Chairil Anwar

Chairil Anwar, Sastrawan Pelopor Angkatan ‘45

Chairil Anwar (1922-1949) membawa nuansa baru bagi kesusastraan Indonesia, sajak-sajaknya juga banyak menginspirasi orang-orang. Yuk, mengenal sosok Chairil Anwar!

Hi, guys! Senang bisa berjumpa lagi, gue mau sharing dengan kalian tentang tokoh sastrawan yang mungkin paling familiar di kalangan umum. Bahkan, saking spesialnya, namanya diabadikan menjadi nama jalan di beberapa daerah, serta terdapat patung dirinya di halaman utara Monumen Nasional. Sosok itu adalah Chairil Anwar dengan puisi Indonesia modernnya.

Patung Chairil Anwar
Patung Chairil Anwar di Halaman Monumen Nasional (Sumber: Perpusnas)

Chairil Anwar, “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul Aku), dianggap sebagai pelopor sastrawan Angkatan ‘45 dan berjasa terhadap pembaruan puisi-puisi Indonesia. Ia yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. 

Chairil Anwar meninggal dalam usia muda dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari Puisi Nasional dirayakan bertepatan dengan peringatan hari wafatnya, yaitu 28 April.

Apa sih yang membuat namanya begitu tersohor? Apa saja karya-karya yang melambungkan nama Chairil Anwar? Yuk, simak terus artikel kali ini agar Sobat Zen dapat mengenal sosok Chairil Anwar. 

Profil Singkat Chairil Anwar

Pada tanggal 22 Juli 1922, Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatra Utara. Sosoknya merupakan penyair yang tidak lepas dari puisi Indonesia modern. Oleh sebab itu, Chairil menjadi pelopor Angkatan ‘45 dalam sejarah sastra Indonesia.

Chairil Anwar
Chairil Anwar (Sumber: PDS HB Jassin)

Chairil Anwar merupakan anak tunggal dari pasangan Teoloes bin Haji Manan dan Saleha atau biasa dipanggil Mak Leha. Kedua orang tuanya berasal dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Ayahnya adalah seorang mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau. 

Ayah dan anak ini meninggal pada tahun yang sama. Toeloes ditembak oleh Belanda saat Aksi Polisionil Belanda (Agresi Militer) yang terjadi pada tanggal 5 Januari 1949 di Rengat. Selang tiga bulan setelah kematian ayahnya, tepatnya tanggal 28 April 1949, Chairil Anwar meninggal karena sakit di Jakarta. 

Chairil kecil sangat dekat dengan neneknya di Medan. Kedekatannya memberikan kesan dalam hidup Chairil yang jarang berduka. Salah satu dukanya yang paling membekas mungkin adalah ketika neneknya harus pergi untuk selamanya. Chairil mengabadikan perasaan duka tersebut dalam sajaknya berjudul Nisan.

Nenek dan ibu adalah dua wanita yang paling Chairil puja. Sebagai tanda menemani nasib ibunya, Chairil terbiasa menyebut ayahnya hanya dengan namanya (Toeloes). Di hadapan ibunya, Chairil juga menghilangkan sisi dirinya yang liar. Chairil juga menyatakan cintanya terhadap ibu dalam beberapa sajaknya.

Nisan
(Chairil Anwar)

untuk nenekanda
 
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
Oktober, 1942

Pendidikan Chairil

Seperti yang kita ketahui, Chairil Anwar hidup pada masa penjajahan Belanda, maka nama-nama tempat ia sekolah menggunakan bahasa asing. Pendidikan sekolah dasar Chairil Anwar ditempuh di Hollands-Inlandsche School (HIS), Medan. Untuk tingkat SMP  Chairil Anwar bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Pendidikannya di MULO Medan tidak tamat, Chairil hanya sampai kelas satu. 

Saat Chairil pindah ke Jakarta, ia melanjutkan sekolahnya di MULO Jakarta. Di Jakarta, ia hanya melanjutkan pendidikannya sampai kelas dua. Setelah itu, Chairil belajar secara mandiri atau autodidak.

