Muhammad Ali (1942-2016) bisa dibilang adalah atlet terbesar abad ke-20. Ketahui kisah selengkapnya di sini!
Hi, guys! Kali ini gue membahas seorang atlet yang namanya sangat terkenal, yakni Muhammad Ali. Muhammad Ali merupakan petinju dan aktivis sosial yang secara universal dianggap sebagai salah satu atlet terbesar abad ke-20. Sebagai petinju, Muhammad Ali meraih medali emas Olimpiade Roma (1960) dan menjadi petinju pertama yang memenangkan kejuaraan dunia kelas berat pada tiga kesempatan terpisah (1964, 1974, dan 1978). Ia berhasil mempertahankan gelar ini sebanyak 19 kali dan memiliki rekor bertinju 56-5 selama berkarier.
Muhammad Ali adalah petinju yang paling fenomenal yang pernah ada. Gaya bertinjunya memadukan kecepatan, kelincahan, dan kekuatan dengan sangat baik yang belum pernah ada sebelumnya dalam olahraga tinju. Sementara, pesona dan kecerdasannya mengubah pandangan publik terhadap sosok juara (tinju) selamanya. Prestasinya di atas ring sangat melegenda. Namun, sosok Muhammad Ali lebih besar lagi dari karier bertinjunya.
Keterusterangan Ali tentang masalah ras, agama, dan politik membuatnya menjadi sosok yang kontroversial selama karirnya. Ia juga dikenal karena sikap publiknya yang berani menentang Perang Vietnam. Dicintai atau dibenci, selama 50 tahun Ali tetap menjadi salah satu orang yang paling dikenal di planet ini.
Ali mencurahkan sebagian besar waktunya, terutama setelah pensiun, untuk filantropi. Ia pun mendapatkan Presidential Medal of Freedom pada tahun 2005. Muhammad Ali telah muncul di sampul majalah Sports Illustrated sebanyak 38 kali, kedua terbanyak setelah pebasket Michael Jordan.
Daftar Isi
Kehidupan Awal Muhammad Ali
Muhammad Ali lahir dengan nama asli Cassius Marcellus Clay, Jr. di Louisville City Hospital pada 17 Januari 1942. Ia merupakan putra sulung dari pasangan Cassius Marcellus Clay Sr. (1912-1990) dan Odessa Grady Clay (1917-1994). Cassius Marcellus Clay, Jr. dibesarkan di Amerika bagian Selatan pada masa fasilitas umum yang terpisah.
Ibunya adalah seorang juru masak dan pembersih rumah dan ayahnya adalah seorang pelukis papan nama serta pembuat mural gereja. Ayahnya menyalahkan diskriminasi atas kegagalannya menjadi seniman yang diakui. Keras dan sering mabuk, Clay Sr. mengisi kepala Cassius dan adiknya, Rudolph (kemudian Rahman Ali), dengan ajaran separatis kulit hitam abad ke-20.
Di luar ajaran ayahnya, Ali menelusuri identitas rasial dan politiknya hingga pembunuhan Emmett Till tahun 1955. Emmett Till, seorang kulit hitam berusia 14 tahun dari Chicago, diyakini telah menggoda seorang wanita kulit putih saat berkunjung ke Mississippi. Pada 28 Agustus 1955, penyiksaan brutal dan foto-foto pembunuhannya yang tersebar menghantui Cassius Clay yang hanya enam bulan lebih muda dari Till.
Di samping itu, pada usia dini, Clay menunjukkan bahwa dia tidak takut dengan pertarungan apa pun baik di dalam maupun di luar ring. Tumbuh dalam lingkungan segregasi di daerah Selatan, ia mengalami prasangka rasial dan diskriminasi secara langsung.
Dalam pendidikan, satu-satunya mata pelajaran di mana ia menerima nilai yang memuaskan adalah dalam bidang seni dan olahraga. Melansir New York Times, Saat Ali sudah menjadi juara tinju amatir, dia lulus (sekolah menengah) pada urutan 376 dari 391 murid.
