WS Rendra

WS Rendra, Si Burung Merak

WS Rendra (1934-2009) atau Si Burung Merak adalah sastrawan yang sangat aktif berkarya, ia juga menjadikan karya sebagai alat untuk mengkritik. Baca biografi ini untuk mengenal sosok WS Rendra!

Hi, guys! Kali ini, gue mau bahas seorang sastrawan, nih. Ya, dia adalah WS Rendra. Kalian sering mendengar namanya gak sih? Kalian mungkin sering melihat namanya saat bertemu dengan puisi-puisi atau lakon drama.

Rendra merupakan salah satu seniman puisi dan teater yang terkenal di Indonesia. Dari tangan dinginnya, banyak karya-karya sastra fenomenal yang terlahir mengikuti zaman. Sejak muda, Rendra sudah aktif menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa. Semasa hidupnya, WS Rendra banyak menghasilkan karya yang mengkritik rezim (Orde Baru) saat itu.

Baiklah, guys, tanpa banyak basa-basi lagi kita bahas saja, siapa sih WS Rendra?

WS Rendra
WS Rendra dan Naskahnya (Sumber: Tempo)

Siapa itu WS Rendra?

Willibrordus Surendra Broto, dikenal luas dengan nama W.S. Rendra, lahir di Surakarta (Solo) pada tanggal 7 November 1935 dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Mengutip Harlina Indijati dan Abdul Murad dalam Biografi Pengarang Rendra dan Karyanya (1996), “dari nama-nama itu dapat ditebak bahwa WS. Rendra berasal dari keluarga Katolik yang dibesarkan di lingkungan budaya Jawa”.

Sugeng Brotoatmodjo adalah seorang Kepala Sekolah Dasar Negeri Kebalen, Solo. Beliau juga seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Selain itu, Sugeng Brotoatmodjo dikenal sebagai pelaku seni drama tradisional. Sementara itu, Raden Ayu Catharina adalah seorang penari di istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Rendra kecil tumbuh hingga remaja di kota kelahirannya. Tinggal di lingkungan sarat akan seni dan budaya, tidak heran jika Rendra menjelma menjadi sosok seniman besar yang menghasilkan berbagai karya mulai dari puisi, naskah drama, cerpen, dan lainnya. WS Rendra diketahui juga pernah bermain dalam beberapa film, seperti film Al Kautsar (1977), Yang Muda Yang Bercinta (1977), dan Terminal Cinta (1977).

Rendra menikahi Sunarti Suwandi yang banyak memberikan inspirasi kepada Rendra dalam berkarya. Tahun 1970, Rendra beralih keyakinan dari Katolik ke Islam sebelum ia menikah dengan Sitoresmi Prabuningrat. Kedua istrinya pemain drama dalam Bengkel Teater. Pada tahun 1976, Rendra menikah dengan Ken Zuraida, istrinya yang ketiga, yang juga pemain drama. Akan tetapi, rumah tangga tersebut tidak berlangsung lama, Rendra diceraikan Sitoresmi pada 1979 dan Sunarti pada tahun 1981.

Rendra mendapat julukan sebagai “Si Burung Merak” karena penampilannya yang selalu penuh dengan pesona. Julukan ini didapat saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Terdapat dua versi dalam cerita ini. Pertama, Rendra berkata secara spontan, “Itu Rendra! Itu Rendra!” ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya. Kedua, temannya yang berasal dari Australia lah yang mengatakan  “Itu Rendra!”. Bagaimana pun, dari peristiwa itu, julukan Si Burung Merak melekat dengan sosok WS Rendra.

Kangen
(WS Rendra)

Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta

Kau tak akan mengerti segala lukaku
karna cinta telah sembunyikan pisaunya.

Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.

Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi.

Itulah berarti
aku tungku tanpa api.

Pendidikan dan Karier

Pendidikan Rendra diawali di Taman Kanak-kanak Susteran. Setelah tamat dari Taman Kanak-Kanak Susteran, Rendra melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dasar Kanisius dan Sekolah Menengah Pertama Kanisius. Lalu, Rendra lulus dari Sekolah Menengah Atas St. Yosef Solo pada tahun 1952. 

Minat dan bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Ia menulis puisi, drama, dan cerita pendek sejak ia masih duduk di SMP. Bukan hanya menulis, Rendra juga piawai berada di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya. 