Chairil sudah membaca buku-buku HBS (Hogere Burger-School) atau setara SMA, walaupun ia masih mengenyam pendidikan di MULO. Chairil gemar mempelajari berbagai bahasa, ia belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman. Dari hasil mempelajari bahasa-bahasa itu, ia dapat membaca dan mempelajari karya sastra dunia yang ditulis dalam bahasa asing. 

Chairil Anwar dan Sutan Sjahrir

Chairil Anwar memiliki pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir. Chairil Anwar adalah keponakan dari Sutan Sjahrir. Sjahrir menjadi gerbang bagi Chairil untuk mengenal sastra dunia. Chairil banyak mengenal sastra dunia ketika tinggal di rumah Sjahrir. Di perpustakaan pribadi Sjahrir, ia membaca koleksi buku sastra Belanda dan penyair Eropa, seperti Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slauerhoff, dan Edgar du Perron.

Menurut Sjahrir, sastrawan harus mempelajari kehidupan rakyat dan mengenalnya lebih dekat. Chairil terpengaruh dengan hal itu, lalu hidup di antara kaum intelektual dan rakyat jelata. Chairil bergaul dengan tokoh-tokoh besar bangsa, hingga pegiat seni ternama. Chairil sering juga bergaul dengan rakyat jelata dan mengikuti kegiatannya secara langsung. Hal ini dilakukan untuk mengambil bahan, bahasa, dan inspirasi dalam menulis sajak-sajaknya.

Sutan Sjahrir merupakan pengagum filsafat Nietzsche, eksistensialisme, dan Barat. Dapat dikatakan jika Sjahrir adalah mentor pertama Chairil dalam filsafat sebelum penyair Laurens Koster Bohang (LK Bohang). Sajak dan pemikiran Chairil dipengaruhi oleh paham yang ia dapat. Terdapat kemiripan dalam pemikiran Chairil dan Sjahrir, yaitu kebebasan individu.

Berada di kediaman Sjahrir merupakan berkah tersendiri bagi Chairil ketika hijrah ke Batavia tahun 1941. Sjahrir sebagai tokoh politik sudah memiliki modal sosial dan intelektual yang baik. Modal sosialnya adalah jaringan aktivis dan seniman, sedangkan modal intelektualnya adalah pengetahuan Sjahrir dalam filsafat dan politik yang luas. Dengan begitu, Sjahrir secara langsung dan tidak langsung juga memengaruhi Chairil dalam aktivitas politik, filsafat, dan kebangsaan.

Dengan akses sosial dari Sjahrir, Chairil dapat dengan mudah diterima oleh jaringan Sjahrir. Kemudian, hal ini memudahkan Chairil untuk aktif dengan kalangan pemuda kemerdekaan di markas pemuda Menteng 31, Prapatan 10, dan Cikini 71.

Pada zaman pendudukan Jepang, Jepang memiliki tujuan dalam propaganda dan kontrol politik. Jepang melakukan penyegelan radio dan memutus semua siaran radio luar negeri. Kempeitai telah menyiapkan hukuman mati bagi mereka yang kedapatan mendengarkan siaran luar negeri. Jepang hanya membolehkan siaran radio Jepang di bawah pengawasan Nippon Hoso Kyokai.

Sjahrir mempunyai radio gelap bermerek Philips yang ia dapatkan dari Chairil. Radio itu dibeli dari perempuan blaster Indo-Belanda yang sedang kesulitan ekonomi. Chairil membeli radio tersebut seharga 125 gulden. 

Sebelum tahun 1945, Sjahrir pernah memberikan modal kepada Chairil dan Des Alwi (anak angkat Sjahrir) untuk usaha jual-beli barang bekas. Salah satu barang bekas yang dibeli adalah radio tersebut. Sjahrir menggunakannya untuk memantau siaran BBC London atau VOA (Voice of America). Jepang tidak mengetahui keberadaan radio itu karena Sjahrir menyembunyikannya di dalam lemari di kamar tidurnya. 