Karier Amatir dan Emas Olimpiade 1960
Pada usia 12 tahun (1954), Clay menemukan bakatnya untuk bertinju melalui takdir yang aneh. Setelah sepeda Schwinn merah barunya seharga $60 dicuri dari jalan pusat kota, Clay melaporkan pencurian itu dengan penuh air mata kepada Joe Martin (1916-1996), seorang petugas polisi Louisville yang mengelola gym tinju setempat.
Clay memberi tahu Joe Martin bahwa dia ingin menghajar pencuri itu. Saat Cassius membual tentang apa yang akan dia lakukan pada pencuri ketika dia menangkapnya, Martin menyarankan agar dia belajar cara meninju dengan benar sebelum mulai menantang orang.
Clay mulai bekerja dengan Martin untuk belajar cara bertanding dan segera memulai karir tinjunya enam minggu kemudian. Dalam pertandingan amatir pertamanya pada tahun 1954, ia menang dengan keputusan ganda (split decision).
Clay kemudian memenangkan turnamen Golden Gloves 1956 untuk pemula di kelas light-heavyweight. Pada bulan Februari 1958, sebulan setelah ulang tahunnya yang ke-16, Clay melakukan perjalanan ke kompetisi nasional pertamanya, yakni National Golden Gloves Tournament of Champions.
Clay kalah di perempat final, tetapi kembali satu tahun kemudian dengan tubuh yang lebih tinggi dan lebih berat. Clay mengalahkan Tony Madigan, atlet kelahiran Australia berusia 29 tahun, peraih dua kali medali Olimpiade yang lebih diunggulkan menang. Ia juga meraih gelar nasional Amateur Athletic Union untuk kelas light-heavyweight.
Pada usia 18 tahun, Clay telah merebut gelar-gelar itu dan mengoleksi rekor 100 kemenangan melawan delapan kekalahan. Cassius Clay tampil di acara tinju amatir remaja televisi lokal “Tomorrow’s Champions” dan segera menjadi bintang.
Musim panas 1960, setelah lulus SMA, Clay mendapat tempat di tim Olimpiade Amerika Serikat 1960 dan menikmati semua perhatian. Ia pergi ke Roma untuk bersaing dalam perebutan medali emas cabor tinju kelas light-heavyweight di Olimpiade 1960. Setelah memenangkan tiga pertandingan pertamanya, Clay mengalahkan Zbigniew Pietrzykowski dari Polandia untuk memenangkan medali emas Olimpiade cabor tinju kelas light-heavyweight.
Dalam tinju, Clay menemukan batasan, disiplin, dan bimbingan yang stabil. Martin yang berkulit putih melatih Clay selama enam tahun (1954-1960), meski revisionis sejarah kemudian memberi lebih banyak pujian kepada Fred Stoner, seorang pelatih kulit hitam di lingkungan Smoketown. Martin lah yang membujuk Clay untuk mempertaruhkan hidup dan pergi ke Roma bersama tim Olimpiade 1960, meskipun takut untuk terbang.
Clay pulang ke Amerika sebagai penantang profesional dan digembar-gemborkan sebagai pahlawan Amerika. Dia segera menjadi profesional dengan menandatangani kontrak enam tahun dengan sebelas jutawan kulit putih lokal yang disebut Grup Sponsor Louisville. Mereka mendukung Clay saat dilatih oleh Angelo Dundee, seorang pelatih top di Miami.
Pada 29 Oktober 1960, Clay pun mengawali karier profesionalnya dengan kemenangan pada laga debut tinju profesionalnya. Sejak awal karir profesionalnya, petinju kelas berat setinggi 6 kaki-3 inci itu mengalahkan lawan-lawannya dengan kombinasi pukulan cepat dan kuat serta dengan kecepatan kakinya. Tidak lama setelahnya, ia bersikap braggadocio serta mempromosikan dirinya terus-menerus hingga banyak memunculkan beragam komentar.
Karier Tinju Profesional, Bertemu Tokoh-Tokoh Penting, serta Mengganti Nama Menjadi Muhammad Ali
Sekelompok pengusaha kulit putih terkemuka asal Kentucky membentuk sindikat untuk meluncurkan karir Clay dan melindunginya dari massa yang sering mengendalikan tinju. Mereka menawarkan Clay kontrak terbesar dalam sejarah tinju. Lalu, pada 29 Oktober 1960, Clay melakukan debut profesionalnya di Freedom Hall Louisville.
