cluster sampling Gimana sih Cara Kerja Quick Count itu?

Gimana sih Cara Kerja Quick Count itu?

Apakah quick count bisa dipercaya? Cara kerja Quick Count dibahas beserta penjelasan bagaimana Quick Count bisa mendapatkan hasil dengan cepat dan akurat.

Buat yang ngikutin berita-berita seputar pemilu presiden 9 Juli kemarin, pasti pernah denger dong yah apa itu Quick Count? Ketika semua TPS ditutup, ramai-ramai lah stasiun televisi dan media lainnya mengumumkan hasil Quick Count masing-masing lembaga survei. Biasanya sih, hasil Quick Count itu sudah bisa memprediksi Real Count dengan sangat akurat. Cuma di pemilu kita kali ini emang agak unik, dari 12 lembaga survei yang melakukan Quick Count, 8 bilang Jokowi-JK yang menang, sementara 4 bilang Prabowo-Hatta yang menang. Jadi, ujung-ujungnya kita emang masih harus menunggu hasil Real Count resmi dari KPU nanti tanggal 22 Juli untuk memastikan siapa pemenangnya.

Tapi lo penasaran nggak sih Quick Count itu sebenernya cara menghitungnya gimana? Kok bisa mereka dengan sangat cepat menghitung hasil pemilu? Padahal kan ada total ada 478.685 TPS di seluruh Indonesia. Terus, sampai sejauh mana sih Quick Count ini bisa mewakili perhitungan dari Real Count? Sebenarnya Quick Count ini cara kerjanya gimana sih?

MEMAHAMI KONSEP SAMPLING

Pertama, lo harus tau dulu yang namanya konsep sampling di Statistik (<< video penjelasan dari zenius.net). Jadi gini, untuk mengetahui karakteristik dari suatu populasi, lo nggak harus ambil semua datanya, tapi cukup ambil beberapa sampel aja. Untuk mengetahui kira-kira berapa rata-rata berat badan temen-temen lo di satu sekolah misalnya, lo nggak perlu timbang semuanya, tapi ambil beberapa sampel aja. Sama dengan perhitungan pemilu juga, untuk mengetahui hasil dari 478.685 TPS (populasi), lo cukup mengambil sampelbeberapa ribu TPS aja (sampel).

Jadi ketika lembaga survei menghitung Quick Count, tentunya dia nggak perlu mengambil data dari seluruh TPS, tapi dia cuma ambil sampel, misalnya 3.000-5.000 TPS aja.

Loh, kok nggak semuanya dihitung? Kalau kebetulan sampel yang diambil itu beda banget sama populasinya gimana?

Nah, kalau metode samplingnya nggak bener, emang mungkin banget sampel yang di ambil itu beda sama populasinya. Tapi, kalau lembaga survey tersebut melakukan pengambilan samplingnya bisa bener-bener mewakili populasi, harusnya sih data perhitungannya akurat. Artinya, cukup mewakili data populasi yang sebenarnya, dengan margin error yang sangat kecil. Contoh sampling yang nggak bener nih, misalnya lo mau survei berat badan seluruh temen-temen lo di satu sekolah, tapi sampel yang lo ambil semuanya cowok. Udah bisa dipastiin hasil surveinya ngaco karena rata-rata cowok itu lebih berat dibandingkan cewek. Biar nggak bingung, lihat Meme Cak Lontong ini aja deh:

CAK LONTONG

Nah, kebayang kan sekarang kalau sampling (pengambilan sampel) itu memang harus dilakuin dengan hati-hati. Kalau enggak, ya jadinya kayak Cak Lontong itu 🙂 . Terus gimana dong cara mengambil sampel yang bener?

 

 

 

Apa aja metode sampling yang digunakan?

Untuk menghasilkan Quick Count yang bener, lembaga survei harus bisa menentukan jumlah sampel yang pas. Kalau terlalu sedikit, rentang errornya bisa tinggi. Tapi, kalau terlalu banyak juga nanti biayanya terlalu mahal. Btw, kenapa kalau sedikit, rentang errornya tinggi, coba? Ini mirip sama konsep Frekuensi Harapan (<<video penjelasan dari zenius.net) atau expected values. Kalau lo melempar koin 3 kali, bisa jadi tiga-tiganya angka. Tapi kalau lo lempar 100 kali, hampir nggak mungkin seratus-seratusnya angka. Semakin banyak lo melempar, semakin deket hasil statistiknya mendekati nilai peluang yang sesungguhnya. Sampling juga gitu. Kalau lo ambil sampel yang banyak, maka dia akan cenderung semakin dekat dengan data seluruh populasi.

