Catatan Sejarah G30S

Dinamika Catatan Sejarah 30 September 1965

G30S PKI merupakan peristiwa misterius. Artikel ini mengupas berbagai versi cerita untuk memahami peristiwa paling kontroversial dalam sejarah Indonesia

Tepat malam ini 50 tahun yang lalu, terjadi sebuah skenario pembunuhan yang paling misterius dalam catatan sejarah bangsa Indonesia. Yak, pada malam 30 September 1965 atau lebih tepatnya 1 Oktober subuh dini hari, 6 Perwira Tinggi Militer Indonesia diculik dan kemudian dibunuh secara misterius. Peristiwa ini kemudian menjadi titik tonggak perubahan transisi peralihan kekuasaan dari pemerintahan Presiden Soekarno menjadi era Orde Baru dengan diangkatnya HM. Soeharto menjadi presiden kedua Republik Indonesia.

Bagi elo yang nggak sempat merasakan era Orde Baru (1966–1998) mungkin hanya menganggap ini adalah “peristiwa sejarah biasa” yang sering disebut dalam buku teks pelajaran Sejarah dengan nama G30S/PKI. Yah, intinya cuma peristiwa masa lalu tentang pembunuhan 6 Jenderal yang didalangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia), yang kemudian berujung pada pelarangan ideologi komunis di Indonesia. Mungkin hal paling elo pusingin itu cuma sebatas gimana caranya menghafal nama 6 jenderal yang dibunuh beserta pangkatnya karena nanti kemungkinan bakal keluar di Ulangan/Ujian Sekolah. Intinya, nggak ada yang spesial, nggak ada yang menarik dari peristiwa ini, cuma sepotong cerita sejarah doang.

Dinamika Catatan Sejarah 30 September 1965 17
Monumen Pancasila Sakti (dok.Cagar Budaya Kemdikbud)

Salah besar guys… Peristiwa ini bisa dibilang sebagai catatan sejarah Indonesia yang paling kelam, paling misterius, paling kontroversial, dan paling sensitif untuk dibahas terutama pada masa pemerintahaan Orde Baru. Peristiwa ini begitu mempengaruhi nasib jutaan masyarakat Indonesia, dari mulai peralihan transisi kekuasaan, posisi kebijakan luar negeri Indonesia terhadap konik besar dunia pada saat itu, serta penangkapan dan pembunuhan masal selama puluhan tahun.

Peristiwa ini begitu kontroversial dan misterius sehingga memunculkan berbagai macam versi tentang konik kepentingan yang menjadi dalang sebenarnya dari peristiwa ini. Mulai dari versi (1) Orde Baru tentang upaya pemberontakan PKI untuk menjadi Indonesia Negara dengan ideologi Komunis, kemudian (2) versi tentang adanya konik internal dalam TNI yang ingin mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno, (3) sampai keterlibatan CIA dan Blok Barat (Amerika, Inggris, dkk) dalam peristiwa ini untuk mencegah Indonesia mengubah ideologinya menjadi komunis dengan menjadikan PKI sebagai kambing hitam.

Lho, terus versi mana yang bener dong? Nah, sebelum dibahas lebih detail, ada satu hal penting yang perlu kita sepakati dulu bersama adalah : Dalam memahami Sejarah, bisa jadi kita tidak akan tau secara persis kenyataan sesungguhnya yang terjadi di masa lalu. Kita yang sekarang hidup di tahun 2015 tidak mungkin bisa mengembalikan waktu dan melihat apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1965, TAPI… dalam memahami sejarah, kita bisa menelusurinya seperti seorang detektif.

Pada saat seorang Sherlock Holmes/ Detektif Conan/ Kindaichi mencoba untuk mengungkap sebuah peristiwa pembunuhan yang sudah berlalu berhari-hari. Tentunya, mereka juga tidak akan pernah bisa mengembalikan waktu dan melihat secara langsung siapa pelaku pembunuhan sesungguhnya. Tapi, seorang detektif bisa menginvestigasi dan menganalisis siapa pelaku pembunuhan dengan melihat sidik jari, DNA pada bercak darah yang tertinggal, motif dari calon tersangka, dokumentasi foto, dsb. Begitu juga dengan memahami sejarah, kita bisa menganalisa dokumen, foto, kesaksian, dan juga menelusuri berbagai motif dan konik kepentingan yang terjadi pada masa itu.

