Perjuangan Masuk UGM, dari Medan ke Yogyakarta

Perjuangan Masuk UGM, dari Medan ke Yogyakarta

Halo! Namaku Jogi Josafat Hutauruk. Biasa dipanggil Jogi.
Aku berasal dari Medan—kota yang katanya mirip Gotham City. Lahir dan besar di keluarga Batak yang sangat menjunjung tinggi pendidikan dan kerja keras . Nilai-nilai itu tertanam kuat sejak kecil dan membentukku jadi pribadi yang adaptif, gigih, dan berani tampil.

Baru-baru ini, aku diterima di Filsafat UGM—kampus yang katanya ber-almamater karung goni itu hehe, di jantung Kota Pelajar: Yogyakarta.

Awal yang Nggak Sempurna

Jujur, aku bukan anak yang rajin belajar sejak dulu. Waktu SMP, aku lebih banyak main daripada buka buku. Tapi pandemi mengubah banyak hal. Karena nggak bisa ke mana-mana, aku mulai ikut kelas daring. Nggak nyangka, akhirnya dapat ranking untuk pertama kalinya! Dari situ, belajar jadi candu.

Saat SMA, aku sempat mencoba masuk sekolah unggulan di Sumut, Yasop—tapi gagal. Akhirnya tetap melanjutkan di SMA Sultan Iskandar Muda, sekolah yang sama sejak SMP. Walaupun bukan sekolah terkenal, justru di sanalah aku tumbuh. Lingkungannya beragam banget—kayak miniatur Indonesia.

Aku aktif di banyak kegiatan: OSIS, klub fotografi, komunitas kerohanian, klub badminton, bahkan ikut olimpiade ekonomi. Nilaiku? Masuk 3 besar terus sampai semester 5. SMA-ku adalah masa paling asik: belajar sambil main, eksplorasi minat, dan tumbuh bareng teman-teman hebat.

Ketika Semua Gagal

Lulus SMA, aku coba semua jalur: SNBP, SNBT, Mandiri, Kedinasan, bahkan CPNS. Hasilnya gagal semua.

Saat itu, aku ngerasa semua kerja kerasku sia-sia. Aku sempat berpikir, “Apa selama ini keaktifanku di sekolah cuma untuk nutupin bahwa aku bodoh? Rasa minder, iri, malu campur jadi satu. Apalagi ketika lihat teman-teman mulai kuliah, sedangkan aku… cuma rebahan.

Tapi hidup harus jalan. Aku mulai motret acara kecil-kecilan buat isi waktu dan isi dompet. Di tengah kebingungan itu, kakakku nyaranin pakai Zenius—platform yang dia juga pakai dulu waktu gapyear. Aku langganan, tapi awalnya malah kuanggurin karena ngerasa udah terlalu ketinggalan. Sampai akhirnya, karena tekad masuk UGM begitu besar, aku mulai belajar lagi 4 bulan sebelum UTBK.

Mulai Menggunakan Zenius

Sebelum pakai Zenius, aku belajar hanya dengan menghafal rumus dan mengandalkan ingatan. Nggak ngerti konsep, jadi gampang lupa. Tapi setelah gabung sama Zenius, semuanya berubah.

Aku mulai ngerti kenapa sesuatu penting dipelajari. Belajar PU bukan sekadar biar lulus, tapi biar nggak kejebak logical fallacy. PM buat mikir sistematis, dan literasi biar nggak cuma bisa baca, tapi juga ngerti isi bacannya.

Yang bikin seru? Live class bareng tutor-tutor gokil di program NgeButz. Ada Kak Uti yang tiba-tiba nyanyi, ada Kak Insi dengan “Syipoo”-nya. Belajar jadi hidup! Di kelas Kak Butz, misalnya, aku baru ngeh: rumus itu bukan dihafal, tapi dipahami polanya. Dulu aku dan Matematika kayak musuhan. Tapi Zenius dan NgeButZ ngenalin aku ke Matematika sebagai bahasa untuk mikir sistematis. Lama-lama, kami berdamai.

Fitur favorit? Live class, video playlist, drilling soal, ZenCore. Semuanya, sih! Hahaha.

Gapyear Nggak Serem-Serem Amat

Setahun gapyear ngajarin banyak hal. Nggak cuma tentang belajar, tapi juga tentang gagal, bangkit, dan mengenal diri sendiri. Aku sadar, kadang gagal itu bukan akhir. Mungkin dari 65% target, kita cuma kurang 3%. Ya udah, tinggal cari cara buat ngejar 3% itu.

Gapyear juga kasih aku waktu buat refleksi. Aku pengen hidupku meaningful—bisa berguna buat orang lain lewat pendidikan. Aku ingin buktiin kalau pilihan yang kuambil, kayak masuk Filsafat UGM, bisa jadi berkat buat diriku dan keluargaku.

Buat Teman-Teman Pejuang

Buat kamu yang masih berjuang, atau bahkan lagi gagal, kamu belum tentu gagal sepenuhnya. Mungkin kamu cuma ketinggalan dikit dari target. Jangan langsung nyerah.

Kalau harus gapyear, nggak apa-apa. Jangan takut dinilai orang. Jadikan itu motivasi: “Tunggu aja, bakal kubuktiin.”

Ingat:

  • Evaluasi kesalahanmu. Jangan ulangi yang sama.
  • Disiplin waktu. Semua orang punya 24 jam yang sama.
  • Cari teman seperjuangan. Jangan berjuang sendirian.
  • Belajar caranya belajar. Bukan cuma soal banyak-banyakan latihan, tapi juga pahami konsep dasarnya.

Zenius ngajarin aku cara berpikir logis, kritis, dan sistematis—hal yang masih aku pakai bahkan di luar pelajaran. Buatku, Zenius bukan cuma bimbel UTBK, tapi jembatan untuk belajar lebih dalam tentang hidup. Tetap ingat: kita harus selalu lihat daftar kesalahan apa aja yang harus diperbaiki dan nggak diulang lagi biar nggak gagal lagi.

“Kau harus buat transformasi untuk dirimu sendiri.”

Read more