Tahun 1952, sajak Rendra diterbitkan pertama kali pada majalah Siasat. Setelahnya, puisi Rendra kerap menghiasi berbagai majalah-majalah saat itu dan terus berlanjut. Pada tahun 1960-an, sajak-sajak Rendra terbit dan dapat ditemui dalam berbagai majalah, seperti Budaya, Indonesia, Mimbar Indonesia, Quadrant, Selecta, dan Horison. Lalu, pada tahun 1970-an, sajaknya banyak dimuat dalam majalah Pelopor.

“Kaki Palsu” adalah drama pertama yang dipentaskan Rendra ketika ia masih SMP. Rendra sudah mulai menulis drama sejak SMA (1952), seperti salah satu dramanya yang berjudul “Orang-Orang di Tikungan Jalan”.  Pada tahun 1954, naskah drama itu mendapatkan hadiah pertama dalam lomba penulisan yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta.

Setelah tamat SMA, Rendra pergi ke Jakarta dan bersekolah di Akademi Dinas Luar Negeri. Namun, beberapa bulan kemudian, ia merasa tidak cocok dengan suasana kota Jakarta. Lalu, ia pergi ke Yogyakarta dan melanjutkan studinya di Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Ia hanya mencapai gelar sarjana muda. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya, bukan berarti Rendra seorang yang malas dan berhenti belajar. Rendra sering tidak mengikuti ujian karena waktunya dihabiskan untuk kegiatan kesastraannya.

Pada tahun 1954, Rendra memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika. Di tahun yang sama, Rendra mendapat undangan dari Pemerintah Amerika Serikat untuk menghadiri seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard. Selama dua bulan, Rendra berkeliling Amerika untuk mengenal lebih dekat kesusastraan di Amerika Serikat. Berbekal pengalaman tersebut, Rendra pulang dari Amerika pada tahun 1961 dan mendirikan kelompok teater di Yogyakarta.

Rendra aktif menulis cerpen dalam berbagai majalah. Pada tahun 1956, cerita pendek Rendra yang berjudul “Ia Punya Leher yang Indah” dimuat dalam majalah Kisah. Tahun 1963, terbit sebuah kumpulan cerita pendek dengan judul Ia Sudah Bertualang.

Pada tahun 1964, Rendra mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA) untuk belajar ilmu drama dan seni. Kepergian Rendra ke Amerika Serikat saat itu membuat kegiatan teaternya di Yogyakarta sempat terhenti. Pendidikannya itu diselesaikan pada tahun 1967. 

Tahun 1968, Rendra mendirikan komunitas/kelompok bernama Bengkel Teater yang kemudian menjadi sangat terkenal di Indonesia karena memberikan warna dan suasana baru dalam kehidupan teater di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.

Kegiatan Rendra dalam kesusastraan, khususnya menulis naskah drama dan bermain drama terus berkembang. Dramanya yang berjudul “Bip-Bop”, dipentaskan pertama kali pada tahun 1968. Drama ini terkenal dengan judul “Teater Mini Kata” karena mempergunakan kata yang sangat sedikit dan didominasi oleh gerak dan lagu. Tahun 1988, drama itu dipentaskan kembali di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Rendra juga menulis drama terjemahan, di antaranya Odipus Sang Raja dan Kasidah Barzanji.

WS Rendra
WS Rendra membaca puisi (Sumber: Historia)

Kegiatan dan Karya WS Rendra

Rendra memiliki karya yang tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Belanda, dan India. Dari karya-karyanya, dapat dikatakan jika WS Rendra adalah dramawan yang terkemuka di Indonesia.

Festival di luar negeri:

  1. The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979),
  2. The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985),
  3. Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985),
  4. The First New York Festival Of the Arts (1988),
  5. Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989),
  6. World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan
  7. Tokyo Festival (1995).

Kumpulan Puisi:

  1. Balada Orang-Orang Tercinta (1957)
  2. 4 Kumpulan Sajak (1961)
  3. Blues untuk Bonnie (1971)
  4. Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972)
  5. Nyanyian Orang Urakan (1985)
  6. Potret Pembangunan dalam Puisi (1983)
  7. Disebabkan oleh Angin (1993)
  8. Orang-Orang Rangkasbitung (1993)

Drama:

  1. Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954)
  2. Selamatan Anak Cucu Sulaiman (1967)
  3. Mastodon dan Burung Kondor (1972)
  4. Kisah Perjuangan Suku Naga (1975)
  5. Sekda (1977)
  6. Panembahan Reso (1986)

Kumpulan Esai:

  1. Mempertimbangkan Tradisi (1983)

Selain itu, Rendra juga menerjemahkan karya sastra dari banyak tokoh besar dunia, seperti Hamlet dan Macbeth karya William Shakespeare, lalu Oedipus Rex, Oedipus to Colonus, dan Antigone karya Sophokles, juga Lysistrata karya Aristophanes.

