mata pelajaran sejarah dari Zenius Education

Peran Wajib Militer dalam Sejarah Perang Modern

Seberapa efektifkah program wajib militer bagi pertahanan negara? Sejarah peranan wajib militer dalam berbagai perang modern dibahas dalam artikel ini.

Sebagaimana telah sempat dibahas di artikel Zenius Blog sebelumnya, Menkopolhukam mengusulkan sebuah program Bela Negara yang rencananya melibatkan target 100 juta masyarakat dalam waktu 10 tahun. Program raksasa ini pun memancing berbagai perdebatan dan kontroversi, ada yang mendukung, ada pula yang menentang. Salah satu isu yang paling hot terkait program ini adalah kekhawatiran sebagian masyarakat yang mencurigai kegiatan program ini akan menyerupai seperti program “Wajib Militer”.

Perdebatan pro-kontra terkait program ini akhirnya cukup memanas di berbagai media hingga membuat Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, Bapak Luhut Binsar Panjaitan menegaskan bahwa tidak ada bentuk pelatihan fisik ala militer dalam program ini. Tidak lama kemudian, pemerintah menyatakan bahwa program ini sepenuhnya bersifat sukarela, tidak ada hukuman bagi yang tidak mengikutinya.

Nah, buat lo yang mungkin mau tau lebih detail segala macem informasi terkait program ini, atau lo yang mau berpendapat serta berdiskusi dengan pembaca zenius blog yang lain, gua sangat menyarankan lo untuk baca artikel zenius sebelumnya : Diskusi tentang program Bela Negara!

Okay, terlepas dari segala macam kontroversi yang isu-isu yang mengait-ngaitkan program bela negara ini dengan wajib militer… di artikel ini, gua bukan mau ngebahas tentang konteks perdebatan program bela negara yang sedang dijalankan oleh pemerintah, karena topik itu sudah dibahas pada artikel Zenius sebelumnya. Nah, khusus pada artikel ini, gua justru mau mengajak lo semua untuk membedah kisah-kisah seru dari berbagai sejarah peperangan serta peran program wajib militer dalam menentukan pemenangnya!

Sejak kapan sih program wajib militer ini diimplementasikan? Apakah program seperti ini terbukti efektif dalam konfrontasi militer? Apakah negara yang memberlakukan program ini mampu mendominasi negara-negara lain di bidang pertahanan. Mendiskusikan hal seperti ini sampai berbusa-busa juga hanya akan menjadi debat kusir berkepanjangan kalo kita nggak memiliki pengetahuan akan sejarah yang mendalam. Jadi, yuk kita sama-sama bahas gimana penerapan wajib militer dalam sejarah perang!

Peran Wajib Militer dalam Sejarah Perang Modern 9

Wamil di Zaman Pra-Modern

Wajib militer sudah dipraktekkan sejak awal peradaban: di Mesir kuno, Cina kuno, Babilonia, Romawi, dll. Penguasa mewajibkan rakyatnya memanggul senjata itu adalah HAL YANG WAJAR dan biasa-biasa saja di zaman dulu. Tapi lo juga harus paham bahwa, wamil di zaman dahulu kala itu jauh sekali dari wamil di zaman modern. Di zaman kuno, pada umumnya wamil itu lebih tepat disebut “wajib berperang untuk penguasanya, bukan untuk bangsa atau negaranya”. Kenapa bisa begitu? Karena konsep kenegaraan, kebangsaan, nasionalitas, kecintaan terhadap sebuah sistem politik itu relatif belum berlaku secara kolektif pada setiap lapisan masyarakat. Nah, oleh karena itu gua membatasi pembahasan wamil dalam artikel ini hanya dalam konteks wamil modern, khususnya dimulai dari Sejarah Eropa di akhir abad 18.

