Matematika bukanlah sains, tetapi matematika bisa dikatakan sebagai bahasa. Masa sih? Berikut adalah penjelasan konsep Matematika sebagai bahasa.
Kalau lo aktif di social media belakangan ini, pasti foto PR anak SD di bawah ini sempet muncul di timeline lo. Buat yang belum tau, gue ceritain sedikit deh gimana ceritanya foto PR ini bisa viral (baca: nyebar ke mana-mana).
Jadi gini, pada suatu hari, seorang kakak yang baik bantuin adiknya yang masih kelas 2 SD mengerjakan soal matematikanya. Soalnya seperti yang bisa lo lihat di foto di bawah. Berhubung soalnya kelihatannya gampang, si kakak dengan PeDe-nya menjawab apa yang menurut dia bener. Dia kaget banget ketika esok harinya si adik melapor bahwa jawabannya disalahin sama gurunya. Si kakak pun melayangkan protesnya itu di buku si adik, dia foto, terus di-upload ke Facebook. Nah, dari sini lah, akhirnya foto itu menyebar ke mana-mana, termasuk muncul di timeline lo.
OK. Abis lihat foto itu, komentar lo apa? Sebagian besar komentar sih biasanya nggak jauh-jauh dari ini:
- Ini gurunya cuma bisa ngikutin buku, ya? 6 x 4 ya sama aja lah sama 4 x 6!
- Banyak yang ngerasa kalau 6 x 4 sama 4 x 6 itu sama aja, padahal itu beda kalau ngerti filosofi matematika!
Daftar Isi
Sebenernya Siapa yang Bener? Gurunya atau Si Kakak?
Btw, gue rada penasaran sama pendapat lo. Sebelum lanjut baca artikel ini, isi polling dong, menurut lo siapa sih yang bener. Si guru atau si kakak?
Jadi siapa yang bener sih? Si Guru atau si kakak?
6 x 4 sama 4 x 6 tentu hasilnya sama aja, yaitu 24. Sifat ini ada namanya: sifat komutatif. Untuk penjumlahan dan perkalian, boleh ditukar-tukar.
A x B = B x A
A + B = B + A
Dengan mengetahui sifat ini, ya harusnya nggak ada bedanya lah ya antara 6 x 4 sama 4 x 6. Berarti harusnya si kakak nggak boleh disalahin dong? Kalau dia mau bilang 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6. Harusnya sama aja dengan 6 x 4?
Nah, hasilnya memang sama aja, tapi kalau kita melihat dari matematika sebagai bahasa, penulisan 4 x 6 itu kurang tepat karena nggak konsisten.
Wait, matematika sebagai bahasa? Emang matematika itu bahasa? Yes. Matematika itu adalah salah satu bahasa. Okay, kayaknya lebih enak gue eksplor sedikit tentang konsep bahwa matematika itu adalah bahasa.
Matematika Itu Bukan Science
Banyak orang yang salah kaprah mengira bahwa matematika itu bagian dari science. No, Matematika itu bukan science.
Ilmu-ilmu di science itu harus dibuktikan secara empiris, sementara matematika enggak. Lo harus lihat apa yang terjadi di alam untuk bisa mencari bukti dari teori-teori yang ada di science. Nggak bisa sembarang utak-atik rumus untuk mencari bukti di science, harus ada evidence-nya.
Beda sama matematika. Bukti-bukti di matematika itu diturunkan dari apa yang kita tahu sebelumnya. Misal, kita bisa membuktikan integral dari konsep turunan. Kita bisa membuktikan turunan dari konsep limit dan seterusnya.
Beberapa waktu yang lalu, gue juga nulis tentang membuktikan rumus matematika. Di situ, lo bisa lihat bahwa kita nggak perlu melihat ke alam untuk membuktikan teorema di matematika. Lo cukup menunjukkan bahwa teorema yang lo buktikan itu konsisten dengan teorema sebelumnya. Kata kuncinya di sini: konsisten.
Jadi, di sini lo bisa lihat kalau matematika itu bukan science. Kalau di bahasa Inggris, bukti di matematika dibandingkan dengan bukti di science itu beda. Bukti di matematika itu proof, sementara bukti di science itu evidence.
Matematika sebagai Bahasa
Matematika lebih tepat kalau kita kategorikan sebagai bahasa, karena matematika itu adalah alat kita untuk bisa berkomunikasi dengan lebih baik. Sekarang coba kalau gue tulis gini:
Dua dikali tiga ditambah empat itu berapa, ya?
Bahasa yang kita gunakan itu ambigu banget dan susah dimengerti. Kalau pertanyaan di atas kita ubah ke dalam bahasa matematika, bisa punya dua interpretasi. Yang pertama gini:
2 x 3 + 4 = ? yang satu lagi gini 2 x (3 + 4) = ?
Keduanya menghasilkan nilai yang berbeda. Yang pertama hasilnya 10 sementara yang kedua hasilnya 14. Inilah sebabnya kita butuh matematika sebagai bahasa yang lebih jelas dan lebih konsisten dibanding bahasa yang biasa kita gunakan sehari-hari.
Kalau lo mempelajari sejarah matematika, lo juga akan melihat bahwa simbol-simbol matematika yang kita gunain sekarang itu sebenernya adalah upaya kita supaya memudahkan kita dalam melakukan operasi-operasi matematika, dan memudahkan kita juga untuk berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa yang sama: bahasa matematika. Gue kasih beberapa contoh aja nih, sekalian ngasih fun facts juga.
- Bangsa Maya (di Benua Amerika) yang pertama kali menemukan simbol angka nol di tahun 700. Lo bisa bayangin gimana susahnya Archimedes, Pythagoras, Euclid, dll. nemuin konsep-konsepnya tanpa punya simbol angka nol!
- Kita punya simbol akar kayak di √2 baru di tahun 1525.
- Kita baru punya simbol “=” (sama dengan) tahun 1557. Kabarnya penemuan simbol sama dengan ini yang mempercepat berbagai penemuan-penemuan berikutnya di matematika.
- Baru tahun 1591 kita menggunakan huruf untuk bilangan yang belum diketahui. Nggak lama kemudian Rene Descartes memperkenalkan simbol x, y. Dia juga yang menemukan koordinat kartesius (sumbu x dan sumbu y).
- Tahun 1665, Isaac Newton udah melakukan konsep turunan tanpa simbol d/dx. Simbol itu baru diperkenalkan Leibniz 20 tahun kemudian, dan masih banyak lagi….
Okay, poin gue di sini adalah: simbol-simbol yang kita gunakan dalam matematika itu adalah bentuk bahasa. Tanpa simbol-simbol itu, kita akan kesulitan melakukan beberapa operasi yang biasa kita lakukan sekarang. Selain itu, simbol-simbol itu juga mempermudah kita untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Bagaimana dengan Simbol Perkalian?
