Survei Indonesia (18 Juli 2021))

Mereka mengutarakan berbagai macam alasan. Mulai dari takut efek samping, merasa gak butuh vaksin karena sehat-sehat aja, hingga menuding vaksin COVID-19 cuma akal-akalan perusahaan farmasi belaka.

vaksin covid-19 indonesia

Dari banyaknya teori konspirasi yang bersliweran di sosial media, salah satu yang banyak dipercaya adalah vaksin COVID-19 merupakan skema besar perusahaan farmasi demi meraup untung. Temuan ini merupakan hasil riset Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (CfDS UGM) terhadap 601 warganet pada Februari 2021. Ada 30,4 persen responden percaya perusahaan farmasi produsen vaksin berada di balik merebaknya virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.

Kalian mungkin bertanya-tanya, “Kok bisa orang-orang mikir sejauh itu?” Kalau melihat timeline pembuatan vaksin COVID-19 yang gak sampai dua tahun, aku coba mengasumsikan dasar kecurigaan mereka: buat penyakit yang baru kayak COVID-19, kenapa vaksinnya bisa dibuat dengan cepat ya? SARS, MERS, HIV yang umurnya jauh lebih tua aja belum ada vaksin? Jangan-jangan, COVID-19 cuma rekayasa pembuat vaksin demi cuan doang?

Nah, artikel Zen kali ini mau berbagi insight dari hasil ngobrol dengan ahli biologi molekuler, Ahmad Rusjdan Utomo, Ph.D. Alumni Harvard Medical School ini punya spesialisasi penelitian di bidang virus, kanker, dan imunologi (studi tentang sistem kekebalan tubuh pada semua organisme). Aku coba mengulik alasan vaksin COVID bisa cepat jadi. Bisa gak sih itu dijadikan pembenaran atas klaim virus SARS-CoV-2 hasil rekayasa perusahaan farmasi? Seperti kata Carl Sagan, extraordinary claims require extraordinary evidence. Ikutin pembahasannya satu per satu ya.

Kenapa vaksin COVID-19 bisa cepat dibuat?

Menjawab pertanyaan ini butuh flashback dulu ke tahun 2002. Saat itu, dunia menghadapi situasi yang mirip dengan pandemi saat ini, yakni wabah SARS. Penyakit ini disebabkan virus yang masih satu keluarga dengan penyebab COVID-19, virus corona. Kalau SARS disebabkan SARS-CoV-1, COVID-19 disebabkan SARS-CoV-2. Anggota mereka yang lain, MERS-CoV, penyebab penyakit MERS, muncul tahun 2012 pertama kali di Timur Tengah. Cek tabel di bawah untuk melihat perbandingan kasus ketiga penyakit pernapasan ini.

Vaksin COVID-19 Cuma Akal-akalan Pembuat Vaksin, Bener Gak Sih? 42

SARS sama kayak COVID-19, muncul pertama kali di China. Bedanya dengan COVID-19, infeksi SARS pasti menimbulkan gejala seperti batuk dan demam. Jadi gak ada istilah OTG (Orang Tanpa Gejala) pada masa itu. Ketika itu kalau ketemu orang sakit, kita bisa langsung jaga jarak aja. Otoritas kesehatan pun gampang melakukan tracing kasus positif.

Nah karena mudah dikenali, sehingga wabah mudah dihentikan. Makanya kalau kita lihat total kasusnya, gak sampai 10.000 selama satu tahun. Penyakit MERS lebih sedikit lagi, padahal berlangsung lumayan lama dalam rentang 7 tahun dan gak menimbulkan pandemi.

Kalau wabah langsung berhenti, apa yang terjadi selanjutnya? 