Penerapan wamil di era modern bisa dibilang bermulai di Eropa pada abad 18, pada saat itu definisi wamil tidak lagi menjadi sebuah bentuk ‘pemaksaan’ melainkan justru menjadi bentuk gerakan ‘sukarela’ dari orang-orang Eropa sebagai bentuk pengabdian pada Kerajaannya. Inilah faktor pembeda yang paling mendefinisikan wamil zaman kuno dengan zaman modern, dimana rakyat sudah memiliki kesadaran untuk membela tanah airnya hingga siap mengorbankan nyawa demi kehidupan yang lebih baik bagi negara dan anak-cucu mereka. Namun di sisi lain, Raja-raja di Eropa justru berpendapat bahwa rakyat sipil itu tidak perlu sampai beramai-ramai mengangkat senjata demi negara. Lebih baik, rakyat sipil berperan sebagai penggerak roda ekonomi saja, menggarap sumber daya alam, berdagang, dan lain-lain untuk kemudian memberi pajak kepada negara. Sementara itu, urusan pertahanan negara bisa disiasati dengan menyewa tentara bayaran asing dari negara lain.

Salah satu contoh penerapan kebijakan ini dilakukan oleh Prussia di tahun 1700an, dimana 2/3 tentaranya merupakan tentara bayaran asing, sementara 1/3 adalah warga asli Prussia. Okay, sekilas memang kebijakan ini kesannya cukup cerdik ya, “Biarkan peperangan ditangani orang asing! Sementara rakyat bisa dengan tenang memutar roda perekonomian lalu kemudian membayar pajak”. Eit, tapi tunggu dulu! Implementasi kebijakan seperti ini tidak bisa dipandang dalam teori sederhana saja, tapi juga harus melibatkan fakta di lapangan jika peperangan dilakukan oleh orang asing (baca: orang yang tidak memiliki rasa kecintaan terhadap negara).

PS. Prussia adalah nama kuno Jerman, sebelum negara Jerman modern lahir di tahun 1871.

Pada kenyataannya, “Menyewa tentara bayaran asing” pada abad 18 itu tidak bisa diartikan dengan “Menyewa tentara professional”. Kenapa? Karena tentara bayaran yang akhirnya disewa tidak jarang kebanyakan isinya adalah para tawanan perang, residivis, berandalan, pelaku kriminal, hingga psikopat, baik dari dalam negeri maupun dari pihak asing. Bisa dibayangkan betapa kacaunya peperangan karena kebanyakan tentara bayaran ini bukanlah mereka yang bisa tetap disiplin dalam situasi lapangan. Hasilnya? Kebijakan menyewa tentara asing ini justru membuat negara Prussia kewalahan dari sisi pertahanan mereka, banyak para tentara yang kocar-kacir kabur dalam situasi genting, para atasan harus selalu waspada karena mereka tidak bisa 100% percaya pada bawahannya sendiri, dan masih banyak bentuk inefisiensi lain dalam kebijakan menyewa tentara asing seperti ini.

Akhirnya, kebijakan perekrutan tentara bayaran asing dalam membentuk sistem pertahanan ini mulai dipertanyakan. Puncaknya adalah ketika revolusi Perancis pecah pada akhir abad 18.

Wamil Modern Pertama: Revolusi Perancis dan Perang Napoleon (1789 — 1813)

Pada akhir abad 18, terjadi sebuah peristiwa bersejarah yang sangat besar di Eropa ketika rakyat Perancis mengambil langkah revolusi dengan menggulingkan pemerintahan Kerajaan yang dipimpin oleh Raja Louis XVI untuk kemudian menjadi moment peralihan bagi Perancis dari sistem politik Monarki menjadi Republik. Revolusi Perancis ini melibatkan begitu banyak lapisan masyarakat yang secara masif turun ke jalan-jalan, membawa berbagai macam senjata seperti cangkul, golok, tombak, tongkat, dsb. Sampai pada salah satu momentum krusialnya adalah penyerangan penjara Bastille yang menjadi simbol kekuasaan Kerajaan Perancis, melakukan eksekusi publik para bangsawan yang dianggap menyengsarakan rakyat, dan lain-lain.

penyerangan penjara bastille
Illustrasi Penyerangan Penjara Bastille pada 14 July 1789 sebagai simbol kehancuran otoritas kaum bangsawan

Kerajaan Perancis runtuh menjadi Republik Perancis dengan cara yang sangat dramatis sekaligus mengerikan pada 22 September 1792. Melihat bentuk revolusi seperti itu, raja-raja dan kaum bangsawan lain di Eropa dan pesisir Mediteranian kaget, ngeri, sekaligus takut kejadian serupa terjadi di kerajaannya. Puncak kekahwatiran ini pecah ketika Kerajaan Prussia, Austria, Belanda, Inggris, Spanyol, Ottoman, dll. beramai-ramai mengirim tentaranya untuk  menjatuhkan Republik Perancis, sebuah entitas politik yang baru saja lahir dari revolusi rakyat. Akhirnya, pengeroyokan Republik Perancis ini dalam sejarah dikenal dengan nama “Perang Revolusi Perancis” (1792 – 1802).