Pada 10 Agustus 1945, dari radio yang diberikan Chairil, Sjahrir mendapat berita penting, yaitu tentang bom atom kedua di Nagasaki dan ultimatum dari sekutu yang menyatakan agar Jepang segera menyerah. Mendengar berita tersebut, Sjahrir mamberi arahan kepada Chairil untuk menginformasikan apa yang ia dapat kepada kalangan pemuda dan pergerakan lainnya. 

Dalam buku Soebadio Sastrosatomo (1995), Chairil datang ke Komite Bahasa Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No 23 pukul 10.00 WIB. Kemudian, Chairil menemui Soebadio untuk menyampaikan pesan dari Sjahrir. Soebadio meneruskan pesan itu kepada yang lainnya dan berujung pada peristiwa Rengasdengklok serta proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Dari kisah ini, Chairil memiliki peran dalam tercapainya kemerdekaan Indonesia. Jika tidak ada peran Chairil Anwar, mungkin akan terdapat perbedaan alur atau peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah. Chairil bukan hanya seorang penyair, tetapi juga seorang pejuang.

Chairil Rokok
Potret Lain dari Chairil yang Sedang Merokok (Sumber: wikimedia)

Perjalanan Karir dan Karya Chairil Anwar

Chairil Anwar merupakan sosok fenomenal, ia dikenal dengan puisi-puisinya. Selain menulis puisi, ia juga tercatat memiliki kegiatan atau karier lainnya, antara lain: menerjemahkan karya-karya asing ke dalam bahasa Indonesia; menjadi penyiar radio; menjadi redaktur Gema Suasana; menjadi redaktur rubrik kebudayaan Siasat “Gelanggang”; mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka”.

Pada tahun 1942, ketika berusia dua puluh tahun, Chairil Anwar memulai kariernya dengan menciptakan sajak berjudul “Nisan”. Ia terus menulis hingga akhir hayat (1949). Pada tahun 1949, Chairil menulis enam buah sajak, yaitu “Mirat Muda”, “Chairil Muda”, “Buat Nyonya N”, “Aku Berkisar Antara Mereka”, “Yang Terhempas dan Yang Luput”, “Derai-Derai Cemara”, dan “Aku Berada Kembali”. 

Selama rentang waktu enam setengah tahun dari 1942 sampai 1949, Chairil Anwar tercatat telah menghasilkan karya yang jumlahnya sekitar 90-an. Gue tidak menemukan jumlah pastinya karena perbedaan data yang ditemukan. Namun, dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (HB Jassin, 1978 [cetakan IV]: 49), Chairil Anwar telah menulis 72 sajak asli (satu dalam bahasa Belanda), 2 sajak saduran, 11 sajak terjemahan, 7 prosa asli (satu dalam bahasa Belanda), dan 4 prosa terjemahan. Dengan demikian, karya Chairil Anwar berjumlah 96 judul.

Semua tulisannya dikompilasi dalam buku-buku berikut. 

  • Deru Campur Debu (1949) diterbitkan oleh Penerbit Pembangunan, Opbuow, Jakarta.
  • Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949) diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Jakarta.
  • Tiga Menguak Takdir (1950, bersama Asrul Sani dan Rivai Apin) diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta.
  • Aku Ini Binatang Jalang (1986) diterbitkan oleh PT Gramedia, Jakarta.

Kesungguhan Chairil dalam menciptakan sebuah sajak tidak lepas dari hasil mempelajari sajak-sajak terkenal dari luar negeri. Kita dapat melihat hal tersebut dari hasil terjemahan sajak-sajak asing yang disalinnya. Dia menyalin dan menerjemahkan sajak R.M. Rilke (Jerman), H. Marsman (Belanda), E. du Perron (Belanda), dan J. Slauerhoff (Belanda), Nietzsche (Jerman), John Cornford (Inggris), Hsu Chih Mo (Cina), Conrad Aiken (Amerika), dan W.H. Auden (Amerika). Diketahui, ia juga menerjemahkan sajak-sajak berikut:

  • Sajak “De laatste dag der Hollanders op Java” karya Multatuli dengan judul “Hari Akhir Olanda di Jawa”. 
  • Sajak “The Raid” karya John Steinbeck (Amerika) dengan judul “Kena Gempur”. 
  • Sajak “Le retour de l’enfant prodigue” karya André’ Gide (Perancis) dengan judul “Pulanglah Dia Si Anak Hilang”. 