Tentu pulihnya suatu wabah penyakit menjadi harapan terbesar. Tetapi bersamaan dengan berhentinya suatu penularan penyakit, proses pengembangan vaksin juga bisa mandek. Kenapa bisa begitu? Proses dibuatnya vaksin sampai mendapat izin penggunaan harus melewati 4 tahap:

  1. Pra-klinis (melibatkan hewan)
  2. Uji Klinis Tahap 1 (melibatkan manusia) -> membutuhkan 25 – 50 relawan
  3. Uji Klinis Tahap 2 (melibatkan manusia) -> membutuhkan ratusan relawan
  4. Uji Klinis Tahap 3 (melibatkan manusia) -> membutuhkan ribuan relawan (bisa sampai 60.000)

Saat wabah SARS dan MERS, kasus terakhir masing-masing ditemukan pada 2003 dan 2019. Pasien-pasien yang positif juga udah pada sembuh. Padahal, proses pengembangan vaksin untuk kedua virus masih berlangsung. Nah, gimana vaksin bisa lanjut ke tahap uji klinis kalau penularan virus udah berhenti? Misal, vaksin diuji coba ke 50 relawan. Bakal sulit untuk mengetahui vaksin efektif atau enggak untuk melawan penyebaran virus karena virusnya aja udah gak ada.

Terus gimana dengan vaksin HIV yang masih belum ada?

Sampai saat ini, terhitung udah 30 tahun lebih kalangan ilmuwan berusaha membuat vaksin pencegah HIV. Kenapa pembuatannya sangat sulit? Sebagian besar vaksin bekerja dengan menciptakan antibodi berupa protein yang memblokir protein virus. Di sini letak masalahnya. Virus HIV bermutasi sangat cepat, tiap mutasi menghasilkan bentuk protein yang beda-beda. Jadi virus HIV bisa punya banyak varian.

Padahal, satu jenis vaksin hanya bisa didesain untuk satu varian aja. Dalam artian, udah terprogram untuk mengenali satu bentuk protein tertentu. Kalau bentuk proteinnya udah berubah, ya vaksin bisa jadi gak efektif karena gagal mengidentifikasinya sebagai virus. Karena perubahan ini bisa terjadi sangat cepat seiring dengan mutasi berulang, pembuatan vaksin HIV yang efektif untuk setiap jenis varian menjadi sangat sulit.

Vaksin COVID-19 Cuma Akal-akalan Pembuat Vaksin, Bener Gak Sih? 43

Tapi vaksin COVID-19 bisa langsung ada tuh, gimana ceritanya?

Virus penyebab COVID-19 kan masih satu keluarga sama virus SARS dan MERS. Tapi kok beda ya dibanding pendahulu-pendahulunya, vaksin COVID-19 pertama udah tersedia dalam waktu satu tahun. Ini pertama kalinya dalam sejarah vaksin. Pada 31 Desember 2020, WHO mengeluarkan izin penggunaan darurat untuk vaksin Pfizer/BioNTech. Di situasi normal, pengembangan vaksin secara historis membutuhkan waktu dua hingga lima tahun.

Karena baru muncul 2019, COVID-19 memang tergolong penyakit baru. Tetapi, virus corona yang menjadi dalang penyakit ini udah lama ada dengan munculnya kasus SARS dan MERS. Jadi bukan virus yang alien banget. Ilmuwan sudah lama meneliti virus corona sejak pengalaman wabah sebelumnya. Tapi ada satu hal yang menentukan banget, bekal paling penting untuk meresepkan vaksin: sekuens genom dari SARS-CoV-2 yang terdiri satu untai RNA sepanjang 30.000 huruf.

Data yang berisi sekuens genom tersebut dirilis China pada pertengahan Januari 2020. Sebagai titik nol penyebaran virus SARS-CoV-2, China memegang peranan penting dengan langsung memetakan genom dari sampel virus di tubuh pasien mereka. Begitu sekuens genomnya udah ketemu, semua laboratorium di dunia langsung berlomba-lomba mendesain vaksin.