Nah, pada kesempatan kali ini, Zenius akan mencoba mengupas beberapa catatan sejarah dari berbagai macam versi, dari mulai versi Orde Baru, versi beberapa peneliti Independen, sampai versi yang dipercaya oleh pandangan dunia internasional hingga saat ini. Pastinya, apa yang kita coba kupas dalam artikel ini nggak akan bisa merepresentasikan kejadian sesungguhnya yang begitu kompleks, begitu rumit, dan ruwet. Tapi, moga-moga apa yang kita kupas di artikel ini, baik berupa kumpulan data, catatan, maupun analisa pribadi dari kita ini bisa menjadi titik awal buat elo untuk mulai memahami sebuah peristiwa sejarah paling misterius yang pernah dialami oleh Bangsa Indonesia.

HIPOTESIS 1: VERSI PEMERINTAHAN ORDE BARU – G30S/PKI (1966 – 1998)

Ini adalah cerita versi official (resmi) pemerintahan Orde Baru yang dipercaya oleh sebagian besar masyakarat Indonesia selama ± 32 tahun. Bagi yang sempat mengalami masa pemerintahan Orde Baru pasti masih ingat kalo setiap tanggal 30 September selama 13 tahun (1984 – 1997) semua stasiun TV tanah air wajib menayangkan sebuah film yang berjudul “PENGKHIANATAN G 30 S/PKI“. Film itu menggambarkan peristiwa penculikan dan pembunuhan para Jenderal dengan sangat tragis. Pada film itu, diceritakan bahwa PKI tidak hanya menculik kemudian membunuh tapi juga menyiksa keenam Jenderal dengan cara yang kejam seperti pemotongan alat vital, matanya dicungkil, tubuhnya dipotong-potong, sampai kemudian dibuang ke sebuah sumur yang kemudian dinamakan Lubang Buaya.

“Wah gila, berarti PKI juahat banget dong yah? Emang kenapa sih kok PKI bisa sampai ada di Indonesia?” 

Jadi gini, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia cenderung terbuka dengan berbagai macam ideologi, baik ideologi nasionalis, agama, termasuk juga ideologi komunis. Presiden Soekarno berpendapat bahwa ketiga ideologi itu bisa berjalan beriringan secara seimbang baik secara politik maupun secara praktis dalam masyarakat – gagasan ini kemudian biasa disebut dengan NASAKOM (Nasionalis- Agama-Komunis).

Nah, dengan dinamika politik yang begitu beragam pada saat itu, masing-masing ideologi berusaha untuk saling memperluas pengaruhnya baik kepada masyarakat maupun pada kaum yang berkuasa pada pemerintahan Soekarno. Pada suatu kesempatan PKI mengarang cerita (menurut versi ORBA) bahwa ada kelompok jendral-jendral Angkatan Darat yang membentuk kelompok yang dinamakan Dewan Jenderal, yang berencana melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat perayaan hari TNI, 5 Oktober 1965.

Dalam hal ini,salah satu petinggi PKI Sjam Kamaruzzaman bekerjasama dengan komandan Resimen Cakrabirawa (pasukan pengaman presiden), Letkol Untung Syamsuri untuk ngegagalin rencana kudeta tersebut dengan cara nyulik perwira tinggi yang diduga tergabung dalam Dewan Jenderal. Para jenderal tersebut kemudian diculik, disiksa dan dipaksa nandatanganin surat pernyataan (sebelum akhirnya dibunuh) yang intinya bilang kalo mereka itu adalah anggota Dewan Jenderal oleh anggota-anggota PKI dan organisasi-organisasi bawahannya seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat).

Keesokan harinya setelah aksi pembunuhan tersebut, Letkol Untung dengan di bawah pengawalan pasukan tidak dikenal ngumumin lewat Radio RRI bahwa dini hari itu dia melakukan “pengamanan” terhadap Presiden dari para jendral yang bakal ngelakuin kudeta. Kejadian penculikan ini kemudian diketahui Mayjend Soeharto, yang waktu itu ngejabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Besoknya, Soeharto langsung menggerakan pasukannya buat melakukan proses pencarian para Jendral yang hilang dan mengusir pasukan-pasukan tidak dikenal tersebut. Sampai pada tanggal 1 Oktober siang hari, Soeharto berhasil ngambil alih RRI dari tangan pasukan yang menurutnya disusupi PKI, dan mengumumkan bahwa terjadi penculikan jenderal-jenderal yang diduga digagas oleh PKI.