Dikeroyok begitu banyak kerajaan, Perancis mau tak mau harus menambah jumlah tentaranya. Masalahnya, jumlah tentara yang mendaftar TERLALU SEDIKIT. Maka, pemerintah Republik membuat terobosan dengan mencanangkan program wajib militer nasional. Semua warga pria Perancis yang sudah dewasa WAJIB mendapatkan pelatihan militer, dan harus siap dipanggil ke medan perang! Rakyat Perancis yang baru saja berhasil melakukan revolusi dan membentuk Republik ini terbakar semangat kebersatuan yang sangat tinggi untuk mempertahankan entitas politik yang baru mereka capai. Hingga akhirnya, tahun 1793, sebanyak 300 ribu rakyat Perancis tercatat sebagai tentara berkat program wamil ini.

Perang revolusi perancis meletus. Tapi perang ini agak berbeda dengan perang-perang sebelumnya di wilayah Eropa dan mediteranian. Republik Perancis dibela oleh rakyatnya untuk sebuah kepentingan dan tujuan yang jelas, yaitu mempertahankan bangsa dan negara hasil dari revolusi yang telah mereka raih jerih payah dari rezim monarki yang sewenang-wenang. Sementara musuh-musuhnya terdiri dari para tentara bayaran yang disuruh oleh para raja-raja mereka karena bentuk alasan kepentingan politis elit, sementara motivasi personal para tentara bayaran asing ini kebanyakan hanyalah uang, nafsu liar untuk berperang, merampok, dan membunuh.

1200px-Valmy_Battle_painting
Illustrasi Pertempuran Republik Perancis dengan Prussia di Valmy

Hasilnya gimana? Perancis di bawah Napoleon Bonaparte berhasil menghimpun tentara hasil didikan wamil menjadi Grandee Armee-nya yang sangat terkenal karena berhasil menaklukan hampir seluruh Eropa dalam perang Napoleon (1803 – 1815). Negara-negara Eropa yang lainnya kaget karena tentara bayaran mereka kalah pada pertempuran terkenal seperti Ulm, Austerlitz, Jena-Auerstädt, dll. Di sisi lain, para psikolog perang berpendapat bahwa kejayaan Perancis di bawah Napoleon ini banyak dipengaruhi oleh kondisi psikologis tentaranya yang memang bertempur demi negara dan bangsanya. Para jendral perang pun bisa mempercayai para bawahan dengan sepenuhnya, mereka bisa lebih leluasa untuk berperan dalam rencana-rencana krusial di lapangan, seperti mengintai lawan, terpisah dari pasukan induk, dan lain-lain.

Kejayaan Republik Perancis terus berkembang dalam menguasai Eropa hingga lawan-lawan Napoleon mengadopsi metode wajib militer ini: merekapun memulai program wajib militer di negara mereka masing-masing. Mereka mengobarkan semangat nasionalisme, semangat bertempur untuk bangsa dan negara mereka, dengan slogan:

“Mari kita angkat senjata demi melawan penjajah Perancis yang ingin menguasai Eropa!”

Dengan wamil, mereka bisa merekrut lebih banyak tentara dari Napoleon, tidak hanya tentara bayaran yang bisa siap kabur dan tidak disiplin, melainkan tentara-tentara yang siap berjuang demi tujuan bersama, yaitu melawan sang penjajah bernama Perancis.

Hingga akhirnya pertempuran besar tentara Napoleon dan lawan-lawannya di Leipzig tahun 1813 disebut ”Battle of Nations” atau “Pertempuran Bangsa-Bangsa”. Karena tidak seperti sebelumnya, kedua belah pihak yang bertempur adalah tentara yang berjuang demi bangsanya melalui wamil. Perancis akhirnya kalah dalam pertempuran ini, dan setahun kemudian, lawan-lawan Napoleon merebut Paris.