Bengkel Teater Rendra

Bakat Rendra dapat dikatakan lengkap di dunia Sastra. Tidak hanya pandai menulis puisi, Rendra juga piawai ketika berada di atas panggung. Ia dapat mementaskan drama dan tampil apik sebagai pembaca puisi.

Pada tahun 1961, Rendra pulang dari Amerika Serikat. Setelah itu, Rendra membentuk kelompok teater di Yogyakarta. Pada masa ini, proses penciptaan karya dijalani Rendra. Namun, kelompok teater ini terhenti karena Rendra mendapatkan beasiswa dan pergi ke Amerika untuk melanjutkan studi. 

Ketika kembali ke Indonesia untuk kedua kalinya (1968), Rendra membentuk grup teater yang bernama Bengkel Teater. Sampai saat ini, nama Bengkel Teater sangat terkenal bagi kalangan yang memiliki minat pada bidang teater. Bengkel Teater juga memberi warna dan suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air.

Rendra memberikan alasan penamaan Bengkel Teater sebagai nama kelompok teaternya, “Maksud saya adalah memperbaiki pribadi sehingga bisa kreatif dan berguna bagi kehidupan, seperti halnya reparasi mesin di bengkel” (Aktuil No. 182 edisi Desember 1975 hal. 9).

Sejak tahun 1977, akibat dari tekanan politik, Bengkel Teater mengalami kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mementaskan dramanya maupun membacakan puisinya. Akhirnya, pada tahun 1985, Rendra memindahkan segala aktivitas teaternya ke Depok, Jawa Barat. Lahan seluas 3 hektar menjadi tempat bernaung Rendra dan kelompoknya, lahan itu terdiri dari bangunan kediaman Rendra beserta keluarga dan bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari. Sampai dengan tulisan ini dibuat, Bengkel Teater Rendra pun masih berdiri.

Dalam perjalanannya, dihitung dari tahun 1968 sampai tahun 2005, Rendra dan Bengkel Teater telah berhasil mementaskan 23 naskah: dengan rincian 15 naskah asing/adaptasi, 7 naskah sendiri dan sebuah naskah di luar karya Bengkel Teater.

WS Rendra dan Orde Baru

Sejak tahun 1970, Rendra adalah senjata dari suara-suara kritis hati nurani rakyat Indonesia. Berkesenian bagi Rendra bukan hanya sekadar menghibur rakyat, tetapi sudah melebihi itu. Seni adalah sarana penyambung lidah rakyat ke penguasa. 

Rendra juga pernah mengalami berbagai macam teror yang mengancam keselamatannya. Melalui karyanya (puisi), Rendra kerap dianggap mengganggu ketertiban di ibu kota oleh pemerintah. Terkadang, kritikan Rendra dalam puisinya yang mengantarkan Rendra ke balik jeruji. 

Bada bulan Mei tahun 1978, Rendra pernah ditahan oleh Laksusda Jaya. Hal ini tertuang dalam catatan Stanley Yap dalam artikel Intelijen, Sensor dan Negeri Kepatuhan yang terhimpun dalam Negara, Intel, Ketakutan dan Ketakutan (2016). Penahanan Rendra dilakukan karena dianggap menggiring publik dengan pembacaan puisinya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Acara pembacaan puisi itu sendiri dihebohkan dengan serangan bom amonia yang mengakibatkan tiga penonton pingsan. Lima bulan kemudian, Rendra akhirnya dapat menghirup udara segar kembali setelah mendapat banyak dukungan dan protes dari banyak pihak termasuk sorotan dunia internasional.

Pemerintah Orde Baru menerapkan sensor yang sangat ketat terhadap produk kesenian yang dianggap tidak sesuai dengan aturan pemerintah. Penangkapan dan ancaman terhadap para seniman yang berseberangan dengan pemerintah menjadi hal yang sudah biasa didengar saat itu.

Film Sjumandjaja berjudul Yang Muda Yang Bercinta sempat dicekal karena ada adegan Rendra membacakan Sajak Sebatang Lisong. Dua puisi Rendra lainnya juga terdapat dalam film karya Sjumandjaja, yaitu Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon dan Sajak Pertemuan Mahasiswa.