Serambi Penyiksaan G30S PKI
Serambi Penyiksaan G30S PKI (dok.Winny Marlina)

Beberapa hari setelah itu, nongol berita- berita di media cetak asuhan TNI seperti Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang intinya bilang bahwa yang melakukan penculikan terhadap Jenderal-jenderal itu adalah PKI, termasuk juga berita bahwa jenderal-jenderal itu mengalami penyiksaan dulu sampai akhirnya dibunuh. Nah, singkat kata singkat cerita, dari cerita versi pemerintahan Orde Baru di atas, akhirnya terjadilah serangkaian skenario “pembersihan” PKI dan simpatisannya di setiap pelosok penjuru Indonesia. Sampai pada akhirnya Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu. Sehari kemudian, 12 Maret 1966, Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.

HIPOTESIS 2: KONFLIK INTERNAL ANGKATAN DARAT

Hipotesis yang kedua ini sebenernya udah lama diketahuin sama peneliti-peneliti dan media luar negeri. Tapi, upaya buat menyuarakan sangat disulitkan, terutama pada masa pemerintahan ORDE BARU. Pertama kali muncul, hipotesis ini dijabarkan secara panjang lebar sama peneliti politik Indonesia asal Universitas Cornell, AS, Benedict Anderson. Sebenernya sih ada dua versi kecil dalam teori ini, yaitu yang berpendapat bahwa:

1. Mayjen Soeharto adalah dalang dari peristiwa penculikan dan pembunuhan keenam Jendral.
2. Soeharto tidak terlibat namun hanya diuntungkan dari situasi dari konik internal TNI.

Nah, sebetulnya memangnya ada konik internal apa sih di TNI pada masa itu? Kubu apa aja sih dalam internal TNI yang berantem? Kenapa konflik internal ini berhubungan erat dengan peristiwa penculikan dan pembunuhan keenam jenderal. Oke, kita bahas satu-satu yah. Kalo boleh kita simplikasi, pada masa itu TNI terpecah menjadi 2 kubu yang secara sederhana kita sebut saja dengan 1. Kubu Soekarnois dengan 2. Kubu “Kanan”.

1. Kubu Soekarnois

Kubu ini sangat setia dengan Presiden Soekarno, walaupun mereka sebetulnya kurang sepakat dengan ideologi Nasakom yang digagas oleh Soekarno. Salah satu figur utama dalam kubu ini adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani (Kepala Staf Angkatan Darat/KSAD). A.Yani dikenal sebagai pendamai ulung dalam setiap gerakan separatis yang mengancam kesatuan RI. Jadi, kalo mau mendamaikan konflik apa-apa, Soekarno gak usah pusing, langsung aja turunin A.Yani ke lapangan. Pemberontakan selesai, minim korban dan konflik! Selain A.Yani, kebanyakan kubu Sokarnois dipenuhi oleh para perwira muda.

2. Kubu “Kanan”

Kubu ini sangat khawatir terhadap sikap politik Soekarno yang seringkali menganggap TNI sebelah mata, sehingga sering juga deh tuh Jenderal-jenderal dari kubu ini protes ke Soekarno. Perwira tertinggi dari kubu ini yang terkenal adalah Jenderal Sudirman, Jenderal Tahi Bonar Simatupang, dan Jenderal Abdul Harris Nasution.

Yani-Sudirman.
Yani-Sudirman (dok.Wikimedia Commons)

Pada masa itu (1962 – 1966), TNI cukup sibuk dengan adanya 2 konik militer yaitu upaya untuk merebut Irian Barat (1963) dan juga Konfrontasi dengan Malaysia (1962-1966). Di tengah-tengah 2 operasi militer tersebut, TNI merasa terganggu dengan gagasan dari PKI untuk membentuk Gerakan yang bernama Angkatan Kelima. Angkatan Kelima ini intinya adalah gerakan untuk mempersenjatai sipil terutama kaum buruh dan petani, agar bisa membantu Indonesia dalam konfrontasi militer dengan Malaysia, dengan alasan bahwa jumlah petani dan buruh sangat banyak. Dengan adanya usulan ini, pihak militer menanam kecurigaan bahwa gerakan Angkatan Kelima ini adalah upaya PKI untuk memobilisasi buruh dan petani (yang merupakan simpatisan PKI) untuk melakukan kudeta dan merebut kekuasaan.