Sadar nggak sih kalau penulisan perkalian dengan mendempetkan bilangan itu memudahkan kita banget? Coba aja lihat ini:
2 x 5 + 2 x 10 + 5 x 3 = …
Lebih enak mana ngitungnya dibanding ini:
(2)(5) + (2)(10) + (5)(3) = …
Penulisan seperti ini memudahkan kita untuk mengingat bahwa kalau kali sama tambah kalau disandingan, kali harus dikerjakan duluan.
Balik lagi ke 6 x 4 dan 4 x 6, Mana yang Bener?
Kalau kita mau melihat konsistensi dengan matematika yang kita pelajari di tingkat SMP, SMA, dan seterusnya, maka 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 itu lebih tepat dibilang 6 x 4, bukan 4 x 6.
“Lha tapi bukannya 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 itu kan 4-nya ada 6, berarti secara bahasa lebih enak ngomongnya 4 x 6 aja dong bukan 6 x 4?”.
Nggak juga, coba deh kalo di matematika tingkat lanjut lo mencoba untuk menulis (n + n + n) + 8. Pasti lo akan lebih terbiasa menulisnya jadi seperti ini, kan?
3n + 8
Sekarang, kalau ada yang nulis gini gimana:
n3 + 8
Secara esensi, sih, sebenernya sama aja ya. 3n itu 3 x n sementara n3 itu n x 3. Tapi kan n3 nggak enak dilihat. Itu karena kita menganggap bahwa:
n + n + n = 3n (bukan n x 3)
Itulah sebabnya kenapa 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 6 x 4 dianggap sebagai bahasa yang lebih tepat. Tujuannya supaya konsisten aja dengan simbol yang kita pakai di matematika tingkat lanjut. Dengan begitu, kita juga bisa pakai bahasa yang sama untuk kasus-kasus berikut:
- Gue beli 6 jeruk. Masing-masing jeruk harganya Rp4000,-. Berapa harga jeruk yang harus dibayar? | Jawab: 6 x Rp4000,-
- Ada 6 mobil yang diparkir di lapangan. Berapa jumlah rodanya? | Jawab: 6 x jumlah roda mobil = 6 x 4 roda
OK. Kalau gitu si guru ya, yang bener? Berarti bener dong kalau guru itu nyalahin jawaban si anak? Nah, bentar… ceritanya belum selesai. Dari tadi gue juga menekankan bahwa permasalahan yang diangkat di sini adalah matematika sebagai bahasa. Artinya untuk kasus ini, ya boleh-boleh aja diperdebatkan. Jadi yang kita perdebatkan itu kan gimana cara menulis perkalian yang benar. Bukan berapa nilai x kalau diketahui x² – 9 = 0 (<— kalau ini jelas nilai x berapa, nggak bisa diperdebatkan)
Memperdebatkan Simbol di Matematika
Simbol matematika yang kita gunakan sekarang ini udah canggih banget. Mungkin kalau para matematikawan zaman dulu bisa ngelihat kita, mereka sirik banget kali. Bayangin mereka dulu susah-susah nurunin persamaan matematika dengan simbol yang seadanya, sementara sekarang kita udah terbantu banget dengan simbol-simbol yang enak dan mudah untuk dipakai. Meskipun begitu, simbol matematika yang ada sekarang ini sebenernya belum bener-bener bagus. Ada aja orang yang masih sebel sama simbol yang kita pakai sekarang karena dianggap masih kurang konsisten.
Contohnya Richard Feynman, peraih nobel Fisika 1965. Di biografinya, dia cerita kalau waktu kuliah, dia sebel banget sama simbol invers. Menurut dia simbol invers itu nggak konsisten. Kurang lebih, inilah yang dipertanyakannya:
Kalau
Kenapa
Kira-kira gitu lah yang diprotes sama Feynman. Akhirnya dia bikin simbol sendiri untuk invers, entah kayak gimana simbolnya.
Selain itu, dia juga bikin simbol matematika sendiri yang lebih konsisten dibanding simbol matematika yang ada. Termasuk simbol turunan di bawah ini
Dia bilang dia pengen banget nyoret huruf “d” kalau simbolnya begitu.
Cuma akhirnya Feynman nyerah juga gara-gara temen-temennya pada bingung melihat simbol-simbol yang dia gunain. Jadi Feynman berhasil bikin simbol untuk membantu dia mempermudah melakukan operasi matematika. Tapi Feynman nggak berhasil menggunakan simbol-simbol itu untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Kalau lo mau tau cerita lengkapnya, baca aja sendiri bukunya ya. Judulnya “Surely You’re Joking Mr. Feynman“. Diterjemahin ke bahasa Indonesia jadi Cerdas Jenaka Cara Nobelis Fisika.
Poin gue di sini adalah: Lo boleh memperdebatkan simbol-simbol yang digunakan di Matematika. Feynman melakukan itu dan berhasil kok (setidaknya untuk dia pakai sendiri).
Okay, jadi 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 itu sama dengan 6 x 4. Tapi ini boleh diperdebatkan.
Terus, Jadi Tindakan Si Guru Udah Bener Dong?
Nah, kalau udah ngomongin tindakan si guru harus gimana, sebenernya ini isu yang lain lagi. Itu masuk ke isu pendidikan jadinya, bukan isu matematika lagi.
Kalau menurut gue sih, peran seorang guru untuk siswa yang masih berada dalam tingkat dasar, gak cuman sebatas transfer pengetahuan (knowledge) doang. Sebaliknya, anak SD itu harus dibakar semangatnya untuk belajar, harus dibikin suka sama belajar, dan harus dibangun sikap kritis juga, termasuk kritis terhadap gurunya sendiri.
Kalau si guru nyalahin jawaban siswa dengan memberikan punishment yang malah terus bikin siswa jadi sebel sama matematika gara-gara itu gimana? Sayang banget, kan!
Nggak sedikit lho siswa yang sebel atau bahkan benci sama matematika sampai gede, cuma gara-gara dia gak suka dengan cara punishment oleh gurunya. Padahal mungkin sebetulnya guru bisa memilih cara yang lain dalam menegur, misalnya anaknya dipanggil terus dibilangin kalo jawaban dia bener tapi caranya masih keliru, dan dalam matematika proses berpikir adalah hal yang lebih penting.
Gua rasa dengan cara seperti itu bisa bikin anak SD itu nyadar akan kekeliruannya tanpa dia harus sebel karena ngerasa kerjaan PR-nya gak dihargai sama sekali. Lagian emang udah ada studinya lho, kalo punishment yang semacam ini berdampak negatif ke proses belajar anak dan persepsi diri mereka.
Gue sendiri ngerasa pengertian bahwa 4 x 6 itu berbeda dengan 6 x 4 itu adalah matematika yang rada advanced. Mungkin nggak ya anak SD dipaksa untuk mengerti esensi perbedaannya? Maksudnya bener-bener mengerti loh, bukan cuma terima-terima aja apa yang diomongin gurunya.
