Kongres Perempuan

Kongres Perempuan : Latar Belakang, Hasil, dan Dampaknya – Materi Sejarah Kelas 11

Hai Sobat Zenius!

Perjalanan bangsa Indonesia sebagai negara merdeka, ternyata tidak terlepas dari peranan perempuan lho. Salah satunya adalah dibentuknya Kongres Perempuan pada 22 Desember 1928. Kini tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.

Nah, di artikel ini gue akan membahas lebih lanjut mengenai latar belakang kongres perempuan, serta bagaimana perannya dalam usaha pergerakan kemerdekaan Indonesia. Simak ya!

 Pengantar: Latar Belakang Gerakan Perempuan

Di era pemerintahan Kolonial Belanda, belum ada konsep mengenai kesetaraan gender. Dalam bidang pendidikan, hanya kaum laki-laki lah yang mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan barat.

Kaum laki-laki diikutsertakan dalam sekolah-sekolah bentukan belanda seperti HIS (Sekolah dasar bagi keturunan priyayi), AMS (Sekolah Menengah Atas), STOVIA (Sekolah kedokteran),  dan lain sebagainya.

Kaum perempuan tidak diizinkan untuk mengakses dunia pendidikan. Perempuan dianggap hanya ditugaskan untuk mengurusi urusan-urusan rumah tangga. Selain itu, perempuan juga hanya berkewajiban untuk mentaati perintah suami, seperti mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah.

Kedudukan perempuan yang dianggap sebelah mata, akhirnya memunculkan berbagai reaksi dari kaum perempuan. Salah satu bentuk dari reaksi tersebut adalah perjuangan pergerakan perempuan, baik melalui fisik maupun non-fisik.

Pelopor Gerakan Perempuan

Tokoh pelopor gerakan perempuan
Tokoh pelopor gerakan perempuan (Arsip Zenius)

Perjuangan kaum perempuan sebenarnya telah dimulai sebelum abad ke 20. Perjuangan melawan penjajahan Belanda telah dimulai melalui perjuangan angkat senjata. Adapun tokoh-tokoh tersebut ialah seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Martha Kristina Tiahahu, dan Nyi Ageng Serang.

Namun, memasuki abad ke 20, perjuangan kaum perempuan fokus pada persoalan sosial dan pendidikan. Pada saat itu, kedudukan kaum perempuan cukup memprihatinkan. Makanya diperlukannya perjuangan untuk membela hak kaum perempuan. Bentuk perjuangan tersebut adalah melalui gerakan yang dibawa oleh Dewi Sartika dan Raden Ajeng Kartini.   

Dewi Sartika

Ketidakadilan terhadap perempuan memicu lahirnya gerakan perempuan pertama pada tahun 1904. Tokoh yang mempelopori gerakan tersebut adalah Raden Dewi Sartika. Ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan informal bernama “Sakola Istri”.

Pada tahun 1911, “Sakola Istri” berubah menjadi “Sakola Dewi Sartika”. Dan pada tahun 1914 diubah menjadi “Sakola Kautamaan Istri

Baca Juga:

Raden Dewi Sartika dan Perjuangannya dalam Pendidikan

Tujuan didirikanya pendidikan informal ini agar para perempuan mampu bersikap mandiri dan terampil. Sekolah ini menyediakan beberapa pendidikan dasar seperti menjahit, melukis, dan lain sebagainya.

Raden Ajeng Kartini

Pelopor gerakan perempuan lainnya adalah Raden Ajeng Kartini. Pada era Pemerintahan Kolonial Belanda, hak-hak perempuan sering kali tidak terlindungi. Bentuk-bentuk dari pelanggaran hak tersebut yakni perjodohan, pernikahan dini, serta poligami tanpa persetujuan pihak perempuan.

Baca Juga:

Hari Kartini: Perjuangan Hak Perempuan dan Melawan Penjajah

Opresi terhadap perempuan tersebut yang membuat Raden Ajeng Kartini menuliskan beberapa pemikirannya melalui sebuah surat kepada temannya di Belanda pada tahun 1911.

Nah, kumpulan dari surat-surat tersebutlah yang diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Door Duisternis tot Licht” atau “Habis Gelap Terbitlah Terang” oleh J.H. Abendanon (Menteri Kebudayaan Hindia Belanda).

Pemikiran-pemikiran R.A. Kartini membuat Van Deventer (penggagas kebijakan politik etis) mendirikan “Kartini School” pada tahun 1912. Kebijakan ini mendapat dukungan dari Ratu Belanda. Sekolah ini didirikan dengan tujuan para perempuan memperoleh pendidikan dasar yang layak.