Nah, memanasnya hubungan PKI – TNI ini lah yang jadi sumber konflik baru dalam internal TNI sendiri. Kubu Soekarnois menganggap bahwa apapun yang menjadi keputusan Soekarno, sebagai Panglima Tertinggi TNI dan Pemimpin Besar Revolusi waktu itu, harus dipatuhi. Jadi, walaupun sebetulnya mereka khawatir sama perkembangan pesat yang diraih PKI, tetap harus dukung rencana Soekarno terkait ajaran Nasakom. Di sisi lain, kubu Kanan menganggap bahwa PKI adalah ancaman buat TNI dan rakyat Indonesia sehingga harus diredam perkembangannya.

Nah, inilah yang jadi awal perpecahan yang berujung ke peristiwa G30S, yang menurut para pendukung hipotesis ini, peristiwa penculikan dan pembunuhan keenam Jenderal merupakan gerakan murni yang dilakukan oleh TNI. Ada tiga bukti yang selalu dijadikan alasan kuat oleh para pendukung hipotesis ini. Pertama adalah hasil penelitian Benedict Anderson yang dikenal dengan Cornell Paper. Kedua adalah pembelaan diri dari Kolonel Latief (salah satu terdakwa G30S/PKI), dan ketiga adalah hasil otopsi terhadap para jendral yang jadi korban G30S

Bukti Penguat 1 : Cornell Paper

Benedict Anderson
Benedict Anderson (dok.Britannica)

Hasil penelitian ini dengan jelas menyebutkan bahwa Gerakan 30S adalah inisiatif beberapa perwira menengah TNI yang mengetahui adanya upaya untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno. Hal ini diperjelas sama pidato Letkol Untung Syamsuri, yang waktu itu adalah kepala penjaga presiden, pas ngambil alih stasiun RRI pagi harinya, bahwa penculikan yang dia lakuin adalah untuk mencegah terjadinya kudeta terhadap Soekarno. Usaha para perwira menengah yang usianya masih cenderung muda ini kebanyakan kecewa sama para petinggi TNI karena kurang memperhatikan kesejahteraan para perwira menengah ke bawah.

Bukti Penguat 2: Pledoi Latief 

Kol. Latief merupakan Komandan Brigadir Infantri Kodam Jaya pada tahun 1965 dan merupakan kawan dekat dari Mayjen Soeharto dan Letkol Untung, ketika berada di Kodam Diponegoro. 

Pada saat Latief dituduh terlibat G30S, Latief melakukan pernyataan pembelaan diri (pledoi) dengan mengatakan bahwa Soeharto sebenarnya mengetahui tentang rencana penculikan jendral-jendral, tapi tidak mengambil sikap apa-apa. Dalam pembelaannya, Latief mengungkapkan bahwa beberapa jam sebelum penculikan berlangsung, Latief datang ngelapor ke Mayjen Suharto di RSPAD (waktu itu Soeharto sedang menjenguk anaknya yang sedang sakit) bahwa ada tentara yang akan menculik A.Yani (kubu Soekarnois) dkk serta membawa mereka ke Presiden Soekarno. 

Karena menganggap bahwa Soeharto sudah mengetahui serta mendukung rencana ini, dia pun lalu pergi ninggalin RSPAD Gatot Subroto. Setelah peristiwa tersebut terjadi, baru Latief kebingungan karena para Jendral yang rencananya hanya diculik untuk kemudian dibawa ke Presiden Soekarno ternyata ditemukan tewas. 

Bukti Penguat 3: Hasil otopsi para korban 

Berbeda dengan klaim yang dibuat oleh media asuhan TNI seperti Beritayudha dan Angkatan Bersendjata bahwa terjadi penyiksaan terhadap para jendral sebelum akhirnya dibunuh. Ternyata, hasil otopsi yang dilakukan oleh tim dokter yang terdiri dari 

1. dr. Brigjen Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat), 2. dr. Kol. Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat), 

3. Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, profesor di FK UI), 

4. dr. Liauw Yan Siang (dosen dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI) 

5. dr. Liem Joe Thay (alias dr. Arief Budianto, dosen Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI)

Menyatakan bahwa pada tubuh para jendral tidak ditemukan adanya bekas penyiksaan. Korban diyakini tewas karena beberapa luka tembusan peluru, ditambah dengan luka benturan (diduga terjadi setelah tewas karena dijatuhkan ke dalam sumur). Tidak ditemukan tanda-tanda bekas cungkilan mata, pemotongan alat kelamin, dsb, seperti klaim dari berita-berita media TNI. 