19 Desember 1960, Clay tiba di Miami, di mana pelatih barunya menyambutnya di stasiun. Angelo Dundee mengantarnya ke Overtown, lingkungan segregasi yang membolehkan pengunjung kulit hitam menyewa kamar.
Saat berada di Miami, Clay bertemu dengan Abdul Rahman yang menjual koran Muhammad Speaks di jalanan. Rahman, yang dikenal sebagai Kapten Sam, mendorong Clay untuk mulai menghadiri pertemuan di Kuil No. 29, sebuah toko kosong yang telah diubah menjadi masjid.
Pada 10 Februari 1962, Clay bertarung melawan Sonny Banks, seorang pekerja harian yang memukul keras dari Detroit. Itu adalah pertandingan pertamanya di tempat tinju paling terkenal: Madison Square Garden.
Pada Juni 1962, Abdul Rahman mengundang Cassius Clay dan saudaranya Rudy ke rapat umum Nation of Islam di Detroit. Meskipun bergaul secara terbuka dengan organisasi itu dapat membahayakan peluang Clay untuk memperebutkan gelar, ia tetap menghadirinya.
Sebelum rapat umum, ketiganya mengunjungi jamuan makan siang di sebelah Masjid. Di sana mereka bertemu dengan seorang menteri terkenal dari New York, Malcolm X. Malcolm berada di kota itu untuk menyampaikan pidato pembukaan rapat umum tersebut.
18 Juni 1963, Clay menandatangani kontrak untuk melawan Henry Cooper dari Inggris. Setelah menang, Clay menemui manajer Sonny Liston (juara dunia saat itu), Jack Nilon, yang menunggu di ruang ganti. Dia menjanjikan Clay pertandingan setelah pertandingan ulang antara Sonny Liston dengan Floyd Patterson.
November 1963, manajer Sonny Liston ingin memanfaatkan selebritas Clay dan menyetujui kesepakatan yang akan menghasilkan hampir $1 juta bagi Clay. Pada masa itu, jumlah tersebut adalah yang terbesar yang pernah ada untuk penantang kelas heavyweight.
Clay sering menyebut dirinya sebagai “The Greatest“, ia tidak takut untuk menyanyikan pujiannya sendiri. Ia berusaha untuk meningkatkan minat publik dalam pertandingannya dengan membaca puisi dan melontarkan ungkapan-ungkapan yang menggambarkan diri sendiri seperti “float like a butterfly, sting like a bee, your hands can’t hit, what your eyes can’t see.” Clay terkenal karena membual tentang keahliannya sebelum bertarung dan karena deskripsi dan frasanya yang penuh warna.
Musim dingin 1964, saat Clay tidak berlatih, ia menghabiskan waktunya dengan Malcolm X yang telah membawa keluarganya ke Miami. The Beatles, dalam tur Amerika pertama mereka, juga berada di kota dan muncul untuk sesi foto di gym pelatihan Clay.
Pada tanggal 25 Februari 1964, Clay menantang Sonny Liston untuk kejuaraan kelas berat dunia. Liston secara luas dianggap sebagai petarung paling menakutkan dan kuat di zamannya. Clay adalah orang yang tidak diunggulkan.
Clay menoleh ke arah wartawan yang duduk di samping ring, saat dia menunggu bel yang menandakan dimulainya ronde ketujuh, dia berteriak kepada mereka, “I’m gonna upset the world!” Cassius Marcellus Clay Jr. berhasil menjadi juara dunia kelas berat setelah enam ronde yang melelahkan.
Pada keesokan paginya, Clay terlihat di sekitar Miami dengan anggota Nation of Islam yang kontroversial, Malcolm X (1925-1965). Kemudian, Clay kembali mengejutkan dunia tinju dengan mengumumkan bahwa dia telah menerima ajaran Nation of Islam dan membenarkan rumor tentang dirinya masuk Islam.