Dari sini, kita bisa melihat sisi yang menarik dari perspektif sejarah, bahwa ternyata program wajib militer inilah justru yang memungkinkan Republik Perancis mempertahankan negara hasil revolusi mereka dari keroyokan Kerajaan-kerajaan lain di Eropa, wajib militer jugalah yang berperan besar dalam setiap kemenangan Napoleon untuk menaklukkan Eropa. Ironisnya, wamil jugalah yang memungkinkan lawan-lawannya untuk menaklukan Napoleon.

Peran Wamil pada Perang Saudara Amerika (1861 — 1865)

Dari Eropa kita sekarang sisi bagian dunia yang lain, yaitu benua Amerika yang sedang diliputi teror perang saudara (civil war) antar pemerintah AS yang pada waktu itu dipimpin oleh Abraham Lincoln, atau biasa lebih mudah disebut dengan “Kubu Utara”. Melawan para pemberontak yang menamai dirinya Negara Bagian Konfederasi (States Confederate) yang dipimpin oleh Jefferson Davis, atau lebih mudah disebut dengan “Kubu Selatan”.

Apa sih yang diributin oleh pihak pemerintah dengan pihak pemberontak? Perang saudara ini pada intinya dipicu oleh rencana penghapusan sistem perbudakan oleh pihak pemerintah (Abraham Lincoln). Sementara itu, pihak kubu selatan merasa bahwa penghapusan sistem perbudakan itu konyol dan melanggar hak konstitusi mereka. Akhirnya kubu selatan membentuk aliansi di bawah nama Confederate States untuk melakukan pemberontakan di bawah kepemimpinan seorang politikus pro-perbudakan Jefferson Davis.

Colored Troops
Warga AS keturunan Afrika bertempur untuk pembebasan sistem perbudakan dalam Perang Saudara – Virginia, 1864

Penghimpunan tentara pemberontak oleh kubu selatan pun didasari atas alasan kepentingan sebagian tuan tanah yang tidak mau kehilangan para budak-budak keturunan Afrika dan Native American, termasuk Jefferson Davis itu sendiri yang memiliki ratusan budak di bisnis perkebunan kapas miliknya. Di sisi lain, pihak pemerintah dari kubu khawatir dengan jumlah pihak pemberontak yang semakin banyak hingga terpaksa memberlakukan program wajib militer pertama dalam sejarah Amerika Serikat. Para rakyat Amerika yang pro-pembebasan budak, beserta dengan para mantan budak dari berbagai macam suku dan ras, seperti Afro-American, Native-American, Asian-American, dan Pacific-Islanders (American Colored Troops) akhirnya bersatu bahu-membahu membela pemerintah Amerika di bawah cita-cita bersama yaitu:

“Ayo berjuang demi Amerika yang bebas (freedom)! Amerika yang bebas dari sistem perbudakan!”

Akhirnya, perang berakhir dengan kemenangan pihak pemerintah (kubu utara). Hasilnya, sejak saat itu sistem perbudakan di Amerika dihapuskan, teritorial desentralisasi diberlakukan, pembubaran konfederasi serikat, dan awal era rekonstruksi Amerika. Sekali lagi, sistem wamil ini berperan penting dalam penentuan kemenangan dan juga sejarah bagi peradaban dunia.

Peran Wamil pada Perang Franco-Prussia: Unifikasi Jerman (1870–1871)

1200px-French_soldiers_in_the_Franco-Prussian_War_1870-71
Dokumentasi foto tentara Perancis dalam Perang Franco-Prussia 1870

Setelah selesainya perang Napoleon, Perancis mengubah sistem wamilnya. Apanya yang berubah? Sebelumnya Perancis memberlakukan wamil universal, dimana seluruh warga negara pria dewasa wajib perlu membela negaranya. Setelah perang Napoleon, Perancis merasa bahwa sistem wamil universal itu terlalu memakan banyak biaya, hingga akhirnya mereka menerapkan wajib militer selektif. Wah, pada bedanya wamil universal dan wamil selektif? Bedanya adalah wamil selektif tidak mewajibkan seluruh lapisan masyarakat untuk membela negaranya dalam perang. Tapi hanya sebagian masyarakat saja, sementara kekosongan jumlah tentara bisa ditambal dengan tentara bayaran.