Kalo kita melihat dari ketiga bukti di atas, ternyata hipotesis 2 ini juga punya bukti yang harus dipertimbangkan. Pada kaum cendekiawan yang mendukung hipotesis ini percaya bahwa momentum konflik internal dalam kubu TNI dimanfaatkan sebagai moment peralihan kekuasaan sekaligus juga dengan menjadikan PKI sebagai kambing hitam yang merupakan musuh ideologis TNI pada masa itu. 

HIPOTESIS 3 : KETERLIBATAN BLOK BARAT DI TENGAH KONFLIK PERANG DINGIN 

Nah, setelah kita menelusuri 2 versi hipotesis yang dirangkum berdasarkan catatan dan perspektif internal kita sebagai warga negara Indonesia. Sekarang gimana dengan pandangan dunia internasional? Tentunya, dunia internasional memiliki catatan sejarahnya sendiri terkait dengan peristiwa 30 September 1965 yang terjadi di Indonesia, serta pengaruhnya peristiwa tersebut yang menjadi titik penentu konflik perang dingin

“Lha, kok bisa pembunuhan enam Jendral di Negara Indonesia berpengaruh terhadap perang dingin antara dua kubu super power dunia?” 

Jadi gini ceritanya, setelah masa perang dunia II, terjadi ketegangan antara kedua kubu besar yang mengambil andil besar dalam mengalahkan Jerman dan Jepang, yaitu kubu Blok Timur (Uni Soviet, Cina, Warsaw Pact yang mayoritas berideologi komunis dengan Blok Barat (Amerika dan NATO) yang sebagian besar berideologi kapitalis. Ketegangan antara 2 kubu ini memang gak banyak melibatkan kontak senjata (makanya disebutnya perang dingin), akan tetapi justru “konflik” yang terjadi adalah adu siasat untuk menguasai sebanyak mungkin wilayah-wilayah strategis, jalur perdagangan, sumber daya alam, hubungan bilateral wilayah dunia ketiga, dsb. 

Dalam perspektif ini, Indonesia dipandang oleh kedua kubu sebagai wilayah yang sangat strategis. Dari mulai upaya untuk menjalin hubungan bilateral, penghubung jalur perdagangan, potensi pasar yang konsumtif, dan juga sumber daya alam. Tentu saja kedua kubu ini ingin sekali mengambil hati negara Indonesia untuk bisa bergabung dengan aliansi mereka masing-masing.

Allen Pope
Allen Pope (dok. Wikimedia Commons)

Sementara itu, Soekarno menetapkan Indonesia sebagai penganut Non-Aligned Movement (Gerakan Non-Blok), yang berarti Indonesia mengambil sikap untuk tidak memihak antara kedua kubu Barat maupun Kubu Timur. Posisi seperti ini dianggap sangat mengkhawatirkan oleh Blok Barat yang betul-betul mengharapkan Indonesia tidak sampai jauh pada ideologi komunis. Sampai pada tahun 1957-1958 Indonesia menghadapi 2 ancaman pemberontakan dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat tahun 1958 dan pemberontakan Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta disingkat Permesta di Makasar dan kawasan Indonesia Timur. Dalam upaya meredam pemberontakan ini, Indonesia menyadari bahwa adanya intervensi dari Blok Barat, CIA, dan Amerika yang mendukung kaum pemberontakan. Salah satunya adalah dengan tertangkapnya Allen Lawrence Pope seorang tentara bayaran yang ditugasi CIA untuk membantu pemberontakan PRRI dan Permesta. 

Sejak saat itu, pandangan politik Presiden Soekarno berubah drastis terhadap Blok Barat dan cenderung lebih menjalin hubungan baik dengan Blok Timur. Puncaknya pada tahun 1964, Soekarno memulai kampanye anti-Amerika dengan melarang peredaran film, buku, dan musik dari Amerika, penolakan segala macam bantuan dari Amerika, sampai pemenjaraan dari group band Koes Plus karena bandel tetap memainkan musik dengan gaya rock and roll ala Amerika. Kondisi tersebut diperparah ketika Indonesia memutuskan keluar dari PBB pada 7 January 1965 dan membentuk kebijakan politik luar negeri menjadi poros Jakarta–Beijing–Moscow–Pyongyang–Hanoi