Clay bergabung dengan temannya Malcolm X dan secara terbuka meninggalkan namanya yang dianggap sebagai “nama budak”. Clay mengatakan bahwa ia sekarang akan menggunakan nama Cassius X. Pada tanggal 6 Maret 1964, pemimpin Nation of Islam Elijah Muhammad (1897-1975) memberikan nama Muhammad Ali kepada Cassius Clay
Maret 1964, perbedaan pandangan antara pemimpin Nation of Islam dan Malcolm X mengancam posisinya di organisasi tersebut. Hal ini berujung pada perencanaan pengusiran permanen Malcolm X dari Nation of Islam. Elijah Muhammad juga memerintahkan Clay untuk berhenti berkomunikasi dengan Malcolm X.
Tidak lama setelah itu, Ali mengetahui bahwa nilai tes militernya rendah. Dengan begitu, Ali tidak memenuhi syarat untuk bertugas di militer. The New York Times menjadikannya berita halaman depan.
29 Agustus 1964, Kelompok Louisville masih mengatur pertandingan Ali sampai kontrak mereka berakhir pada tahun 1966. Kemudian, perkara tersebut menjadi rumit karena terganggu oleh hubungan Ali dengan Nation of Islam.
Ketika sponsor Ali mengumumkan pertandingan ulang pada bulan November dengan Sonny Liston di Boston, WBA (World Boxing Association) menolak untuk memberikan sanksi pada pertandingan tersebut. WBA lebih memilih mencabut gelar Muhammad Ali.
21 Februari 1965, Malcolm X ditembak mati saat berbicara di depan orang banyak di Audubon Ballroom, Manhattan. Meskipun tidak jelas siapa yang memerintahkan pembunuhan itu, ketiga pria bersenjata yang ditangkap adalah anggota Nation of Islam.
Pada hari pemakaman Malcolm X, Muhammad Ali bertinju dalam pertandingan eksibisi di acara Nation of Islam di Chicago. Ia mengatakan kepada wartawan, “Malcolm X and anybody else who attacks or talks about attacking Elijah Muhammad will die. No man can oppose the messenger of Almighty God verbally or physically and get away with it.”
Mei 1965, Muhammad Ali dan rombongannya kembali ke Massachusetts untuk melanjutkan pelatihan menjelang pertandingan ulangnya dengan Sonny Liston. Saat pertandingan semakin dekat, desas-desus menyebar bahwa Sonny Liston akan dibunuh oleh anggota Nation of Islam kecuali dia mengalah. Selain itu, beredar kabar bahwa pengikut Malcolm X bertekad untuk membalas dendam dengan menembak Ali.
Pada hari pertandingan, petugas tidak menemukan apa pun yang mencurigakan. Pada 25 Mei 1965, dua menit dua belas detik setelah memasuki babak pertama, Sonny Liston terjatuh. Semuanya sudah berakhir. Sampai hari ini masih menjadi salah satu misteri besar sejarah olahraga. Apakah pertandingan itu sudah diatur?
Sonny Liston akan bertinju selama lima tahun lagi setelah kalah dari Muhammad Ali. Pada tanggal 5 Januari 1971, istrinya Geraldine kembali ke rumah untuk menemukannya tewas. Beberapa orang berspekulasi bahwa massa yang telah mengakibatkan hal tersebut, tetapi hasil pemeriksaan medis memutuskan bahwa Sonny Liston meninggal karena serangan jantung.
Selama dua tahun berikutnya, Ali mendominasi tinju kelas berat. Rentetan kemenangan ia dapat atas Floyd Patterson, George Chuvalo, Henry Cooper, Brian London, Karl Mildenberger, Cleveland Williams, Ernie Terrell, dan Zora Folley.
Pencabutan Gelar dan Penolakan Terhadap Perang Vietnam
Maret 1966, Amerika Serikat meningkatkan keterlibatannya di Vietnam dengan permintaan pasukan yang meningkat. Bagian penerimaan prajurit pun menurunkan standarnya. Lalu, Muhammad Ali yang sebelumnya mendapat nilai tes rendah, sekarang memenuhi syarat untuk masuk wajib militer.