Kalau bisa bener-bener mengerti sih bagus. Tapi kalau nggak bisa, kan jadinya si anak cuma disuruh nurut aja jadinya. Nah, yang begini ini yang nggak bagus.
Yah, sebagai penutup, gue mau ambil kutipan dari Plutarch, filsuf kelahiran Yunani yang hidup di tahun 46 — 120 Masehi.
Sebenernya yang Plutarch omongin nggak persis kayak gini sih. Yang gue ambil ini versi simple-nya aja yang lumayan menggambarkan apa yang terakhir gue omongin: Tugas utama guru itu bukan ngejejelin pengetahuan (knowledge), ngebakar semangat untuk jadi doyan belajar itu jauh lebih penting.
“Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire” – Plutarch, Greek Philosopher
Catatan Editor
Kalo lo ada yang mau ngobrol sama Wisnu tentang matematika, tinggalin komen di bawah artikel ini aja ya.
Sering nemu soal matematika yang sulit kamu jawab? Santai aja boy, nih kenalin ZenBot, temen 24 jam yang siap bantu kamu cari solusi dari masalah matematika! Untuk menjawab soal-soal tentang polinomial, kamu juga bisa manfaatkan fitur dari ZenBot, lho! Tanyain soal yang kamu gak bisa jawab lewat chat WhatsApp ZenBot sekarang atau versi Android atau iOS.
maaaf oot,btw yang menemukan angka nol bukannya Al-Khwārizmī ?
Lebih tepatnya dia yang nemuin simbol nol seperti lingkaran yang kita gunain seperti sekarang. Dari etimologinya, zero dalam bahasa inggris juga berasal dari sifr yang dia pakai. Tapi kalau konsep nol, dengan simbol yang berbeda-beda, udah muncul di beberapa peradaban secara terpisah.
oke deh nu,thanks pencerahannya muehehe
peradaban yunani dan romawi. tidak menemukan konsep nol untuk perhitungan aljabar. begitu pun peradaban maya.
Saya kurang setuju dgn pendapat anda bahwa khawarizm menemukan simbol nol…karna saya lebih setuju bahwa dia menemukan angka nol. jika anda memplajari sejarah lebih dalam lagi..sebagian besar orang di seluruh dunia menganggap.. gudang ilmu pengatuhaan berada pada peradaban barat…contohnya dunia sangat mengenal Leonardo Fibonacci sebagai ahli matematika aljabarNamu. Dibalik itu semua Leonardo Fibonacci sebagai ahli matematika aljabar ternyata hasil pemikirannya sangat dipengaruhi oleh ilmuwan Muslim bernama Muhammad bin Musa Al Khawarizmi. bnyak sekali kaum terpelajar yg mengenal para ahli matematika Eropa / Barat padahal sejatinya banyak ilmuwan Muslim yang menjadi rujukan para ahli matematika dari barat.
Pada masa kejayaan islam mereka belum mengenal hak patent. Karena hak patent adalh produk barat. Sehingga mudah sekali hasil pemikiran2 ilmuan islam di akui.. oleh mereka. Dan membuat konspirasi teori…
maaf, itu contohnya bukannya (n times n times n) + 8 = n^3 + 8 ? terima kasih …
ups! sorry, kesalahan ada pada editor! thanks yah udah diingetin, hehe.. sekarang udah bener lagi 🙂
maaf, bukannya (n.n.n) + 8 = n^3 + 8? mungkin tanda operasi di artikelnya salah 😀 (n+n+n) + 8 = 3n+8 terima kasih.. maaf kalo saya salah 😀
ups! sorry, kesalahan ada pada editor! thanks yah udah ingetin, hehe.. sekarang udah bener lagi 🙂
maaf, kalo urusan 3n sama n3 itu menurut saya, 3 itu merupakan kostanta si 3, itulah kenapa ditaruh didepan, tp 4×6 beda cerita, cmiiw
3 merupakan konstanta si n kali maksudnya? Emang kenapa kita harus nulis konstanta di depan? Kalau ada yang mau nulis konstanta di belakang dan menurut dia itu fine2 aja juga nggak apa-apa kali ya. Tapi ya itu, bisa dijaga supaya konsisten nggak…. karena kalau mau konsisten, yang kena bukan cuma n3, x3, dll, tapi juga sin(x)3, tan(x)3, dst. Yah, bahasa di matematika itu memang maniak banget sama yang namanya konsistensi. Kalau nggak konsisten nggak enak 🙂
Tapi katanya ad juga negara yg prinsipnya beda.shingga yg 4+4+4+4+4+4 jdi 4×6. Itu gimana?
Contohnya negara apa ya? Kalau soal ini gue nggak tau.
bantu jawab, salah satunya Jepang, mungkin bersumber dari tweet ini http://twitpic.com/ec14f0
Nah, itu juga gue sempet lihat. Tapi itu kan kulturnya, bukan bagian dari kurikulum. Bisa jadi kurikulum dan buku-buku yang dipakai ngebebasin 6×4 atau 4×6, tapi ternyata kebanyakan jawab 4×6.
Kalau kurikulum dan buku yang menekankan harus 6×4 banyak. Yang ngebebasin juga banyak. Tapi gue belum pernah lihat yang menekankan harus 4×6.
Kalo gak salah sih jepang.
nyinyir ah. jadi, menurut lo anak kelas 2 SD itu harus bisa nguasain konsep yang lo jabarin panjang lebar itu? bisa gak menurut lo? come on man, ini bukan soal benar salah bahasa matematikanya, ini cuma soal guru yang kurang bijaksana dan efek social media yang terlalu berlebihan.
akhir kata, gak mungkin kan lo ngajarin anak kelas 2 SD soal fisika quantum? 🙂
Kayaknya sebaiknya lo baca lagi artikel di atas. Terutama paragraf no 2 dari bawah.
haha.. sebelum kasih komentar baca dulu dong artikelnya mas/mbak :))
emangnye menurut sampean tulisan artikel ini akan sampai ke anak kelas 2 SD?? Think about it. Jelas2 target pembaca tulisan ini untuk kalangan berpendidikan tinggi.
Sepertinya d sd tuh sdh d ajarin perbedaan antara 2×3 n 3×2 deh. Maaf min, tpi penjelasan mu sj yg kurang tepat sehingga masih banyak pertanyaan yg muncul.
Keren (y) gua sering” mampir sini ah 😀
Sip. Thanks yah.