Apa sih sekuens genom itu? Urutan gen dari virus ini bisa diibaratkan sebagai resep makanan. Resep mencatat semua bahan makanan, takarannya, sampai cara memasak. Misal, untuk bikin nasi Padang, ada instruksi apa aja bahan yang harus disiapkan, takaran nasi dan bumbunya berapa banyak, harus dimasak berapa lama.

Sekuens genom ini sangat membantu ilmuwan dalam meracik vaksin. Misalnya dalam pembuatan vaksin AstraZeneca. Produsen vaksin AZ gak memakai virus utuh yang dilemahkan dengan ditetesi cairan kimia, seperti metode pembuatan vaksin Sinovac dan Sinopharm. Peneliti hanya menyalin kode gen protein spike (paku protein) virus dari sekuens genom, lalu membuat protein tiruan di laboratorium. Setelah jadi, gen paku protein tersebut disisipkan ke dalam virus adenovirus dari simpanse. Virus adenovirus dipilih sebagai kendaraan yang akan mengantarkan protein spike tadi ke dalam sel manusia.

Jadi logis banget ya kenapa vaksin bisa cepet dibuat? Resepnya udah ada nih, tinggal ngeracik aja di dapur masing-masing. Jangan bayangin untuk menghasilkan vaksin, harus ada yang repot-repot mengantar sampel virus ke tiap laboratorium buat diurai kode genetiknya. Cukup mengurai satu kali aja buat dapat peta genom yang utuh, simpan di pangkalan data, sehingga tersedia untuk diunduh peneliti dari sepenjuru dunia.

virus corona
Virus SARS-CoV-2 (Sumber: AustroHungarian1867 via Wikimedia Commons)

Terus kenapa sih kok ada vaksin yang butuh kode gen protein virus? Buat bisa hidup di dalam tubuh manusia, paku protein virus punya misi penting: berikatan dengan protein manusia yang namanya Angiotensin converting enzyme 2 atau ACE2. Keberadaan protein virus ini yang akan memicu reaksi imunitas tubuh sehingga memproduksi antibodi. Vaksin gak perlu mengandung virus utuh supaya bisa melakukan tugas ini, bagian proteinnya aja sudah cukup.

Lho, lho, produsen vaksin kan perusahaan farmasi. Vaksin lagi gencar dipake di mana-mana, beneran untung dong mereka?

Nada-nada pertanyaan serupa banyak banget bersliweran di medsos. Di salah satu postingan video soal teori konspirasi vaksin, ada komentar yang menyebut, “siapapun yang diuntungkan, patut dicurigai sebagai pelakunya.” Hmmm, pelaku apa nih? Pernyataan ini kemungkinan mengandung teori konspirasi lain, soal virus SARS-CoV-2 buatan manusia. Gak habis-habis ya ngeladenin teori konspirasi gak berdasar gini?

Vaksin COVID-19 Cuma Akal-akalan Pembuat Vaksin, Bener Gak Sih? 44
Keuntungan yang diperoleh beberapa produsen vaksin COVID-19. (Sumber: Statista)

Tapi kita coba telaah dari data dan fakta yang ada ya. Soal produsen vaksin meraup untung selama pandemi, hal itu memang tercermin dari laporan Statista terkait profit perolehan Johnson & Johnson, Pfizer, AstraZeneca, Moderna, dan BioNTech. Tabel di atas mencatat raihan untung tiap perusahaan dalam miliar dolar AS selama periode Januari – Maret 2020 dan Januari – Maret 2021.

Gak dipungkiri, kritik memang tertuju kepada sejumlah pemegang merek yang terang-terangan mengaku mengambil untung dari penjualan vaksin. Tapi dari sekian banyak perusahaan, AstraZeneca termasuk yang berkomitmen menjual vaksin dengan harga pokok produksi dan melepas hak paten. Artinya, semua perusahaan bisa memakai teknologinya untuk menciptakan vaksin sendiri. Inisiatif ini membuat ilmuwan penemu vaksin AZ, Prof. Sarah Gilbert dari Universitas Oxford, mendapat standing applause di ajang Wimbledon 2021.