Maret 1967, Ali mengetahui bahwa dia telah direkrut dan akan melapor untuk pelantikan bulan berikutnya. Sementara pengacaranya bersiap untuk menentang hal tersebut, Ali bertemu secara pribadi dengan Dr. Martin Luther King Jr. di Louisville. Kedua pria itu berbeda pendapat tentang separatisme hitam, tetapi mereka menemukan kesamaan pandangan tentang perang di Vietnam.
Kemudian, April 1967, Ali menolak panggilan wajib militer, lalu Ali pun ditangkap. Kemudian, Komisi Atletik Negara Bagian New York segera menarik lisensi tinjunya dan mencabut sabuk kelas beratnya. Hampir setiap komisi tinju lain di Amerika Serikat mengikutinya dan WBA merebut gelar Ali untuk kedua kalinya.
20 Juni 1967, juri memutuskan Ali bersalah karena menolak wajib militer. Hakim, mengabaikan rekomendasi jaksa yang lebih lunak dan menjatuhkan hukuman maksimal lima tahun penjara serta denda $10.000. Namun, Ali tetap bebas saat hukuman itu diajukan banding.
Pengacara Ali segera mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Banyak yang melihat Ali sebagai pengelak wajib militer dan popularitasnya pun anjlok. Ali tetap bebas, tetapi tanpa gelar atau lisensi untuk bertinju dan dia harus menyerahkan paspornya.
Ali berbicara menentang Perang Vietnam di kampus-kampus saat dirinya dilarang bertinju selama tiga tahun,. Belakangan, diketahui bahwa Ali menentang hal tersebut karena bertentangan dengan hati nurani dan keyakinan agamanya. Ketika sikap publik berbalik menentang perang, dukungan untuk Ali pun tumbuh.
14 September 1970, pengacara telah mengajukan gugatan terhadap Komisi Atletik New York. Dalam gugatannya, mereka mengklaim komisi tersebut secara ilegal mencabut lisensi Ali untuk bertinju, tetapi memberikan lisensi kepada petinju lain yang dihukum karena kejahatan.
Pada bulan September, Hakim Mansfield memutuskan untuk mendukung Ali, dengan mengatakan bahwa keputusan Komisi Atletik itu sewenang-wenang. Dia meminta negara bagian New York untuk memberikan lisensi kepada Ali. Pada tahun yang sama, Mahkamah Agung Negara Bagian New York memerintahkan lisensi tinjunya dipulihkan. Lalu, pada tahun berikutnya, Mahkamah Agung AS membatalkan hukumannya dengan keputusan bulat.
Kembali Bertinju dan Menjadi Juara Kelas Berat Tiga Kali
Ali melewatkan masa-masa emas dalam kariernya karena peristiwa yang menimpanya. Setelah 43 bulan tidak bertanding, Ali kembali ke atas ring pada 26 Oktober 1970 dan mengalahkan Jerry Quarry di ronde ketiga. Coretta Scott King dan Ralph Abernathy menghadiahkan dia dengan Dr. Martin Luther King Memorial Award.
7 Desember 1970, Muhammad Ali melawan Oscar Bonavena di Madison Square Garden, New York City. Sudah lebih dari tiga tahun sejak dia bertarung, dan Ali butuh lima belas ronde untuk mengalahkan Bonavena. Refleksnya masih luar biasa, tetapi sudah tidak lagi secepat dulu.
30 Desember 1970, Muhammad Ali, penantang nomor satu kelas berat, dan Joe Frazier, juara dunia bertahan, bertemu di New York untuk mengumumkan pertandingan gelar mereka yang sangat dinanti. Mereka menandatangani kontrak terbesar dalam sejarah olahraga, menjamin mereka masing-masing $2,5 juta dolar. Belum pernah ada sejarah dalam tinju yang mempertemukan juara (dan mantan juara) tidak terkalahkan saling berhadapan untuk memperebutkan gelar kelas berat.
8 Maret 1971, Pertandingan Ali vs Frazier diberi julukan “The Fight of the Century.” Muhammad Ali dan Joe Frazier telah saling mengenal sejak mereka bertemu di Madison Square Garden pada tahun 1967. Saat itu, Frazier meminta tanda tangan Ali dan berjanji bahwa dalam dua tahun, iia akan siap menghadapi sang juara. Selama itu juga Ali telah memburu Frazier tanpa ampun dengan muncul di gym Philadelphia, menantangnya untuk bertarung, serta mengejeknya di TV dan radio.