Bacaannya ringan dan gampang dipahami. Bagi yg belum paham mungkin butuh Kopi panas dan sebatang Lisong. Trima ksih bos ilmunya. Masalah kesalahan teknis itu lumrah. Manusia yg baik itu yang pandai berkreasi bukan hanya Nyinyir. ?
sebelumnya mohon maap, menurutku, masalah rumus bahasa matematika seperti n^3 + 8 ada benernya harus sesuai, tapi ini kan ga begitu berlaku sma perkalian, mau seperti 4×6 atau 6×4 kan hasil tetap sama. dan jangan terlalu berpatokan sama konsep kaku dari rumus, kalo kita bisa mengerjakannya dengan benar menggunakan cara kita sendiri. bukankah saat di sekolah pernah ada guru menjelaskan, gunakanlah rumus yang lebih mudah kalian mengerti. yang terpenting hasil akhir. dan kebanyakan dari orang” kita terlalu kaku sama aturan yang merepotkan, dan itu yang buat negara ini susah berkembang.
Setuju sih kalau dibilang jangan kaku. Bukan cuma kaku sama 6×4 dan 4×6, berbagai bentuk simbol lainnya di matematika juga memang nggak apa-apa terbuka sama kritik.
Aku setuju sama pendapat pake rumus yg gampang dimengerti. Tapi balik lagi kalo ngeliat matematika sbg bahasa, mau ga mau kita harus konsisten dg pakem yg udah terlanjur Ada. Ibaratnya kalo mau ngomong sama orang inggris ya kita harus pake bhs inggris, bakal susah nyambung kl pake bhs Indonesia. Cmiiw.
Kl untuk ank sd yah mungkin mementingkan hasil akhir, tpi untuk ank smp, sma, dst masa mau d samakan dengan ank sd mulu? Ga malu? Kapan berkembangx?
memang bener penjelasan kamu yang di atas itu. tapi topik permasalahannya ini tugas itu untuk anak kelas 2 SD. tolong dimaklumi di umur segitu mana dia tahu matematika bahasa ? guru itu salah total !
parah.
Baca dong artikelnya sampe lengkap. Sampe bawah.
ini kan cuma lihat di kertas jawaban sama komen kakaknya, mungkin gurunya sudah ngasih penjelasan di kelas.
Bro Rezky, itu memang pelajaran kelas 2…
Ini baru keren ngga asal ngejudge tapi punya dasar dan jawaban yg berbobot (y)
Sip. Thank you ya 🙂
untuk anak kelas 2 sd apakah mtk sebagai bahasa harus di aplikasikan ?
Jawaban kamu udah ada di artikelnya. Kalo kamu udah baca tulisannya sampe bawah, pasti kamu ga akan bertanya di sini. 🙂
tidak diterapkan menurut pengalaman saya.
gurunya mungkin perlu kita culik ke situs ini dlu biar sadar
permasalahan ini memang sedikit rumit nah mungkin saya akan menjelaskan latar belakang permasalahan tersebut menurut pemikiran saya CMIIW.
si KAKAK mungkin tidak mengetahui proses pembelajaran di sekolah si ADIK bagai mana si GURU ini mengajar dan menjelaskan materi ini, mungkin si guru di sekolah sudah menjelaskan bagai mana mengisi soal-soal tersebut ke pada si ADIk dengan miss : 2+2+2+2 = 4×2 / 3+3+3+3+3 = 5 x 3, dan harus mengisinya sesuai yang di ajarkan oleh guru, dan mungkin si guru telah memberi instruksi kepada si ADIk dkk ( murid kelas ADIK) untuk jangan terbalik dalam penempatan angkanya. dan ketika di rumah si adik sedang mengerjakan PRnya dan si kakak mencoba mengerjakanya dan si adik tersebut kemungkinan lupa memberi tahu atau sudah di beri tahu tetapi kakaknya ngotot kalau jawaban yang dia tulis benar.
mungkin memang kakaknya yg songol…. mentang-mentang mahasiswa teknik
Hahaha
Kalau untuk pelajaran SD si Ibu guru yang salah. Kita melihatnya dari sisi pendidikan si adik deh. Saya masih ingat waktu kelas 3 SD guru saya bilang 2×4 berarti 2nya ada 4 kali. Makanya ditulis 2+2+2+2. Ketika saya berdiskusi brsama teman2 mereka juga berkata diajarkan seperti itu. Namun ketika menginjak SMP barulah diajarkan perhitungan berdasarkan kaidah matematika aljabar.
Kesimpulan saya, jika soal diatas diajarkan pada murid SD si guru yg salah. Namun jika diajarkan kepada mahasiswa baru bisa dikatakan salah.
Yang gw bingung, sebenernya konsep ini kan sudah ditetapkan di silabus dan kurikulum sejak jaman dulu. Di buku-buku pelajaran pun juga dijelaskan maksud dari 6×4 tersebut, sampai diilustrasikan ada gambar buah dikelompok2an. Jadi bukan tiba2 nongol di kurikulum yang baru. Gw yakin semua yang komentar baik di sini maupun di media sosial dulu waktu SD juga PASTI mengalami masa-masa pembelajaran itu. Pertanyaannya yang beranggapan itu gurunya salah, gurunya **blok, dll dulu diajarinnya apa ya? Apakah sempat tersirat pemikiran yg sama waktu dulu SD belajar itu.
gurunya nggak salah juga, dia ingin menanamkan konsep yang benar sejak awal. Karena penerapannya nggak main-main. Bayangin kalo baca dosis obat (tablet) 3×1, kan diminumnya 1 tablet+1tablet+1tablet (3 kali minum di waktu yang berbeda), bukan sekali minum 3 tablet. Meskipun dalam sehari sama-sama 3 tablet. Jadi jelas,
gua sepakat, guru memang harus menanamkan konsep berpikir yang tepat. cuma mungkin cara menegurnya bisa dengan cara lain. Ngomong2 soal dosis obat dalam resep dokter, menurut gua itu bukan analogi yang tepat. Simbol “x” dalam resep dokter itu sama sekali gak ada hubungannya dengan konsep perkalian. Cuman mungkin karena udah terbiasa menulis dengan simbol x, jadi banyak orang yang berpikir kalo itu adalah konsep perkalian, padahal bukan. 🙂
Iya sih, nggak ngurangi nilai juga langsung gitu harusnya. Makasih infonya.
Emang arti x dalam dosis dokter apa? Gue penasaran nih jadinya hehehe
Kalau 3 x 1 hari itu artinya makan obat ini 3 kali per hari. Jadi secara matematis, malah lebih tepat ditulis 3 obat/hari. Jadi kalau ditanya, “Berapa obat yang dimakan dalam 2 hari?” misalnya. Jawabnya: 3 obat/hari x 2 hari = 6 obat!
Dalam kasus ini, obat, hari, dan obat/hari itu adalah satuan. Kebayang kan sekarang bedanya?
angka 3 memiliki efek psikologis yang kuat pada jumlah harian karena kita makan tiga kali sehari, dan minum obat biasanya setelah makan.
seandainya kita dapet obat dengan tulisan 2×3, menurut kamu (2 kapsul,2 kapsul, 2 kapsul) atau (3 kapsul, 3 kapsul). Saya tidak punya statistik/pollingnya tapi saya yakin orang akan lebih banyak meminum dgn cara (2 kapsul, 2 kapsul, 2 kapsul)
tapi bener itu ada resep makan tablet kayak gitu?