Bentuk-bentuk pendidikan dasar di sekolah ini antara lain adalah baca tulis, melukis, dan menggambar. Kartini School berdiri di berbagai kota di Hindia Belanda, khususnya di Pulau Jawa, seperti di Jakarta, Bogor, dan Malang. Sekolah ini yang membuka gerbang pengetahuan bagi para perempuan lokal.

Berdirinya Organisasi Pergerakan Perempuan

Sebenarnya, diskusi mengenai nasib perempuan juga dibahas oleh gerakan pemuda. Diskusi tersebut umumnya membahas mengenai perluasan pendidikan bagi perempuan, kedudukan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya. Namun, topik tersebut tidak dibahas mendalam karena gerakan pemuda pada masa itu masih fokus terhadap persoalan kebangsaan (politis).

Nah, gerakan-gerakan yang dipelopori oleh Dewi Sartika dan R.A. Kartini pada akhirnya menimbulkan kesadaran bagi kaum perempuan. Kaum perempuan merasa perlu untuk berserikat dan berkumpul untuk memperjuangkan hak mereka sebagai perempuan. 

Kesadaran kaum perempuan, serta munculnya pergerakan nasional, membuat kaum perempuan mendirikan organisasi pergerakan perempuan pertama bernama Poetri Mardika pada tahun 1912. Lahirnya organisasi ini mendapatkan dukungan dari Boedi Oetomo. Gerakan ini mempunyai peran yang penting dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.  

Baca Juga:

Peran Perempuan di Balik Sumpah Pemuda

Kelahiran organisasi perempuan tersebut menginspirasi lahirnya beragam organisasi pergerakan perempuan lainnya seperti Wanita Oetomo pada tahun 1921 oleh Raden Ayu Aisah,  Wanita Katolik pada tahun 1924 oleh Raden Ajeng Maria Soelastri Sasraningrat Darmaseputra, dan Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling pada tahun 1925 oleh Nyonya Rangkayo Datuk Tumenggung.

Pembentukan Kongres Perempuan

hasil kongres perempuan
Linimasa Kongres Perempuan di Indonesia (Arsip Zenius)

Berdirinya berbagai organisasi pergerakan perempuan menjadikan tanda perjuangan kaum perempuan untuk membela hak-haknya, serta menjunjung tinggi kesetaraan. Namun, setiap organisasi pergerakan perempuan tentu mempunyai corak yang berbeda-beda. Maka, diperlukan satu kesatuan bagi seluruh organisasi pergerakan perempuan.

Kesatuan ini berfungsi untuk memudahkan koordinasi dari masing-masing organisasi. Selain itu, penyatuan ini dianggap semakin menunjukkan citra perjuangan kaum perempuan di tengah-tengah masyarakat pada saat itu.

Kongres Perempuan I

Pada tanggal 22-25 Desember 1928 dicetuskanlah Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Kongres ini dipelopori oleh tiga tokoh, yaitu R.A. Soekonto dari Wanita Utomo, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa, dan Sujatin dari Putri Indonesia

Namun, kongres ini tidak berjalan secara bebas karena Pemerintah Kolonial Belanda menyulitkan terlaksananya kongres tersebut.  Hal ini Membuat pertemuan diselenggarakan secara tutup. Para peserta kongres pun umumnya hanyalah yang memilih kedekatan dengan ketiga pelopor kongres di atas.

Kongres yang berjalan selama 4 hari akhirnya membuahkan beberapa hasil. Hasilnya adalah usulan mengenai tunjangan janda dan anak-anak, studiefonds (biaya pendidikan) bagi perempuan yang tidak mampu, memperkuat pendidikan padvindsterij (kepanduan putri), dan memperbanyak sekolah putri. 

Kongres Perempuan I juga menetapkan pembentukan organisasi baru bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) pada tahun 1929. Pembentukan PPPI diharapkan menjadi penghubung bagi seluruh perkumpulan perempuan Indonesia.Setahun berikutnya nama organisasi tersebut berubah menjadi Perserikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII).

Perubahan nama ini adalah untuk menegaskan kembali perjuangan kaum istri. Sebab, dahulu kaum istri dianggap harus selalu bergantung kepada suami. Dengan perubahan ini, kaum istri diharapkan mampu untuk mempunyai kemandirian dan keterampilan.

Kongres PPPI I

Agenda kongres PPPI I pada tanggal 28-31 Desember 1929 adalah membicarakan perubahan AD/ART organisasi, pendidikan bagi kaum perempuan, nasib para yatim piatu dan janda, reformasi undang-undang perkawinan Islam, dan meningkatkan harga diri seorang perempuan. 