Soekarno - Nikita Kruschev
Soekarno – Nikita Kruschev (dok.Wikimedia Commons)

Tentu saja serangkaian gerakan politik Indonesia pada tahun 1964–1965 itu sangat amat mengkhawatirkan bagi pihak Blok Barat. Amerika terancam tidak bisa membangun hubungan bilateral yang baik, jalur perdagangan terputus, kerjasama dalam bidang ekonomi dan sumber daya 

alam gak lagi bisa dilakukan, dsb. Sampai ketakutan dari Amerika yang paling utama adalah jika Indonesia secara resmi tergabung dengan Blok Timur dan ikut menganut ideologi komunis. 

Nah lho, terus gimana dong tindakan strategis Amerika untuk bisa merebut kembali hati negara Indonesia? Para peneliti sejarah yang menganalisa keterlibatan CIA ini kemudian mengambil kesimpulan bahwa ada kemungkinan CIA terlibat dalam gerakan penculikan dan pembunuhan tujuh perwira tinggi militer dengan memanfaatkan konflik internal dari TNI untuk kemudian membantu terjadinya peralihan kekuasaan (menumbangkan Soekarno) sambil menjadikan PKI (yang berideologi komunis) sebagai kambing hitam. 

Dengan adanya peristiwa 30 September 1965 ini serta perubahan pandangan politik Indonesia yang sangat memusuhi komunis, tentu saja sangat menguntungkan pihak Blok Barat terutama Amerika. Pertama, rezim pemerintahan Soekarno mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat maupun kalangan elit politik sampai akhirnya Soekarno lengser dan digantikan oleh Soeharto sebagai presiden kedua Republik Indonesia. Kedua, sejak saat itu Indonesia jadi berpandangan bahwa ideologi komunis (yang dianut sebagian besar Blok Timur) adalah ideologi yang berbahaya, sesat, serta membahayakan bagi NKRI. Dengan begitu, peristiwa 30 September menjadi titik tonggak peralihan pandangan politik Indonesia yang tadinya berporos pada Jakarta–Beijing–Moscow– Pyongyang–Hanoi, menjadi negara yang membuka investasi sebesar-besarnya terhadap perdagangan dunia, terutama dengan pihak Amerika dan Blok Barat. 

Dinamika Catatan Sejarah 30 September 1965 18
Soeharto – Nixon (dok. Wikimedia Commons)

Nah, penganut hipotesa ini seakan mendapatkan titik terang ketika pada tahun 1990, Kathy Kadane mantan agen CIA membeberkan keterlibatan CIA terhadap proses peralihan kekuasaan pada tahun 1965 serta upaya penghapusan ideologi komunis di Indonesia. Selain itu, pada tahun 1999, CIA melakukan deklasifikasi (declassified) atau pembukaan dokumen rahasia (merupakan kebijakan Amerika untuk membuka dokumen rahasia setelah sekian puluh tahun berselang) tentang keterlibatan mereka terhadap konflik internal negara Indonesia dari mulai bukti telegram dari kedutaan besar Amerika di Indonesia tentang pendanaan yang diberikan oleh Amerika untuk agar Indonesia tidak jatuh menganut paham ideologi Komunisme. Sampai pada akhirnya Wikileaks juga membuka dokumen-dokumen rahasia Amerika lainnya tentang keterlibatan AS dalam mendukung gerakan peralihan kekuasaan di Indonesia pada tahun 1965. Update terakhir terkait informasi keterlibatan Amerika Serikat juga diperkuat setelah deklasifikasi dokumen rahasia CIA dan NSA pada Oktober 2017, ke-39 dokumen rahasia Amerika Serikat yang sudah resmi dibuka kepada publik tersebut, kini bisa lo baca dalam bahasa Indonesia pada link berikut ini.

DAMPAK GERAKAN 30 SEPTEMBER / 1 OKTOBER BAGI INDONESIA 

Nah, sekarang lo sudah mendapatkan garis besar dari 3 versi tentang sebuah peristiwa Sejarah yang paling gelap, paling misterius, dan mungkin paling memilukan bagi Bangsa Indonesia. Jadi siapakah dalang sebetulnya yang paling bertanggung-jawab terhadap peristiwa gerakan 30 September ini? Apakah PKI? atau oknum internal TNI? atau Amerika, CIA, dan sekutunya? 