Juri memberikan keputusan kepada Frazier, memberikan Ali kekalahan profesional pertamanya setelah 31 kemenangan. Setelah menerima kekalahan dari Frazier, Ali bangkit dan memenangkan sepuluh laga berturut-turut. Kemudian, pada tanggal 31 Maret 1973, seorang petarung yang kurang dikenal bernama Ken Norton mematahkan rahang Ali di ronde kedua dan berhasil mencuri kemenangan. Ali mengalahkan Norton dalam pertandingan ulang.
Pada 28 Januari, tiga tahun setelah kalah dalam “Fight of the Century,” Muhammad Ali membalas kekalahannya dari Joe Frazier. Namun, Frazier saat itu bukan lagi seorang juara kelas berat dan Ali sangat ingin mendapatkan kembali mahkota kelas berat. Untuk melakukan itu, dia harus mengalahkan juara kelas berat, George Foreman.
30 Oktober 1974 merupakan pertandingan Ali vs Foreman yang bertajuk “Rumble in the Jungle” di Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo). George Foreman merupakan petinju yang merebut titel juara kelas berat dari Frazier. Ali mengalahkan Foreman di ronde kedelapan untuk mendapatkan kembali gelar kelas berat. Dalam pertandingan inilah Ali menggunakan strategi “rope-a-dope.”
25 Februari 1975, Ali menerima kabar bahwa Elijah Muhammad telah meninggal. Dia kembali ke Chicago. Ali masih secara resmi diskors dari Nation of Islam, tetapi terus mengunjungi Elijah Muhammad secara teratur dan memujinya di depan umum. Selama 18 bulan berikutnya, putra Elia, Wallace, mengarahkan organisasi tersebut ke arah interpretasi Islam yang lebih umum.
Ali berhasil mempertahankan gelarnya dalam sepuluh laga berikutnya, termasuk triloginya dengan Joe Frazier yang bernama “Thrilla in Manila” pada 1 Oktober 1975. Ali menang di ronde ke-14 setelah Frazier dengan mata terpejam tidak dapat menjawab bel untuk ronde final. Namun, seusai pertandingan, terlihat bahwa Ali berbicara secara berbeda dan ada sesuatu yang tidak beres.
15 Februari 1978, Leon Spinks, petinju dengan hanya tujuh kemenangan profesional, mengalahkan Ali dan menjadi juara dunia kelas berat. Pada tanggal 15 September 1978, Muhammad Ali menghadapi Spinks lagi dan memenangkan kejuaraan kelas berat untuk ketiga kalinya, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun dalam sejarah tinju sebelumnya.
Pada bulan Juni 1979, Ali secara resmi pensiun, diam-diam melepaskan gelarnya dalam sebuah surat kepada WBA. Dia melakukan tur perpisahan, mendukung sejumlah produk, berakting dalam film dan di televisi, dan bertarung dalam pertandingan pameran yang tampaknya tidak berbahaya di seluruh dunia. Tapi dia semakin bosan.
2 Oktober 1980, Ali setuju untuk kembali ke atas ring untuk melawan juara kelas berat saat itu, Larry Holmes, di Las Vegas. Ali pun kalah dari Holmes. Dahulu, Larry sangat mengidolakan Ali hingga diundang ke kamp pelatihan Ali pada musim semi 1972.
11 Desember 1981, pada usia hampir empat puluh tahun, Ali menghadapi Trevor Berbick yang berusia dua puluh tujuh tahun di Nassau, di Bahama. Meskipun Ali bertahan sepanjang sepuluh ronde, dia kalah dengan keputusan bulat. Itu adalah pertandingan terakhirnya.
Kehidupan Pribadi
Pada November 1982, Ali kembali ke gym untuk berlatih selama tiga minggu untuk tur laga amal di Arab Saudi, India dan Pakistan. Keuntungannya akan digunakan untuk pembangunan masjid baru di Chicago. “My life is just starting at 40,” katanya. Ali melakukannya untuk agamanya.