Okay, jumlah sampel itu penting. Tapi, apakah cuma itu aja? Ya enggak juga. Selain jumlah sampel, cara mengambil sampel juga penting. Seperti contoh sampel berat badan di sekolah tadi. Meskipun sampelnya banyak, tapi kalau semua sampelnya itu adalah cowok semua, ya pasti nggak valid. Kalau gitu harus gimana dong? Nah, ada beberapa metode nih. Nggak semua metode gue tulis di sini. Tapi, kira-kira beberapa metode di sini bisa bikin lo ngebayangin lah konsep sampling yang bagus itu gimana.

Metode 1 : Random sampling

Ini adalah cara pengambilan sampel yang random atau acak. Misalnya lo pengen tau rata-rata berat badan temen sekelas. Kalau satu kelas ada 40, lo bisa nomorin seluruh anak di kelas tersebut dari nomor 1 sampai nomor 40. Tinggal lihat daftar absen aja. Terus untuk memilih secara acak, gimana caranya? Bisa pakai teknologi. Misalnya, pakai Microsoft Excel, terus ketik ini:

“=RAND()”

Perintah itu akan menghasilkan random numbers dari nol sampai satu. Kalau lo mau bikin random numbers dari 1-40, tinggal kaliin aja hasil random itu dengan 40, terus bulatkan ke atas pakai fungsi “=roundup()“. Jadi kalau digabung, bikin aja gini:

“=ROUNDUP(40*RAND())”

Itu akan bangkitin random numbers dari 1-40. Kalau hasil perhitungan lo itu mengeluarkan angka 37, berarti siswa nomor 37 di daftar absen jadi sampel lo. Terus hitung lagi. Misal, keluar angka 24, berarti siswa nomor 24 jadi sampel lo lagi. Dan seterusnya.

Pakai microsoft excel ini cuma buat contoh aja ya. Kalau lo mau pakai yang lain juga boleh. Misal, pakai kartu dan kartunya itu lo nomorin dulu dari 1 sampai 40. Bisa macem-macem caranya. Yang pasti, konsepnya harus sama, yaitu setiap anggota populasi punya probabilitas yang sama untuk menjadi sampel. Nggak boleh ada satu anggota pun yang punya probabilitas terpilih lebih besar dibanding yang lainnya.

Metode 2 : Systematic sampling

Selain random sampling, ada lagi yang namanya systematic sampling. Misalnya, setelah seluruh data lo kasih nomor, lo tentuin deh kira-kira mau ambil berapa sampel. Untuk contoh di bawah ini, setiap kelipatan data ke-3, diambil jadi sampel:

cluster sampling

Katanya sih, systematic sampling ini lebih sering digunakan dibanding random sampling. Hasilnya seakurat random sampling, tapi ngerjainnya lebih sederhana karena nggak perlu ngebangkitin random numbers segala. Tapi kalau untuk Quick Count, biasanya lembaga survei lebih memilih random sampling dibanding systematic sampling.

Metode 3 : Cluster sampling

Nah, cara sampling berikut ini adalah ngebagi populasi itu berdasarkan cluster-cluster. Misal, lo bagi 40 siswa di kelas berdasarkan tempat duduknya. Yang duduk di depan itu cluster nomor 1, berikutnya cluster nomor 2, dan seterusnya. Terus, lo tentuin secara random untuk ambil satu cluster aja. Kalau ternyata angka randomnya yang keluar itu 4 misalnya, berarti seluruh anggota di cluster nomor 4 itu menjadi sampel lu.

cluster sampling

Metode 4 : Stratified sampling

Nah, ini dia nih yang sering dipakai sama lembaga survei untuk Quick Count. Jadi gini konsepnya. Sebelum ambil sampelnya, lo bagi dulu menjadi strata-strata. Contoh yang paling sederhana nih kalau lo mau ambil sampel berat badan di sekolah, lo bagi aja menjadi dua strata:

(1)    Cewek

(2)    Cowok

Misalkan jumlah populasi cewek sama dengan jumlah populasi cowok. Berarti jumlah sampel yang lo ambil untuk yang cewek dan jumlah sampel yang lo ambil untuk yang cowok, harus sama. Jadi dari stratified sampling ini, lo akan mendapatkan dulu berapa rata-rata berat badan setiap strata dulu, baru abis itu digabungin.

Stratified sampling ini akan lebih berasa gunanya kalau setiap strata yang lo ambil punya jumlah anggota yang beda-beda. Misal, lo lagi pengen neliti sesuatu di kelas, terus lo ambil data gini:

(1)    Cowok yang ikut bimbel, 140 orang.

(2)    Cowok yang nggak ikut bimbel, 60 orang.

(3)    Cewek yang ikut bimbel, 120 orang.