Lengkap Nu, mantap 🙂 Yang lo bold itu pas banget, musti dibedain problem matematika dgn problem pendidikan.
Mudah2an Pak Menteri baca tulisan ini jadi ga asal ngehukum si Guru, yang nantinya bikin si Guru malah males ngajar..
Sip. Thank you, dhat. Akhirnya ada juga yang mention soal pemisahan problem matematika dan problem pendidikan 🙂
aku mau biar aku lebih pintar dengan yang di lihat di atas
Saya kurang sependapat dengan anda. Menurut saya 6 x 4 adalah 6+6+6+6. Kenapa? Karena membaca harus selalu dari kiri dan dari obyeknya adalah 6 sedangkan 4 adalah bilangan operasinya, maka 6×4 adalah 6+6+6+6. Dan berdasarkan obyek dan bilangan operasi. 4 x 6 adalah 4+4+4+4+4+4.
Saya tanya anda 6:2 itu bilangan awalnya berapa? 6 atau 2? Berarti obyek yang dioperasikan adalah 6 dan bilangan operasi adalah 2. Bisakan anda membalik bilangan obyek 2 dan bilangan operasi 6? Hasilnya pasti berbeda.
Begitu juga dengan 6-2. Bilangan obyek adalah 6 dan bilangan operasi adalah 2. Bisakah anda membaliknya? Tentu hasilnya berbeda.
Bicara lagi soal bahasa, pembacaan dan urutan baca. Latin itu membaca dari kiri bukan dari kanan. 4 x 6 artinya adalah bilangan 4 nya ada 6 jadi 4+4+4+4+4+4. Lompatan membaca dalam matematika hanya terjadi jika ada 2 atau lebih tanda operasi yang berbeda dan adanya kurung.
Bicara soal n+n+n = 3n itu bukannya hanya karena standar penulisan angka dan huruf selalu angka dulu didepan? 6xn = 6n dan nx6 = 6n juga. Jadi mana bisa anda menerapkan analogi n+n+n+n+n+n = 6n dengan 4+4+4+4+4+4=6.4 = 6×4? Anda menerapkan standar khusus operasi angka dan huruf dengan operasi bilangan biasa? Itu hanya standar cara penulisan, bukan logika.
Saya juga berpikir persis seperti sdr Catur, urutan membaca lebih memudahkan kita utk memahami matematika, begitu juga dengan 6×4 = 6+6+6+6.
Masalahnya semua yang sdr Catur bahas di comment ini sebetulnya justru sudah dijelaskan oleh penulis (sdr Wisnu) di dalam artikelnya. Sdr Wisnu menjelaskan bahwa konsep perkalian ini adalah bentuk kesepakatan yang sebaiknya dilakukan agar konsisten dan dipahami oleh semua orang yg belajar matematika, sama sekali bukan logika. Makanya di atas sdr Wisnu mengambil contoh bahwa dengan memakai logika, Feynman bisa menggunakan simbol dan cara penulisan yang menurut dia lebih tepat. Makanya di akhir paragraph justru sdr Wisnu mengatakan :
“Okay, jadi 4+4+4+4+4+4+4 itu sama dengan 6 x 4 . Tapi ini boleh diperdebatkan.”
Menurut saya salah 4+4+4+4+4+4 = 6×4, tetap salah. Walaupun hasilnya sama saja. Yang benar adalah 4×6. Katanya Matematika adalah Konsisten, tidak berubah. Cara operasi juga harus selalu sama.
Anda jika menggunakan kalkulator pun, akan selalu bilangan obyek yang ditulis dulu. Misalnya 4×6 maka anda akan selalu mengetik 4 dulu, baru x dan baru 6. Artinya 4 adalah obyek operasi dan 6 adalah bilangan operasi. dan artinya 4 nya ada 6.
Operasi Kali adalah Bilangan obyek ditambahkan bilangan obyek itu sendiri sebanyak bilangan operasi. Jadi 4 x 6 adalah 4+4+4+4+4+4
Jika mas Wisnu berpendapat 6×4 adalah 4+4+4+4+4+4 menurut saya keliru. Karena 6×4 obyek nya adalah 6. Pengoperasiannya 6 ditambah 6 sebanyak 4 kali. Jadinya ya 6+6+6+6 dong.
Dan di kalkulator juga, jika anda ingin mencari 6:4, maka angka 6 dulu yang anda masukkan baru tanda bagi dan baru angka 4.
Adapun 4+4+4+4+4+4 = 4 x 6. Meskipun 4 x 6 itu sama dengan 6 x 4 itu memang betul.
Kenapa mas Wisnu menganalogikan operasi biasa dengan operasi angka dan bilangan? Kalo penulisan 3n itu menurut saya hanya standar cara penulisan, bukan analogi yang sama pada 4+4+4+4+4+4. Jadi bicara enak enggaknya dilihat bukan bicara logikanya.
Seharusnya jika konsisten, maka mengacu pada 6-4, 6:4, dan 6+4 dimana 6 adalah obyek operasi dan 4 adalah bilangan operasi. Bukan konsisten pada penulisan. 3xn=3n dan nx3=n3 tapi penulisan yang benar 3n. dalam Matematika, sudah menjadi cara penulisan bahwa jika bilangan dikalikan non bilangan maka [penulisannya bilangan yang didepan. Ini hanya masalah bahasa dan cara penulisan.
Tentu berbeda dengan Singatan dalam bahasa Indonesia. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila itu disingkat PPPP tapi disebut P4 dan tidak tidak ada yang menyebut 4P.
pembagian dan pengurangan itu kan gak komutatif tapi bro
Betul. Silahkan gali dulu hukum komutatif dulu. Hukum komutatif” artinya kita bisa menukar angka dan jawabannya tetap sama untuk:
a + b = b + a
a x b = b x a
Betul bahwa 4 x 6 = 6 x 4 tapi bukan disitu masalahnya.
Itu bicara hasil, bukan bicara proses. Sedangkan soal 4+4+4+4+4+4 adalah bicara proses. Maka seharusnya yang benar adalah 4 x 6.
4 x 6 adalah obyek 4 dioperasikan kali sebanyak 6, jadi 4+4+4+4+4+4
6 x 4 adalah obyek 6 dioperasikan kali sebanyak 4, jadi 6+6+6+6
Memang seharusnya jika pertanyaanya 4+4+4+4+4+4 = 4 x 6 = 6 x 4 = 24
kalau dari segi hasil, 4×6 dengan 6×4 memang sama…
tapi dari segi penjumlahan itu berbeda…
coba dibaca pelan2
4×6 (empat kali enam)
empat kali berulang si angka ENAM
berbeda dengan 6×4 (enam kali empat)
enam kali berulang si angka EMPAT
di buku pelajaran kelas 2 SD itu ada dan dijelaskan dengan detail… 🙂
Anda sedang memposisikan kurang tepat.