Pementasan teater Rendra juga kesulitan untuk mendapatkan izin dan kerap burujung kepada tidak diberikannya izin dari pihak keamanan. Catatan Harian Kompas 18 Oktober 1973 pernah memuat pembatalan pementasan yang berjudul Mastodon dan Burung Kondor. Pihak kepolisian tidak memberikan izin dengan alasan Rendra dan Bengkel Teater mengadakan acara lewat tengah malam dengan durasi lebih dari empat jam.

Mastodon dan Burung Kondor merupakan karya dari WS Rendra yang bertemakan konflik segitiga antara militer, mahasiswa, dan seniman yang terdiri dari 21 bagian. Mastodon dan Burung Kondor mengambil lokasi atau berlatar di suatu negara di Amerika Latin yang bernama Mastodon.

Pementasan lainnya berjudul Oedipus Berpulang yang diangkat dari karya Sophocles juga tidak mendapatkan izin dari kepolisian. Pementasan drama itu tidak mendapatkan izin karena naskah pementasannya dianggap tidak sesuai dengan terjemahan asli serta terdapat pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Grup Musik Kantata Takwa

Tidak hanya di bidang puisi dan bidang teater, WS Rendra juga pernah bergabung dalam grup musik Kantata Takwa. Grup ini memiliki personel dengan nama besar dalam dunia musik, seperti Iwan Fals, Setiawan Djodi, Sawung Jabo, dan Yockie Suryo Prayogo.

Kantata Takwa
WS Rendra (Kedua dari Kiri) dalam cover album Kantata Takwa
(Sumber: wikimedia)

Terbentuknya Kantata Takwa berawal dari kedekatan Rendra dan Setiawan Djodi yang telah lama menjadi donatur dalam aktivitas Bengkel Teater. Dalam perjalanannya, Kantata Takwa menjadi kelompok musik yang kerap membicarakan mengenai masalah sosial, politik, dan ekonomi yang direpresentasikan lewat lirik dalam lagu-lagunya. 

Pada 23 Juni 1990, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, mungkin akan menjadi salah satu momen yang akan terus hidup dan diingat dari Kantata Takwa. Hari itu adalah hari konser Kantata Takwa yang dipadati oleh ratusan ribu penonton. Menjadikannya salah satu musisi Indonesia dengan konser atau acara musik terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia.

Pendapat Tokoh Lain Tentang WS Rendra

Profesor A. Teeuw memberikan pendapatnya tentang Rendra dan sejarah kesusastraan Indonesia dalam buku Sastra Indonesia Modern II (1989). Ia berpendapat bahwa Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karyanya, dapat terlihat bahwa Rendra mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri. Rendra adalah seorang penyair yang sibuk melonggarkan kungkungan dan pembatas-pembatas keadaan manusia. Rendra hanya memiliki dua senjata sebagai seniman, yaitu bahasa dan kesaksian.

HB Jassin sulit untuk menentukan di bidang apa WS Rendra paling berprestasi, sajak atau drama. Dalam menanggapi sajak-sajak Rendra, HB Jassin mengatakan bahwa sajak-sajak Rendra didasari oleh rasa religius yang dalam. Sajak-sajak terbaru Rendra dianggap telah mencapai kematangan dalam sikap dan pemikiran, ia telah mendapatkan jawaban atas segala masalah.

Seorang pakar sastra dari Australia, Profesor Harry Aveling, dalam esainya yang berjudul “Religion and Blasphemy in Modern Indonesian Literature” mengemukakan bahwa puisi Rendra selalu menunjukkan dua segi. Segi pertama, yaitu suatu kesukacitaan dalam emosi-emosi yang sederhana dan lukisan-lukisan alam yang bersahaja. Segi kedua, yaitu minat yang agak bercampur rasa muram terhadap penderitaan, kematian, dan kahancuran.

Dilansir dari Kultural.id, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mulyana W Kusumah, pernah mengungkapkan kekagumannya kepada sosok WS Rendra. “Kemampuan Rendra dalam berpidato juga sangat luar biasa. Saat diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidato selama 15 menit, almarhum berpidato hingga 45 menit tanpa membuat jenuh,” ungkap Mulyana.

Mulyana juga mengatakan jika dalam hal budaya Rendra belum memiliki tandingan. “Dia mempunyai visi dalam hal kebudayaan dan sangat menarik pikiran-pikirannya, bahkan hingga akhir hayat masih berkarya dan berpartisipasi dalam memikirkan negara”.

Sapardi Djoko Damono, seorang penyair terkemuka, mengatakan bahwa beberapa sajak Rendra yang terbit dalam kumpulan Balada Orang-orang Tercinta, Blues untuk Bonnie, dan Orang-orang Rangkasbitung merupakan karya-karya yang “tidak tertandingi dalam perkembangan mutakhir penulisan puisi naratif di negeri ini”.