Selain itu, agenda lainnya adalah mengenai kejahatan terhadap perempuan. Untuk mengatasi hal tersebut, dibentuklah P4A (Perlindungan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak) yang beranggotakan perempuan maupun laki-laki.

Hadirnya lembaga ini adalah upaya untuk melindungi kaum perempuan dari memburuknya kondisi kerja buruh perempuan serta melindungi perempuan dari perdagangan perempuan yang sangat masif akibat dari kemiskinan.

Kongres PPII II

Kongres PPII II pada tanggal 13-18 Desember 1930 membahas mengenai keikutsertaan kaum perempuan di dalam kongres di Asia, pembentukan asas-asas umum, dan  pembentukan Badan Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (BPPPA). Pembentukan BPPA dianggap sebagai solusi untuk memberikan perlindungan bagi Ibu dan Anak.

Kongres Perempuan II

Kongres Perempuan II dilakukan pada tanggal 20-24 Juni 1935 di Jakarta. Kongres Perempuan kembali dilakukan setelah adanya usul dari anggota PPII karena banyak organisasi perempuan yang belum tergabung di dalam PPII, seperti Perempuan Sahati, Perempuan Perti, dan Pasundan Istri.

Kongress ini menghasilkan beberapa keputusan, yaitu pembentukan badan kongres, pembentukan Badan Penyelidik Perburuhan Perempuan (BPPA), serta pembubaran PPII.

Pembentukan BPPA bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan perempuan di era Kolonial Belanda. Sedangkan, PPII dibubarkan karena organisasi ini memiliki asas yang sama dengan Kongres Perempuan, serta masih ada banyak organisasi perempuan yang belum tergabung dalam PPII.

Kongres Perempuan III

Kongres Perempuan III dilakukan pada tanggal 23-24 Juli 1938 di Bandung. Kongres ini dipimpin oleh Emma Puradiredja, Ketua Pasundan Istri Bandung. Kongres ini merupakan penegasan kembali dari Kongres Perempuan II, terkait persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Kongres ini menghasilkan beberapa keputusan, yaitu pembentukan Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP), pembentukan komisi kawin, serta penetapan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. 

Kongres Perempuan IV

Kongres Perempuan selanjutnya dilakukan pada bulan Juli 1941 di Semarang. Kongres ini dipimpin oleh Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito. Poin-poin yang dihasilkan dari kongres ini adalah dukungan terhadap tuntutan darii GAPI (Gabungan Politik Indonesia) mengenai “Indonesia Berpalemen”. Indonesia Berparlemen, merupakan sebuah konsep yang menuntut agar rakyat memiliki hak untuk menentukan parlemen.

Selain itu, kongres perempuan IV juga menuntut agar hak pilih (acktief kiesrecht) untuk menentukan Dewan Rakyat (Volksraad) tidak hanya dirasakan kaum laki-laki, melainkan juga dirasakan oleh kaum perempuan. Serta, mengajukan kepada Dewan Kota agar bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran sekolah menengah atas.

Hasil Pergerakan Perempuan    

Hasil Pergerakan Perempuan
Hasil pergerakan perempuan (Arsip Zenius)

Masa Pra-Kemerdekaan

Era Pemerintahan Belanda

Hadirnya Kongres Perempuan membuat peran perempuan semakin terlihat, khususnya dalam dunia politik. Contohnya ketika Rasuna Said terpilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) di Hindia Belanda.

Selain itu, Pada tahun 1938, Belanda memberikan kesempatan kepada kaum perempuan Indonesia untuk dipilih menjadi Dewan Kota (Gementee Raad). Tokoh-tokoh tersebut ialah  Emma Poeradiredja di Bandung, Sri Umiyati di Cirebon, Nyonya Sunaryo Mangunpuspito di Semarang, dan Siti Sundari Sudirman di Surabaya.

Era  Pemerintahan Jepang

Pada era Pendudukan Jepang dibentuk berbagai organisasi perempuan seperti Barisan Poetri Asia Raja, Barisan Pekerdja Perempoean Poetra, dan Fujinkai. Namun, Pemerintah Jepang membubarkan seluruh organisasi tersebut dan meleburkannya menjadi satu organisasi bernama Fujinkai Jawa Hokokai.

Namun, peran organisasi tersebut tidak maksimal. Alasannya karena perempuan mendapat tekanan fisik dan mental oleh Pemerintah Jepang. Kaum perempuan pun hanya mampu menggalang persatuan secara sembunyi-sembunyi.