4 x 6 bahasa Indonesia Empat Kali Enam
4 x 6 bahasa Inggris Four Multiple Six
Jika memposikan empat kali berulang si angka ENAM, maka bahasa inggrisnya 4 Times 6. Anda memposisikan 4 kali pada posisi 4 times bukan 4 multiple 6. Ini memang kali yang memiliki 2 arti. 1 sebagai operasi matematika, 1 lagi sebagai bentuk perulangan. Nah Matematika itu kan operasi, bukan bahasa perulangan. Anda memposisikan 4 X sebagai 4 kali. Sudah pernah ke Inggris berapa kali? Anda akan jawab 4 kali. Tapi salah sebetulnya ketika anda menulis 4 x. Kali (X) berbeda dengan kali, jika di bahasa inggris itu jelas bedanya antara Kali (x) Multiple dan kali times.
4 x 6 bahasa Indonesia Empat Kali Enam itu salah jika empat kali berulang si angka ENAM. Tapi 4 lah sebagai obyek yang dioperasikan kali sebanyak 6.
Ini adalah bahasa yang kurang tepat. Anda memposisikan seperti Dokter, 3 x 1 hari yang dalam bahasa inggris 3 Times A day. Dalam hal ini bahasa kali adalah Perulangan 3 nya. Sementara Operasi matematika bukan seperti itu.
Yang menjadi masalah adalah, apakah pembuat buku dan kurikulum itu selalu benar dan memperhatikan X dan kali itu sendiri? Antara Times dan Multiple itu beda.
karena telah menyalahkan salah satu cara penulisan, bolehkah saya meminta artiker/link yang mengesahkan “kekonsistenan” itu? national wise boleh, international wise juga boleh. Saya juga diajarkan sama seperti mas catur 4×6 = 4+4+4+4+4+4 namun menyalahkan salah satu cara penulisan itu tidak dibenarkan.
Dalam hal ini saya tidak berdasar pada link atau artikel atau setelah membaca. Tapi saya gali sendiri dari logika saya pribadi dan bahasa saya. Saya sendiri malah tidak ingat dulu diajarkan itu yg mana ketika SD. Apakah semua harus berdasarkan link, buku atau artikel?
Siapapun berhak menyalahkan saya atas logika saya, dan bisa berikan argumen. Saya mencoba memberikan argumen yang sesuai logika saya, dimana kali perulangan dan Operasi X itu mirip dan banyak yang terjebak. Yang paling saya pegang adalah bilangan obyek dan bilangan operasi dan perbedaan antara kali TIMES dan X (kali) MULTIPLE
Membaca 6×4 adalah 6 berulang angka 4 itu seperti memposisikan 6 kali atau 6 berulang. Dalam hal ini berarti times, bukan multiple.
Bagaimana anda bisa menjelaskan yang berhubungan dengan trigonometri? yang benar mana? tan 2x apa tan x2 ?
membaca dalam matematika ngak semata2 dari kiri ke kanan…
math bukanlah bahasa indonesia….
cnt : 1 < x <4
kira2 simbol matematika di atas di baca dari kiri kekanan kah..???
simbol matematika 1 < x <4 memang harus dibaca dari kiri ke kanan biar hasilnya benar..
Kalau dibaca dari kiri ke kanan:
"1 lebih kecil dari x, dan x lebih kecil dari 4"
Kalau dibaca dari kanan ke kiri:
"4 lebih kecil dari x, dan x lebih kecil dari 1"
aq kamu sekolah bahasa apa gak
ya betul banget. kalo dari sisi matematika sebagai bahasa gurunya emang benar. tapi si anak gk bisa disalahin juga, soalnya pelajarannya kan bukan matematika sebagai bahasa atau filosofi matematika tapi operasi matematika.
Bang Wisnu, saya tertarik untuk mengetahui ttg konsep reward & punishment yang menurut bang Wisnu ideal untuk anak SD. Mungkin bisa dishare pengetahuannya lebih dalam tentang konsep parenting yang tepat. Terima kasih
Soal reward dan punishment itu panjang banget ceritanya euy. Research-nya juga udah banyak banget. Kayaknya ngomongin ini aja bisa satu buku sendiri deh. Hehehe…
Kalau soal ilmu parenting, gue punya penulis favorit: Gwen Dewar. Dia yang bikin website parentingscience.com. Coba baca tulisan dia deh. Keren-keren. Tulisan di atas juga ada yang nge-link ke salah satu artikel di website itu.
gurunya aja lebay harusnya kalo emang masih SD kelas 2 anaknya dibilangin baik baik kalo caranya kurang tepat jangan asal salahin aja
kakaknya alay
Nah lho!
Benerkan apa yang saya duga.
Thanks mas Wisnu. Kebetulan masalah ini juga dibahas di salah satu grup Computer Programming di facebook yang saya ikuti. Dari diskusi yang -+ berlangsung selama 3-4 jam ini, banyak yang memiliki pandangan berbeda terkait samakah antara 4×6 dengan 6×4. Dan ternyata, benar apa yang saya dan beberapa teman lain yakini, kalo 6×4 itu sama dengan bilangan 4 yang diulang sebanyak 6 kali. Kalo dibaca secara literal, maka jadinya “enam kali, empat-nya” 😀
mau ikut diskusi nih.
menurut ane itu bukan salah gurunya.
konsep yang disepakati memang seperti itu bahwa 4+4+4+4+4+4=6×4
letak kekeliruan gurunya adalah ketika dia meminta murid tersebut menjawab hasil 4+4+4+4+4+4.
menurut saya, guru tersebut cukup meminta murid menjawab hanya dengan satu “=”
jadi saat soalnya 4+4+4+4+4+4=….x…
cukup dijawab dengan 6×4, tidak perlu soalnya jadi 4+4+4+4+4+4=…x…=…
jadi jawabnya tidak perlu sampai 4+4+4+4+4+4=6×4=24
kalau gitu kan gurunya mah nyari ributt.. 😛 harusnya si anak kan betul separo tuh…
hehehe.