Penghargaan dan Akhir Perjalanan WS Rendra

Pada tahun 2008, WS Rendra memperoleh gelar Doktor Honoris Causa/Dr. (H.C.) dari Universitas Gadjah Mada. Karya-karya Rendra dianggap memiliki pengaruh dalam khazanah kesusastraan di Indonesia. Rendra juga konsisten dalam berkarya, sehingga dari proses itu karya-karya sastra yang besar muncul.

Rendra telah menerima banyak penghargaan, seperti penghargaan-penghargaan berikut:

  • Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954);
  • Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956);
  • Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970);
  • Hadiah Akademi Jakarta (1975);
  • Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976);
  • Penghargaan Adam Malik (1989); dan The S.E.A. Write Award (1996).

Gelar-gelar tersebut tidak membuat seniman ini berniat mengajar di perguruan tinggi. Rendra mengaku bangga dan berterima kasih atas pemberian gelar dari UGM itu, tapi tidak ingin masuk kancah akademis. 

Kurang lebih setahun setelah menerima gelar dari UGM, Rendra menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Kamis, 6 Agustus 2009 pukul 22.20 WIB. Si Burung Merak wafat dalam usia 73 tahun. Ribuan pelayat menghadiri proses pemakaman dramawan W.S. Rendra di kompleks pemakaman keluarga, di kawasan Cipayung Jaya, Citayam, Depok, Jawa Barat. 

Banyak kalangan yang merasa kehilangan Rendra. Seperti yang dikatakan oleh Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun): “Rendra tak pergi. Tak pernah pergi. Ia tidak perlu pergi menuju sesuatu yang ia sudah menyatu dengannya. Mungkin Rendra memang telah pergi meninggalkan kita, jauh sebelum detik kematiannya, karena kita meletakkan diri semakin jauh dari titik “nyawiji” yang Rendra sudah lama menikmatinya.”

WS Rendra, Si Burung Merak 9
WS Rendra dan Emha Ainun Nadjib (Sumber: CakNun.com)

Kini Rendra telah meninggalkan dunia untuk selamanya, tetapi puisi dan semua karya sastranya tidak pernah mati. Tidak. WS Rendra tak pernah pergi. Orang besar tak pernah mati.

Nah, jadi makin kenal kan dengan sosok WS Rendra? Sejak remaja, beliau mendedikasikan hidupnya untuk seni. Tidak heran bila namanya akan selalu dikenang dan diperbincangkan dalam sejarah tentang sastra di Indonesia.

Apakah Sobat Zen ingin menjadi Si Burung Merak selanjutnya? Bisa saja, asal Sobat Zen selalu membaca dan menambah pengetahuan Sobat Zen. Dengan begitu, imajinasi dan perbendaharaan kata Sobat Zen akan meningkat seiring dengan banyaknya bacaan yang telah Sobat Zen baca. 

Update terus blog Zenius untuk mengetahui biografi dari tokoh-tokoh lainnya, ya, guys. Jangan lupa juga untuk terus ikuti keseruan lainnya dari Zenius di YouTube! Sampai jumpa!

Indijati, Harlina dan A. Murad. 1996. Biografi Pengarang Rendra dan Karyanya. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Tersedia dalam repositori.kemdikbud.go.id

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2012. W.S. Rendra. Diakses pada 8 November 2021, dari https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/188

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2016. Rendra. Diakses pada 8 November 2021, dari http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Rendra

Dananjaya, Lutfi. 2017. WS Rendra: Penyair yang Memberontak. Diakses pada 8 November 2021, dari https://kultural.id/ws-rendra-penyair-yang-memberontak/

Antara. 2020. Seni dan Jalan Hidup WS Rendra. Diakses pada 8 November 2021, dari https://www.medcom.id/hiburan/montase/xkEYRpZk-seni-dan-jalan-hidup-ws-rendra

Gasbanter Journal. 2019. Biografi WS Rendra, Sastrawan Pendiri Bengkel Teater Rendra. Diakses pada 8 November 2021, dari https://gasbanter.com/biografi-ws-rendra/

Ani. 2021. Mengenang Perjalanan Hidup Sang Burung Merak, WS Rendra. Diakses pada 8 November 2021, dari https://mylife.id/kisah-ws-rendra/

Baca Artikel Lainnya

Chairil Anwar

Eka Kurniawan

Sapardi Djoko Damono

Bagikan Artikel Ini!