Masa Kemerdekaan

Era Pemerintahan Soekarno

Memasuki masa kemerdekaan, peran perempuan dalam dunia politik semakin diakui. Pada penyelenggaraan pemilu pertama tahun 1955, perempuan mendapat hak pilih dan berkesempatan menjadi anggota parlemen. Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan UU No. 80 tahun 1957 mengenai prinsip pembayaran yang sama dengan beban kerja yang sama bagi kaum pria dan perempuan.

Namun, perjuangan kaum perempuan dirasa belum sepenuhnya terpenuhi. Tindakan Presiden Soekarno yang saat itu menikah kembali dengan Hartini, meskipun telah beristrikan Fatmawati, mendapat kecaman dari organisasi perempuan.

Organisasi Persatuan Wanita (Perwani) menilai tindakan Soekarno tidak patut, mengingat reputasinya sebagai seorang pemimpin dan Bapak proklamator. Hal ini sangat merugikan kaum perempuan. Akhirnya, Perwani pun mendesak dibentuknya UU Perkawinan.

Era Pemerintahan  Soeharto

Pada masa pemerintahan Soeharto, UU Perkawinan dikeluarkan pada tahun 1974. Beberapa hal yang diatur dalam UU ini adalah mengenai persoalan poligami, batas perkawinan bagi pria dan wanita, serta hak dan kewajiban bagi pasangan suami dan istri.

Walaupun UU ini hanya mengatur pegawai negeri, tetapi UU ini dianggap sebagai keberpihakan pemerintah terhadap kaum perempuan yang menolak poligami. Namun, ada juga yang berpendapat UU ini belum cukup keras mengatur poligami, karena masih ada kalimat “diperbolehkan poligami jika mendapat izin istri pertama.” 

Di tahun yang sama, pemerintah juga membentuk Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita pada tahun 1974. Kementerian ini hadir untuk memberdayakan kaum perempuan, agar perempuan terlibat aktif dalam bidang-bidang strategis. Kementerian ini juga mewadahi berbagai persoalan kejahatan terhadap perempuan, yaitu pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, aborsi, dan lain-lain.

Namun, kebijakan asas tunggal yang diusung Soeharto juga berdampak pada berbagai organisasi wanita yang berkembang. Sekitar 23 Organisasi perempuan tergabung di dalam Himpunan Wanita Karya (HWK). HWK merupakan organisasi koordinasi wanita di bawah partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan partai pemerintah.

Hal ini membuat ruang gerak organisasi wanita menjadi sulit. Organisasi wanita pun dibayang-bayangi oleh kepentingan atau kehendak partai penguasa. Penyatuan berbagai organisasi perempuan ini juga dianggap sebagai pemberangusan ide yang melanggar prinsip demokrasi.

Kesimpulan

Perjuangan perempuan hingga hadirnya kongres perempuan memperoleh proses yang panjang. Ketidaksetaraan gender di masa penjajahan, membuat kaum perempuan akhirnya sadar untuk menentukan nasibnya sendiri.  

Bentuk dari persatuan kaum perempuan adalah dengan dibentuknya Kongres Perempuan pertama pada tahun 22 Desember 1928 yang hingga hari ini diperingati sebagai Hari Ibu.

Kehadiran Kongres Perempuan pun memberikan dampak yang signifikan bagi kaum perempuan. Hal ini terlihat ketika kaum perempuan akhirnya memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan, kesempatan dan hak pekerjaan yang sama dengan kaum laki-laki, serta hak untuk berpartisipasi di dalam dunia politik.

Namun, tantangan dalam perjuangan perempuan pun masih belum usai. Isu-isu kejahatan terhadap perempuan juga masih menjadi salah satu permasalahan besar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penutup

Sobat Zenius, sampai di sini dulu pembahasan kita tentang Kongres Perempuan. Kalau elo mau belajar materi ini lebih dalam, klik banner di bawah ini, ya!

Kongres Perempuan : Latar Belakang, Hasil, dan Dampaknya - Materi Sejarah Kelas 11 9

Guys, mau belajar dengan ribuan video materi, live class dengan tutor berpengalaman, serta bank soal untuh latihan? Zenius jawabannya! Zenius punya berbagai paket belajar yang bikin elo bisa memahami konsep sampai benar-benar mengerti. Yuk, langsung aja klik banner di bawah ini!

Langganan Zenius

Terima kasih sudah membaca artikel ini, semoga bermanfaat dan selamat belajar!

Penulis : Luis Moya

Sumber

Darwin, M. (2004). Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu politik., Vol.7., No.3, 283-294.

Bagikan Artikel Ini!