Sementara ada pebisnis vaksin yang berniat mencari untung di tengah situasi darurat kesehatan. Michael James Boland mengurai persoalan ini lewat tulisannya di The Conversation, bertajuk “Why big pharma had a responsibility to profit from the pandemic“. Menurutnya, apa yang dilakukan sejumlah perusahaan vaksin itu merupakan bagian dari corporate objective perusahaan secara umum. Dalam situasi apapun, perusahaan punya tanggung jawab menggaji karyawannya. Dengan begitu, mencari profit adalah bagian dari menjaga kelangsungan hidup perusahaan.

Kira-kira nih, tujuannya semacem itu bisa gak sih jadi dasar klaim kalau perusahaan farmasi adalah dalang virus SARS-CoV-2? Ada tiga poin penting:

1. Dari hitung-hitungannya Oxfam.org, biaya untuk mengembangkan dan mendistribusikan vaksin mencapai 25 miliar dolar AS. Investasi yang super mahal untuk suatu produk yang selalu punya risiko gagal diproduksi.

Seperti yang udah disebut sebelumnya, pembuatan vaksin melewati proses panjang. Semisal di fase uji klinis tahap terakhir, relawan justru malah dapat gejala sakit lebih berat, gak mustahil proses penelitian langsung disetop total. Balik ke titik nol lagi. Biaya yang udah terpakai ya bakal hangus aja. Boro-boro balik modal, yang ada malah rugi kan?

2. Vaksin COVID-19 rata-rata hanya diberikan dalam 2 kali suntik per orang. Masih jauh lebih profitable produk obat-obatan dan vitamin untuk konsumsi harian karena biaya produksinya lebih murah dari vaksin.

Jadi, sebelum menelan mentah-mentah informasi yang beredar di medsos, wajib banget buat ngelakuin crosscheck ya! Saat ini, banyak banget ilmuwan dan praktisi medis yang aktif si sosmed untuk meluruskan hoaks seputar COVID-19. Mereka sadar, hoaks yang menyangkut kesehatan publik bisa berakibat fatal, taruhannya nyawa. Persis hoaks vaksin COVID-19 yang baru aja kita bahas. Coba deh simak cuitan dokter asal AS, Faheem Younus.

Vaksin COVID-19 Cuma Akal-akalan Pembuat Vaksin, Bener Gak Sih? 45

Sebuah fakta tak terbantahkan kalau keuntungan perusahaan farmasi kedongkrak banget karena vaksin COVID-19. Hampir seluruh negara di dunia terdampak COVID-19, cuma sekitar belasan daerah aja yang masih nol kasus positif. Jadi market produk vaksin COVID-19 memang seluas itu. Produsennya jelas cuan gede dari bikin vaksin hasil menjawab demand yang ada. Tapi bayangin kalau mereka memilih tutup mata aja, ngapain bikin vaksin, biaya riset dan produksinya aja mahal banget. Padahal masih banyak lho negara yang belum kebagian vaksin karena supply-nya terbatas.

Katakanlah perusahaan farmasi jadi dalang SARS-CoV-2 karena dapet untung dari vaksin. Apa artinya Zoom juga berkomplot dengan mereka? Aplikasi video conference ini untung besar karena pemberlakuan lockdown. Dari 10 juta pengguna harian pada Desember 2019, meroket hingga 200 juta pengguna harian pada Maret 2020. Kekayaan pribadi pendiri sekaligus CEO-nya, Eric Yuan, melesat senilai 7,57 miliar dolar AS atau setara Rp 124 triliun dalam nilai tukar rupiah saat itu. Mencurigakan banget kan?

Baca Juga:

2 Alasan Vaksin COVID-19 Bisa Cepat Dibuat, Aman Gak Ya?

Gimana sih Cara Mencegah Agar Diktator Tidak Berkuasa?

Pentingnya Berpikir Kritis

Bagikan Artikel Ini!