Menurut Chairil Anwar, menulis sebuah sajak tidak dapat dilakukan dalam sekali jadi. Pemilihan diksi harus melalui tahap pencarian yang mendalam. Setiap kata dipertimbangkan, dipilih, dihapus, dan dibuang jika perlu. Kemudian, kata-kata itu dihimpun kembali untuk menghasilkan warna baru. 

Chairil memberikan inspirasi dan apresiasi pada upaya manusia (khususnya bangsa Indonesia) dalam meraih kemerdekaan dan melepaskan diri dari tangan penjajah. Hal ini, tercermin dari sajak-sajaknya yang berjudul “Karawang-Bekasi”, “Aku”, dan “Diponegoro” serta “Persetujuan dengan Bung Karno” mendapatkan banyak apresiasi sebagai sajak perjuangan. Bahkan, klausa “Aku ini binatang jalang” dalam sajak “Aku”, memberikankan dorongan dalam hati rakyat Indonesia untuk bebas dan merdeka.

Aku
(Chairil Anwar)


Kalau sampai waktuku 
Ku mau tak seorang kan merayu 
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang 
Dari kumpulannya terbuang


Biar peluru menembus kulitku 
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari 
Berlari 
Hingga hilang pedih perih

Dan akan lebih tidak peduli 
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Nama Chairil Anwar yang sekarang sangat tersohor bukan berarti ia memiliki perjalanan karier yang mulus-mulus saja. Tidak semua sajaknya dapat diterbitkan dengan mudah. Sutan Takdir Alisjahbana pernah menolak penerbitan sajak Chairil di Pujangga Baru. Akan tetapi, pada akhirnya Sutan Takdir Alisjahbana mengakui kebesaran Chairil. Ia pun menyebut jika sajak-sajak Chairil Anwar sebagai “sambal pedas” yang “menikmatkan”. 

Pada paruh kedua dasawarsa 1960-an, meskipun Chairil telah tiada, terdapat kelompok pengarang yang hendak menyingkirkannya, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Menurut sumber Ensiklopedia Kemdikbud, kelompok Lekra memberikan cap kepada Chairil Anwar sebagai penyebar sikap individualis dan wawasan humanisme universal. Hal itu dianggap menghambat kaum komunis untuk mewujudkan revolusi visinya. 

Chairil Anwar juga pernah mendapatkan tuduhan plagiat atas beberapa karyanya. Isu yang paling terkenal adalah jika salah satu sajaknya yang berjudul “Karawang-Bekasi” memiliki kemiripan atau disadur dari sajak “The Young Dead Soldiers” karya Archibald MacLeish (1948). 

Menurut Ensiklopedia Kemdikbud, Kumayas adalah orang yang pertama mengemukakan plagiarisme yang dilakukan oleh Chairil. Sayangnya, gue tidak bisa menemukan petunjuk apapun tentang sosok Kumayas.

Kisah Asmara dan Keluarga

Senja di Pelabuhan Kecil adalah sajaknya yang dibuat untuk seorang wanita bernama Sri Ayati. Chairil mengenalnya saat masih bekerja sebagai penyiar radio Jepang di Jakarta (kini gedung RRI, Jl Merdeka Barat, Jakarta Pusat). Setelah radio Belanda Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM) ditutup, pengelolaannya berpindah ke tangan Jepang dan berganti nama menjadi radio Jakarta Hoso Kyokam. 

Dilansir dari Republika, Sri Ayati berkata ”Saya tahu kalau Chairil membuat sajak untuk saya dari almarhumah Mimiek, putri angkat mantan perdana menteri Sutan Sjahrir”. Menurutnya, ia juga heran mengapa Chairil membuatkan sajak untuknya.