*habis nyoba mikir lagi
kata guru saya seperti ini,kalau membandingkan secara nilai itu kakaknya yang benar,sementara kalau dalam bentuk itu gurunya yang benar,seperti minum obat 1×3 kan beda dengan 3×1,kalau 1×3 itu minum obat 1x per tiga hari nah kalau 3×1 itu 1hari minum 3x karena 3×1 itu 1+1+1.Misalnya orang yang tidak tau kedokteran pasti ndak tau bedanya 1×3 dan 3×1,jadi gurunya yang benar dan kakaknya hanya tau setengah setengah saja
Hmmm… soal obat, udah dijelasin di komentar gue ke Bimantara Hanumpraja ya (bahwa itu bukan perkalian).
jangan mempersulit matematika
kerjakan soal mudah dengan cara mudah
kerjakan soal sulit dengan cara mencari solusi termudah
***manusia itu mahkluk yg cerdas, tidak kaku seperti halnya suatu program yg sudah di atur oleh alogaritma nya***
tapi bang, si anak kan konsisten di semua soal PR itu ya, 4+4+4+4+4+4 = 4×6, 7+7+7 = 7×3, dst. dan bisa komunikasi sama kakaknya juga, berarti kayaknya gak salah-salah banget ya, lagian dia belum kenal tingkat lanjut kayak 3n begitu, kalo gue rasa sih wajar aja kalo dia mau nulis kayak begitu.
tetep sih gurunya salah kalo ngejelasin aja tanpa dikasih tau alasannya (berharap sang guru memberi klarifikasi gitu di media sosial, pasti seru, biar sekali-kali heboh di internet tentang matematika gitu, jangan gosip artis gak jelas terus haha)
Keren bang Artikelnya. Cuman menurut gue mungkin si Guru kurang tepat
kalo mau ngajarin Filosofi Matematika ke anak muridnya itu. Dan
seharusnya sang guru memang gak langsung menyalahkan jawaban muird
tersebut. Bener apa yang udah bang Wisnu bilang diatas,seharusnya guru
memanggil murid tersebut dan memberi tahu kalo caranya kurang
tepat,jadi gak langsung asal menyalahkan saja,agar tidak terjadi salah
paham. Kemaren juga Dosen Filsafat gue sempet nyindir masalah yang sama
bang, 4+4+4+4+4+4 = 4×6 atau 6×4 ? Cuman berhubung waktu di kelas
kemaren gak memungkinkan jadi di skip deh padahal seru kalo mau dibahas
hhe. Dosen Pancasila gue juga sempet cerita sewaktu beliau lagi
ngelanjutin studi S3nya,ada Dosen beliau yang masuk kelas dan ngasih
soal gini Bang 4+5 = ? Terus kata Dosen gue hasilnya pasti 9,anak sd
juga pasti tau ya bang. Tapi yang bikin gue kaget itu respon dari
Dosennya Dosen Pancasila gue bang, beliau bilang gini “Pantesan
Pendidikan di Indonesia gak maju”. Dan setelah ditelaah baru
sadar,bahwasayanya 4+5 kan sama saja dengan 10-1 atau 3×3 atau 18:2
dan seterusnya. Jadi secara gak langsung pendidikan seharusnya emang
mesti ngajarin buat gimana sih cara berpikir kritis yang bener. Jadi
bawa bawa Dosen gue kan bang,mau sharing aja bang hhe. Thanks bang
artikelnnya,bisa jadi bahan gue diskusi kalo Dosen Filsafat gue nyindir 4×6 lagi hhe
Pernah dengar kalo penemu nol itu al jabar… Mohon pencerahan…?
Yg lo maksud itu Muhammad Musa Al Khwarizmi kali.. Al Jabr itu nama buku bikinan dia “Hisāb Al Jabr wal Muqabalah”.
masih gak paham gue gan. kalo menurut gue sih yang namannya 4+4+4+4+4+4= 4X6 soalnya angka 4 nya 6 kali. bukankah prosesnya gitu ?
nah yang kalo 6X4 itu bukannya 6+6+6+6 ?
terangin deh kalo pendapat gue salah. thanks :)))))
@Wisnu OPS : pembahasan yang bagus, obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan. tapi ada yang sedikit ingin saya tanyakan; apa memang benar dan bisa dipertanggung jawabkan jika angka nol ditemukan oleh bangsa maya ?. lalu, bagaimana dengan nasib penemu konsep aljabar dan penemu angka nol Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi ?. siapa yang bisa dipertanggung jawabkan ? bangsa maya atau al-khawarizmi ?.
kalo dalam matematika, 6×4 =4×6.
kalau gurunya dianggap mengajari konsep perkalian, coba baca artikel ini: http://www.maa.org/external_archive/devlin/devlin_06_08.html
Perkalian itu bukanlah pengulangan penjumlahan!!
Jadi secara konsep pun, yang diajarkan guru itu salah. Hasil 4+4+4+4+4+4 adalah sama dengan 6X4, maupun 4X6. Tapi itu adalah “kebetulan” karena kedua bilangan perkaliannya adalah bilangan bulat. coba kalo 3,2 X 4. nah berarti 4+4+4+? bingung donk? Apalagi untuk bilangan real. katakanlah Phi X 4. berapa kali ya 4 itu dijumlahkan?
Anda tepat sekali membandingkan dengan pecahan. Jika pertanyaan anda 3,2 X 4 maka jawaban saya adalah 3,2+3,2+3,2+3,2, karena kebetulan depannya 3,2 dimana obyeknya 3,2 yang kali 4. Tapi jika menurut mas Wisnu, maka akan repot menjadi 4nya dikali 3,2 jadinya 4+4+4+?
Nah ada kesalahan bahasa dimana 6×4 = 4+4+4+4+4+4 karena 6 kali bilangan 4. Itu berarti kan bahasa inggrisnya 6 times 4, Padahal 6×4 itu bukan 6 times 4 tapi 6 multiple 4. Jadi 6 nya yang di multiple kan 4, 6×4 = 6+6+6+6
sori nih mas, ga tau ya ane yg sok pinter ato emg gimana xD
tapi saya rasa ini permasalahan di perkalian sederhana kan? ini ga punya masalah di 4×6 ataupun 6×4. kalau memang gurunya mau ngajarin ke murid nya tentang konsep konsisten, saya rasa itu belum pantas untuk kalangan SD 🙂 dan kalau gurunya mau bahas tentang jawaban jelas salah di gurunya dong. maaf ya kalo saya ada salah bicara . thnks
NIce explanation Nu, cuma penjelasan 4×6 atau 6×4 kedua contoh yang lo berikan masih menyisakan ruang keraguan dalam logika gw.
yang pertama, ketika membawa argumen ke arah 3n, sudah ada konsensus aturan baku bagaimana menulis koefisien dan variabel (koefisien ditulis duluan drpd variabel) sebelum ada aturan ini mungkin orang menulis n3 http://en.wikipedia.org/wiki/Coefficient
yang kedua, apakah tidak boleh jika menjawab Rp. 6000 x 4 atau 4 roda x 6? apakah dengan menjawab demikian merubah definisi (kalau jumlah pasti sama)? selama boleh dan tidak merubah definisi, maka contoh ini belum bisa dijadikan argumen.
Banyak orang juga menggunakan satuan/units (misal foto 4cmx6cm dan 6cmx4cm) sebuah angka ketika diberi satuan maka dia telah menjadi angka yang berbeda, contohnya: 4km dan 4kg, sesama 4, tetapi beda, jadi contoh menggunakan units juga tidak bisa dijadika argumen.