“Service To Others Is The Rent You Pay For Your Room Here On Earth.”
Muhammad Ali
Setelah pensiun dari tinju, kondisi Ali kian memburuk. Perubahan fisik dialaminya, seperti kegemukan dan mudah lelah, berjalan pun mulai agak sulit baginya. Keterampilan motorik Ali perlahan menurun dan cara ia berbicara melambat. Pada September 1984, Ali memeriksakan dirinya ke Pusat Medis Columbia-Presbyterian New York. Setelah menjalani pemeriksaan selama berhari-hari, dokter mengatakan dia menderita Sindrom Parkinson, suatu kondisi neurologis degeneratif.
Kerusakan pada otaknya mungkin disebabkan oleh banyaknya pukulan yang ia terima di bagian kepala. Namun, kondisinya berbeda dari ensefalopati kronis, atau demensia pugilistica (yang biasa disebut sebagai “mabuk pukulan” pada petarung), karena ia tidak menderita defisit intelektual yang disebabkan oleh cedera. Perkembangan Parkinson dan timbulnya stenosis tulang belakang tidak menghalangi Muhammad Ali untuk tetap aktif dalam kehidupan publik.
Pada tahun 1989, dia lebih banyak bepergian daripada di rumah. Ia mengunjungi Inggris, Senegal, Swiss, dan Arab Saudi, termasuk ziarah ke Makkah selama bulan suci Ramadhan. Ali telah mengunjungi Makkah pada tahun 1972, tetapi sekarang mengakui bahwa pengetahuan agamanya belum sempurna. “I fit my religion to do whatever I wanted. I did things that were wrong, and chased women all the time … Everything I do now, I do to please Allah.”
Diketahui, Ali menikah empat kali dan memiliki sembilan anak, termasuk dua anak yang diasuh di luar pernikahan. Pada tahun 1964, Ali menikah dengan istri pertamanya, yakni Sonji Roi. Mereka bercerai setelah menjalin hubungan selama satu tahun karena Sonji menolak untuk mengadopsi pakaian dan adat istiadat Nation of Islam.
Pada tahun 1967, Ali menikah dengan istri keduanya Belinda Boyd yang berusia 17 tahun. Pernikahan ini memiliki empat anak, yaitu Maryum (1969), Jamillah dan Liban (1970), dan Muhammad Ali Jr. (1972). Boyd dan Ali bercerai pada tahun 1976.
Dalam masa pernikahan Ali dengan Boyd, Ali bepergian secara terbuka dengan Veronica Porche. Kemudian, Veronica menjadi istri ketiganya pada tahun 1977. Pasangan itu memiliki dua putri, termasuk Laila Ali yang mengikuti jejak Ali sebagai petinju profesional dan tidak terkalahkan dalam 24 pertandingan antara 1999 dan 2007 sambil merebut sejumlah gelar di berbagai kelas. Porche dan Ali pun bercerai pada tahun 1986.
Ali menikahi istri keempat dan terakhirnya Yolanda “Lonnie” Williams pada tahun 1986. Pasangan itu sudah saling kenal sejak Lonnie baru berusia 6 tahun dan Ali berusia 21 tahun. Pernikahan Ali dan Lonnie tetap bertahan sampai kematiannya, serta mengadopsi seorang putra bernama Asaad.
Momen Pembuka Olimpiade Atlanta 1996
Musim panas 1996, Komite Olimpiade untuk Olimpiade Musim Panas Atlanta meminta Muhammad Ali untuk menyalakan obor pada Upacara Pembukaan. Awalnya, Ali menolak karena ia tidak ingin terlihat gemetar dan tersandung di panggung itu. Namun, temannya Howard Bingham meyakinkannya. “This is the thing where the world is saying, ‘Thank you for all that you’ve done over your life,’” ujar Bingham kepadanya.
Akan ada jutaan pasang mata yang menyaksikan momen pembukaan olimpiade, tetapi Parkinson merampas kepercayaan diri Ali untuk tampil di depan publik. Setelah momen tersebut, Muhammad Ali mengetahui bahwa publik tetap mencintai dan menerima apa pun yang ia miliki.