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Sri Ayati bukanlah satu-satunya nama wanita yang pernah ada dalam sajak-sajak Chairil. Tercatat ada beberapa nama wanita, seperti Ida Nasution, Sri Ayati, Gadis Rasid, Sumirat, Karinah Moordjono, Dien Tamaela, Tuti Artic, dan Hapsah Wiriaredja. Nama-nama gadis itu ada yang ditulis dalam puisi, dijadikan judul sajak, atau dijadikan sajak persembahan oleh Chairil. 

Dari banyaknya nama tersebut, Chairil menikah dengan gadis Karawang bernama Hapsah, putri Haji Wiriaredjo, pada tanggal 6 September 1946 di Karawang. Chairil Anwar menjadi ayah dari seorang anak perempuan bernama Evawani Alissa yang lahir pada tanggal 17 Juni 1947.

Dari Ensiklopedia Kemdikbud, Hapsah mengatakan jika Chairil Anwar sedang berada di rumah, Chairil tidak lepas dari kegiatan membaca buku sampai-sampai saat menyuap nasi pun dilakukan sambil membaca. Bahkan, di tempat tidur pun juga demikian, Chairil selalu membaca sajak-sajak. 

Pernikahan itu tidak berumur panjang. Chairil Anwar akhirnya bercerai dengan Hapsah saat anaknya berumur tujuh bulan tanpa diketahui sebabnya. Kabar yang beredar saat itu mengatakan bahwa penyebab perceraiannya adalah kesulitan ekonomi dan gaya hidup Chairil yang tidak berubah.

Eva dibawa oleh Hapsah. Eva baru mengetahui jika Chairil Anwar adalah ayah kandungnya pada usia 8 tahun. Hal ini disebabkan oleh sang ibu yang selalu menyembunyikan identitas Chairil sebagai ayahnya dengan alasan karena ia masih terlalu kecil untuk mengetahui sang ayah telah tiada. Eva melanjutkan hidupnya hingga mengenyam pendidikan tinggi dalam studi hukum dan berprofesi sebagai pengacara.

Dilansir dari laman CNNIndonesia, “Apa pun itu, saya merasa bangga dan bersyukur menjadi anak seorang Chairil Anwar. Dengan usia dia yang sangat muda, dia tidak hanya produktif, tapi juga berkualitas. Sampai sekarang karyanya masih dikenang dan dibawa,” ungkap Eva terhadap sosok ayahnya.

Pendapat Tokoh Lain

Sudah banyak kajian yang mengupas tentang peranan Chairil Anwar dalam perkembangan sastra Indonesia. Benang merahnya adalah Chairil Anwar itu memiliki peran sebagai pelopor Angkatan ’45. Ia akan diingat akan jasanya dalam pembaharuan puisi Indonesia. 

Pembaharuan itu dijelaskan oleh HB Jassin, salah satunya, dalam bukunya yang berjudul Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983). HB Jassin mengatakan bahwa pembaca tidak akan bosan dan selalu merasa terpesona ketika membaca sajak-sajak Chairil Anwar. Setiap kali membacanya, pikiran akan mengembara jauh; selalu menemukan sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak terlihat; seperti melihat dengan mata yang lain dari sudut lain.

Chairil Anwar adalah penyair besar Indonesia dan Chairil sendiri telah meramalkannya. Dilansir dari Ensiklopedia Kemdikbud, Chairil mengatakan, “Nantilah kalau aku sudah meninggal, mereka akan mengerti. Mereka akan memujaku. Mereka akan mematungkan diriku”. Pamusuk Eneste (1988) mengatakan bahwa tokoh-tokoh seperti, Sutan Takdir Alisjahbana, Klara Akustia, Bakri Siregar, dan yang lainnya tidak dapat membendung kebebasan Chairil Anwar. 