Lalu bagaimana agar bisa memilih yang benar? pertanyaan yang buat saya pribadi cukup sulit, karena:
1. seharusnya mudah karena hanya ada 2 pilihan, tinggal mencari kesalahan pada satu pihak, otomatis pihak lain yang akan menjadi benar. Namun menjadi sulit karena sifat komutatif membolehkan keduanya dibolak-balik
2. harus ada aturan yang membuat salah satu diantaranya menjadi salah, entah konsensus (saat ini belum ada) atau aturan menjawab, contoh “jika 2+2+2 = 3×2 maka isilah pertanyaan di bawah ini”
mengutip dari solusinya pak Iwan Pranoto.
Tepat sekali ketika dibilang matematika adalah bahasa, dan menurut bahasa Jawa, lagi2 mengutip pak Iwan Pranoto, 4×6 dibaca papat ping enem (empatnya ada enam). mungkin ada urusannya sama DM (indonesia -> mobil merah, empatnya ada enam) dan MD (inggris -> red car, six groups of four)
Si Guru menjadi salah ketika menyalahkan pendapat lain yang benar karena kedua cara penulisan benar. Menurut logika matematika ketika (AnB) adalah benar, kalau A salah, maka B juga ikut salah. Karena si guru menyalahkan cara A, maka cara B yang digunakan si guru juga salah, kalau cara B dinilai benar, maka letak salahnya pada orang yang menilai cara A salah. (note: dengan asumsi tidak ada perintah khusus).
Menurut saya tidak hanya gurunya, siapapun yang menyalahkan salah satu cara adalah orang yang salah.
link pak Iwan Pranoto: http://chirpstory.com/li/231174?page=1
Halo wisnu
Ikutan nimbrung ya
Ngomongin soal bahasa di matematika, apa jangan jangan heboh heboh ini karena pergeseran makna pembacaan simbol “=”, simbol “=” kan dalam bahasa inggris ” equality sign”, yang kurang lebih artinya simbol kesetaraan, bukan sama atau “same” , ” identical”, memang di indonesia lebih umum menggunakan kata “sama dengan”, tapi ini jadinya rancu
Contoh : $ 1 tentu berbeda dengan Rp 11500, tapi disuatu saat $ 1 setara dengan Rp 11500, jadi dapat ditulis $ 1 = Rp 11500
Nah kalau mengikuti konsistensi bahasa matematika, bukannya seharusnya soal 4+4+4+4+4+4 = ? , dapat dijawab dengan sesuai menggunakan 4×6, 6×4, 12×2, 8×3
ini membuktikan 6×4 lebih konsisten dan sesuai aturan, btw keren kali abang wisnu ini yah.
saya tidak yakin kalau foto sebelah kanan itu 6×4
kaku banget sih..teoritis bgt…
jepang aja bisa lbh fleksibel…otak atik sendiri..maka nya jepang pinter2 orangnya…
kamu ngerti definisi dari “teori” gak? apa yg ditulis dalam artikel ini gak ada satupun ngomongin teori.
Wah diskusi yg menarik, jujur saya baru aja tahu fenomena 4×6 dari artikel ini. Cuman saya prihatin ttg diskusi soal siapa yg benar guru/kakak.
Karena penilaian kita hanyalah sebatas gambar yg isinya coretan guru dan keluhan kakaknya habibi.
Sebab bicara soal siapa yg salah, terlalu banyak asumsi dari kita masing2 yg sebenarnya belum tentu juga benar. Seingat saya di zeniusblog pun sudah pernah diangkat soal bias confirmation, juga di materi SBMPTN Inggris. Jadi alangkah baiknya kalau kita tidak saling menyalahkan. Tks. Hehe
Menantikan diskusi berkualitas dan artikel menarik lainnya dari Zenius (-:
Jadi, masalahnya cmn di konsistensi nya doang ya kak?
kalo gitu, 3+3+3+…+3 sebanyak n kali, n3 ya bukan 3n :p
mas maaf ott ..klo rumus2 fisika itu kan di zenius kita gmna caranya gak apalin rumus..tpi aku tanya ke guru2ku mesti bilangnya..””ya kamu harus hapalkan itu” gmna mas ?? biar kita gak apalin rumus2 itu ??
dan zenius berhasil buat gue doyan belajar
hahaha keren
Kalo alan turing dkk yg memecahkan enigma itu pake matematikanya gimana? Trs apa hubungannya sandi enigma dg matematika sbg penyelesaian masalahnya?
topik ini juga udah pernah dibahas di zeniusBLOG >> https://www.zenius.net/blog/7095/kriptografi-enkripsi-dekripsi
sceptic sama poin matematika bukan science
banyak juga lho ilmuwan dan matematikawan yang mengatakan matematika itu science, contohnya Opah Carl Friedrich Gauss….
GURU YANG BENAR
ingat peraturan
1. Guru selalu BENAR
2. Jika guru salah kembali ke peraturan 1
pernah nerima resep dokter yang disitu ditulis dosis 3×1 kan?
artinya 3 kali dalam 1 hari jadi 3×1 artinya 1 pagi+ 1 siang + 1 sore.
bukan 3 dimakan langsung 1 kali.
3×1 adalah three times a day (3 kali dalam 1 hari)
jadi 3 kali = three times.
Atau 3 waktu/ 3 saat/ 3 kali pengulangan. apanya yang diulang?
yang diulang adalah bilangan di sebelah kanan perkalian.
jadi 3×1 adalah 1+1+1
bagaimana dengan 1×3 = 3
yaitu bilangan 3 hanya diulang sebanyak 1 kali saja.
walaupun jumlahnya sama atau bermakna kumutatif, tetap dalam bentuk penjumlahannya berbeda.
untuk medekatkan makna cobalah untuk menerjemahkan (3 X) itu sama dengan (3 times) tau 3
kali pengulangan.
semoga membantu
apakah semua FPB bisa dicari dengan cara faktorisasi prima?
kok blogger zenius keren2 ya? hahaha tepatnya tulisanya
tolong dong ini caranya gimana ya nyeleseinnya?
ini cara nyelesainnya gimana?
Trima kasih
siip… bermanfaat … tulisan ini termyata yang membakar semangat pembacanya,, maybe you’r real teacher,,
saya kurang suka pendeketanan “gak enak”. menurut saya itu simetri. ketika dibandingkan dengan bahasa indonesia, mungkin aneh. tapi sebut ada suatu bahasa yg cara bacanya beda, kan jadinya gk aneh. bahasa matematika bukan bahasa indonesia.
bagaimana dengan :
3+3+3+3+…….+3 sebanyak n kali, hasilnya ap? n3?
sorry, sorry saya langsung brenti baca pas nyampe fun fack point pertama kayanya bukan deh 🙂
Menurutku mungkin pemikiran bahwa 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6 itu karena pas pertama kali pada bab perkalian di ajarkan bahwa 4 x 6 itu empat nya ada enam, bukan empat kali (angka) enam.
Ini adalah opini pribadi saya cmiiw