(4)    Cewek yang nggak ikut bimbel, 80 orang.

Berarti gimana ngambil sampelnya? Total populasi ada 400. Terus misalnya lo mau ambil sampel sebanyak 10% dari populasi, yaitu 20 orang. Berarti masing-masing strata, lo ambil 10% dari populasi strata tersebut. Misal, untuk cowok yang ikut bimbel, berarti 10% x 140 orang = 14 orang. Selengkapnya:

(1)    Cowok yang ikut bimbel, 14 orang jadi sampel.

(2)    Cowok yang nggak ikut bimbel, 6 orang jadi sampel.

(3)    Cewek yang ikut bimbel, 12 orang jadi sampel.

(4)    Cewek yang nggak ikut bimbel, 8 orang jadi sampel.

***

Nah, sekarang balik lagi ke Quick Count. Emang gimana sih cara mereka mengambil sampelnya? Dari yang gue baca-baca di berita sih, mereka paling sering menggunakan Stratified Random Sampling atau Multistage Random Sampling. Multistage itu sebenernya mirip kayak cluster sampling, cuma lebih kompleks aja. Kalau di cluster sampling di contoh di atas, kan cuma satu cluster yang diambil, terus selesai. Nah, di multistage ini, si peneliti memilih secara acak masing-masing elemen dari setiap cluster.

Jadi stage pertama, bikin clusternya. Abis itu, baru tentuin elemen apa yang harus diambil dari cluster tersebut itu. Kadang-kadang, cluster ini dibagi-bagi lagi menjadi beberapa level. Pada Quick Count nih misalnya, level satu itu cluster per provinsi. Level berikutnya cluster per kabupaten. Level berikutnya lagi tingkat RW.

Btw, orang-orang kadang suka bingung bedanya stratified sama cluster karena kalau kita ambil strata berdasarkan provinsi, itu juga bisa. Yang penting, nanti sampel yang lo ambil harus disesuaikan dengan populasi masing-masing provinsi. Cuma pada stratified sampling, sampel yang random itu diambil dari seluruh strata. Sementara pada cluster sampling, cuma beberapa cluster aja yang dijadiin sampel.

So… kira-kira gitu lah cara kerja para lembaga survei. Dengan konsep ini, mereka bisa ngambil 3000 TPS aja dari 478.685 TPS yang ada. Karena 3000 TPS itu sudah lumayan mewakili seluruh populasi yang ada, dengan margin of error yang relatif kecil (sekitar 1%). Jadi, secara matematis sebenernya nggak terlalu susah. Cuma memang biayanya besar. Bayangin aja, kalau setiap satu TPS butuh biaya Rp400.000,- aja untuk pencatatan dan lain-lainnya, berarti 3000 x Rp400.000,- = Rp1.200.000.000,-. Butuh uang 1,2M sekali Quick Count! Jadi modalnya emang harus gede 🙂

Oke, jadi sejauh mana kita bisa percaya metode Quick Count ini?

Metode Quick Count adalah metode yang terukur dan juga teruji secara ilmiah. Dengan asumsi pengambilan sample yang tepat, metode quick count bisa dipertanggung-jawabkan akurasinya dengan margin error yang kecil. Kalo kita mau lihat sejarah perhitungan quick count dari pemilu-pemilu yang udah pernah kita jalani sebelumnya, kita bisa melihat bahwa lembaga-lembaga survey yang sudah berpengalaman telah merepresentasikan perbandingan data yang sangat konsisten dan juga cukup akurat dari waktu ke waktu.

 

BsS7E2TCYAAXCI6

So, di sini gua cuma mau bilang gimana sih cara kerja metode quick count itu? Apakah secara garis besar kita layak untuk mempercayai sistem seperti ini? Kalau ditinjau dari sudut pandang ilmiah, jawabannya: IYA kita bisa cukup mempercayai metode ini. Terlepas dari itu, jika ditinjau dari sudut pandang kepentingan politis memang ada kecenderungan metode ini tidak miliki tingkat reliability dan validity yang bisa kita percaya 100%.  So, kita tunggu saja hasil perhitungan pemilu tanggal 22 Juli nanti, moga-moga tidak terjadi kecurangan sehingga bisa betul-betul merepresentasikan keinginan rakyat Indonesia. 🙂

=========CATATAN EDITOR=========

Buat yang mau ngobrol sama Wisnu tentang metode quick count, bisa langsung tinggalin comment di bawah artikel ini. Gua harap dalam berdiskusi di artikel ini, kita melakukan diskusi dari sudut pandang ilmiah aja dan gak sampai debat kusir terkait aspirasi politik lo dalam pesta demokrasi ini.

 

Belajar matematika di video materi Zenius
Bagikan Artikel Ini!