Prof. A. Teeuw mengatakan bahwa dalam karya-karya Chairil Anwar terdapat keanekaragaman kehidupan yang penuh gairah. Melalui kepribadiannya dan puisinya, Chairil memberikan sumbangan dan arah terhadap pembentukan Indonesia baru. A. Teeuw memberikan komentar dalam bukunya yang berjudul Sastra Baru Indonesia 1 (1978), dia (Chairil) mempertahankan cita-cita mulia tentang bahasa Indonesia dalam bentuk hubungan yang paling dalam, yaitu puisi. 

Akhir Hidup Sang Penyair

Sejak Chairil berpisah dengan Hapsah, kesehatannya terus menurun. Kondisi fisiknya bertambah lemah karena gaya hidupnya yang semrawut. Chairil sudah memiliki sejumlah penyakit sebelum ia menginjak usia 27 tahun.

Pada tanggal 23 April 1949, Chairil diopname di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Chairil Anwar meninggal dunia pada pukul 14.30 tanggal 28 April 1949. Tidak diketahui pasti penyebab kematiannya, tetapi santer terdengar adalah akibat penyakit TBC. Esoknya, pada tanggal 29 April 1949, ia dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet, Jakarta Selatan.

Pemakaman Chairil memperoleh perhatian besar dari masyarakat. Makamnya kerap diziarahi oleh para pengagumnya hingga saat ini. Berkat dedikasinya, hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar atau Hari Puisi Nasional.

Nah, sekian informasi yang sudah gue dapet dan gue rangkum untuk kalian. Pastinya sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kita di awal, ya. Gue membayangkan jika Chairil Anwar berumur panjang dan hidup di masa Orde Baru, pasti akan lebih banyak cerita tentang beliau yang akan kita dapati. Setuju, gak?

Sosok seperti Chairil Anwar adalah pribadi yang sangat jarang ditemukan. Kemampuan dan kemauannya mengantarkan namanya hingga seperti sekarang. Nama Chairil Anwar akan selalu dikenang dalam sejarah bangsa Indonesia.

Update terus blog Zenius untuk mengetahui biografi dari tokoh-tokoh lainnya, ya, guys. Jangan lupa juga untuk terus ikuti keseruan lainnya dari Zenius di YouTube! Sampai jumpa!

Sutjianingsih, Sri. 2009. Chairil Anwar: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Tersedia dalam http://repositori.kemdikbud.go.id/12934/1/CHAIRIL%20ANWAR.pdf

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2012. Chairil Anwar. Diakses pada 10 November 2021, dari http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Chairil_Anwar

Biografi Tokoh. 2014. Biografi Chairil Anwar. Diakses pada 10 November 2021, dari https://bio.or.id/biografi-chairil-anwar/

IDN Times. 2019. Chairil Anwar: Sang Penyair Cerdas yang Semasa Hidupnya Penuh Derita. Diakses pada 10 November 2021, dari https://www.idntimes.com/science/discovery/nur-mar-a-siregar/hidup-chairil-anwar-c1c2/5

Songyanan, Zulkifli. 2021. Kematian Chairil Anwar dan Warisan-Warisannya. Diakses pada 10 November 2021, dari https://tirto.id/kematian-chairil-anwar-dan-warisan-warisannya-gd5T

Khoiri, Agniya. 2017. Chairil Anwar di Mata Putri Tunggal: Jahil tapi Membanggakan. Diakses pada 10 November 2021, dari https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20170428121052-241-210879/chairil-anwar-di-mata-putri-tunggal-jahil-tapi-membanggakan

WS, Donny. 2020. Chairil di Sekitar Sjahrir. Diakses pada 10 November 2021, dari https://geotimes.id/opini/chairil-di-sekitar-sjahrir/

Shahab, Alwi. 2016. Mendaras Puisi ‘Kerawanan Hati’ Chairil Anwar. Diakses pada 10 November, dari https://www.republika.co.id/berita/o8kbqq282/mendaras-puisi-kerawanan-hati-chairil-anwar

Baca Juga Artikel Lainnya

Sapardi Djoko Damono

Ferdinand de Saussure

WS Rendra

Bagikan Artikel Ini!