Masa-Masa Setelah Pensiun
Muhammad Ali menerima banyak sekali penghargaan. Melansir laman Ali Center, Ali mendapat penghargaan dari Amnesty International dengan “Lifetime Achievement Award” dan dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan “United Nations Messenger of Peace.”
Dalam laman Ali Center juga, dikatakan bahwa Muhammad Ali dinobatkan sebagai “International Ambassador of Jubilee 2000,” oleh sebuah organisasi global yang berdedikasi untuk mengurangi utang di negara-negara berkembang. Mantan Presiden AS ke-39, Jimmy Carter, menyebut Muhammad Ali sebagai “Mr. International Friendship.”
Ring Magazine memberikan status “Fighter of the Year” lima kali kepada Muhammad Ali, lebih banyak dari petinju lainnya. Ali juga dilantik ke dalam International Boxing Hall of Fame pada tahun 1990. Lalu, di tahun yang sama, Ali bertemu dengan pemimpin Irak, Saddam Hussein (1937-2006), untuk merundingkan pembebasan sandera asal Amerika.
Pada tahun 1999, saat abad ke-20 berakhir, berbagai media seperti Newsweek, Time, dan Sports Illustrated menamainya dengan julukan “Athlete of the Century”.
Pada September 2001, beberapa hari setelah serangan teroris 11 September 2001, Muslim Amerika menjadi korban kejahatan kebencian hanya karena keyakinan mereka. Ali pun memberikan tanggapan tentang hal ini. “I am a Muslim. I am an American,” jawab Ali. “If the culprits are Muslim, they have twisted the teachings of Islam. Whoever performed the terrorist attacks does not represent Islam. God is not behind assassins.”
Beberapa tahun kemudian, 9 November 2005, Presiden George W. Bush menganugerahi Muhammad Ali dengan penghargaan sipil tertinggi di Amerika Serikat, yakni Presidential Medal of Freedom. Pada tahun yang sama, sebuah museum nirlaba dan pusat budaya bernama Muhammad Ali Center didedikasikan untuk kehidupan dan warisannya dibuka di Louisville.
Pada 2 Juni 2016, Muhammad Ali masuk ke rumah sakit Scottsdale, Arizona dengan infeksi saluran pernapasan. Anak-anak dan cucu-cucu Ali dari seluruh negeri berkumpul di samping tempat tidurnya. Keesokan harinya, pukul 20:30 tanggal 3 Juni, dokter memutuskan sambungan dari ventilator yang membantunya bernapas. Napasnya perlahan melambat dan tidak lama kemudian Muhammad Ali wafat pada usia 74 tahun.
Memang, beberapa tahun sebelumnya atlet tersebut sakit-sakitan dan berjuang melawan bermacam penyakit, seperti pneumonia dan infeksi saluran kemih. Ali juga pernah dioperasi untuk stenosis tulang belakang, suatu kondisi yang menyebabkan penyempitan tulang belakang yang membatasi mobilitas dan kemampuannya untuk berkomunikasi.
Saat proses pemakaman Muhammad Ali, Will Smith serta dua orang mantan juara kelas berat Mike Tyson dan Lennox Lewis turut mengangkat peti jenazahnya. Ali dimakamkan di Pemakaman Nasional Cave Hill di Louisville.
“He who is not courageous enough to take risks will accomplish nothing in life.”
Muhammad Ali
Sosok Muhammad Ali sebagai legenda terus berkembang setelah kematiannya. Ali diingat tidak hanya karena keterampilannya dalam olahraga yang luar biasa, tetapi juga karena pendirian, pikiran, dan keberaniannya untuk menentang status quo.
Nah, sekian informasi yang bisa gue sharing sama Sobat Zen. Semoga setelah membaca ini, Sobat Zen dapat mengenal lebih dalam sosok Muhammad Ali dan mengambil teladannya. Update terus blog Zenius untuk mengetahui biografi dari tokoh-tokoh lainnya, ya, guys. Jangan lupa juga untuk terus ikuti keseruan lainnya dari Zenius di YouTube! Sampai jumpa!
Baca Artikel Lainnya
Leave a Comment