Siapa pun itu, dampak dari peristiwa ini jauh lebih menyedihkan bagi Bangsa Indonesia. Sejak (atau bahkan sebelum) Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia pada tahun 1966, kebencian masyarakat Indonesia terhadap PKI meluas ke seluruh penjuru Indonesia. Akibatnya, diperkirakan: 

600.000 orang yang dianggap terkait dengan PKI menjadi tahanan politik, ditangkap tanpa surat penangkapan serta ditahan tanpa proses persidangan. 

Setidaknya diperkirakan 500.000 – 2,000,000 atau 3,000,000 orang dihilangkan secara paksa dan dibunuh di seluruh pelosok Indonesia dari tahun 1965 – (kemungkinan) 1971. (Angka 2 juta diakui oleh Laks. TNI Sudomo sedangkan 3 juta diakui oleh Jenderal Sarwo Edhie) Ratusan orang tawanan politik Indonesia kabur ke luar negeri dan tidak bisa kembali ke Indonesia selama 30 tahun hingga masa Orde Baru jauh pada tahun 1998.

Aftermath atau dampak berkelanjutan setelah gerakan 30 September 1965 dianggap sebagai salah satu tragedi kemanusiaan (genocide) terbesar pada abad 20 yang jarang diketahui oleh publik Indonesia maupun dunia hingga saat ini. 

Sebagai penutup, kita sadar bahwa sebuah artikel seperti ini tidak akan mungkin bisa mengupas sebuah dinamika peristiwa Sejarah yang begitu kompleks, begitu rumit, dan begitu misterius. Harus diakui bahwa artikel ini adalah bentuk penyederhanaan dan simplifikasi dari serangkaian peristiwa lain, banyaknya kepentingan lain yang tidak sempat dikupas, serta banyak kisah menarik yang terlewatkan. Namun kita berharap bahwa lo sekarang bisa melihat sejarah sebagai sebuah rangkaian peristiwa yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain, bahwa sejarah adalah suatu pembelajaran yang komprehensif terhadap dinamika kepentingan, perilaku manusia, serta menjadi sarana pembelajaran kita semua untuk membangun sejarah Indonesia yang lebih baik. 

“Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.”

Soe Hok Gie, Aktivis Mahasiswa Indonesia (1942-1969) 

Keterangan Sumber : 

https://wikileaks.org/plusd/cables/1973JAKART14176_b.html

http://www.namebase.org/scott.html 

http://en.wikipedia.org/wiki/CIA_activities_in_Indonesia 

http://www.namebase.org/kadane.html 

https://nsarchive.gwu.edu/kedutaan-besar-mengikuti-berjalannya-pembunuhan-massal-di-indonesia-pada-tahun-1965 http://www2.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB52/doc189.pdf 

http://en.wikipedia.org/wiki/Indonesian_killings_of_1965%E2%80%9366#Foreign_involvement_and_reaction http://en.wikipedia.org/wiki/30_September_Movement 

http://markcurtis.wordpress.com/2007/02/12/the-slaughters-in-indonesia-1965/ 

http://newint.org/features/web-exclusive/2010/12/15/suhartos-bloodiest-secrets/ 

http://www.namebase.org/kadane.html 

http://www.namebase.org/scott.html 

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Revolusioner_Republik_Indonesia 

http://id.wikipedia.org/wiki/Perdjuangan_Semesta 

http://id.wikipedia.org/wiki/Allen_Lawrence_Pope 

http://www.jstor.org/discover/10.1525/as.2002.42.4.550?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21104714018517 

==========CATATAN EDITOR=========== 

Kalo ada di antara kamu yang mau ngobrol atau diskusi terkait dengan peristiwa Sejarah Gerakan 30 September 1965, nggak usah malu-malu langsung aja tinggalin comment di bawah artikel ini. Admin mengingatkan jika ada komentar atau pernyataan yang menggunakan kata-kata yang tidak pantas atau mengandung ad hominem/penghinaan akan segera dihapus oleh editor. Jadi kita berharap diskusi yang berjalan untuk topik yang cukup serius ini berjalan dengan sehat, serta saling menghargai pendapat satu sama lain. 

AUTHOR: FAISAL & GLENN 

Faisal Aslim dan Glenn Ardi berkolaborasi untuk menulis artikel ini. Follow Twitter Faisal at @ularnegeri dan Follow Twitter Glenn at @GlennArdi

Bagikan Artikel Ini!