Sekilas dari perspektif strategi perang, mungkin ini bisa jadi taktik efisiensi yang cukup tepat. Tapi pada kenyataan sejarah, ternyata penerapan wamil selektif ini membawa dampak yang buruk dalam kondisi psikologis dan kualitas dari sistem pertahanan mereka. Dengan adanya celah bahwa tidak semua orang perlu ikut wamil, rasa kebersatuan dan nasionalisme menjadi terpecah-belah. Para bangsawan yang terdidik dan cerdas mencoba berbagai macam cara (uang) untuk menggantikan kewajiban militer anak-anak mereka.

Akhirnya apa yang terjadi? Kualitas sistem pertahanan Perancis menjadi payah karena diisi oleh kaum “selektif” yang tidak memiliki kapasitas intelektual. Skema ini akhirnya benar-benar menjadi masalah besar ketika di tahun 1870, Prussia bergerak untuk menyatukan negara-negara tetangganya. Perancis merasa penyatuan ini berbahaya, dan akhirnya kedua negarapun berperang dalam perang Franco-Prussia (1870 – 1871).

Ada banyak hal yang memang menjadi faktor penentu dalam sebuah perang, tapi jika dilihat dari satu sisi yang kita bahas di sini, yaitu penerapan wajib militer. Ternyata penerapan Wamil di Prussia masih menggunakan sistem yang serupa dengan Napoleon yang tidak membatasi sistem pertahanannya dari kaum intelektual dengan kelas tidak terdidik. Sementara itu Perancis telah menerapkan sistem wamil selektif. Hasilnya mungkin sudah bisa ditebak: Perancis mengalami kekalahan besar dengan Prussia dan sekutunya, Kaisar Perancis (Napoleon III) tertawan setelah tentaranya kalah total di pertempuran Sedan, hingga para sekutu berhasil merebut istana Versailles, istana termegah di Perancis dan memproklamirkan berdirinya negara Jerman modern.

Dari sini, mungkin kita bisa belajar dari hal yang cukup ironis dalam sejarah. Di satu sisi, adalah manusiawi jika kalangan terdidik dan para cendekiawan tidak mau mengorbankan nyawa dalam peperangan, tapi di sisi perspektif sejarah militer, ternyata sistem pertahanan yang diisi oleh kaum intelektual memang memiliki keunggulan yang signifikan dibandingkan tentara yang hanya diisi oleh kaum kurang terdidik. Hal ironis ini mengingatkan gua pada salah satu kata-kata dari seorang ahli sejarah Yunani kuno, Thucydides:

“Bangsa yang menarik garis batas antara petarungnya dengan pemikirnya, pertarungannya akan dilakukan oleh orang bodoh, dan pemikirannya akan dilakukan oleh pengecut.”– Thucydides

Wajib Militer Pasca Perang Dunia

Setelah perang dunia 2 berakhir tahun 1945, kebijakan program wajib militer masih sempat dipraktekan di beberapa negara Barat, termasuk Eropa dan Amerika. Di satu sisi, AS masih menggunakan sistem wamil (selektif) dalam perang Vietnam yang akhirnya kalah melawan Vietnam Utara yang memberlakukan wamil universal.

Sementara itu, ketegangan pasca perang dunia antarnegara masih terus dirasakan oleh negara-negara Eropa, terutama efek dari Perang Dingin antara Uni Soviet dengan AS. Namun, begitu perang dingin berakhir yang ditandai oleh runtuhnya Uni Soviet tahun 1991, negara-negara Eropa Barat mulai menonaktifkan kebijakan wajib militer di negaranya. Berikut adalah beberapa negara Barat yang sudah menghapus sistem wamil di zaman modern.

  • Amerika Serikat menghapus wamil tahun 1973
  • Perancis menghapus wamil tahun 1996
  • Belanda menghapus wamil tahun 1996
  • Spanyol menghapus wamil tahun 2001
  • Portugal menghapus wamil tahun 2004
  • Belgia menghapus wamil tahun 2008
  • Jerman menghapus wamil tahun 2011

Sampai saat ini (tahun 2015), dunia Barat yang masih menerapkan sistem wamil itu cuma Swiss, Austria, Norwegia, dan Finlandia.

Apa yang kita dapat pelajari dari sejarah wamil?

Kebijakan wajib militer memang memberikan kita sebuah perspektif yang cukup ironis. Di satu sisi, memang hampir semua orang yang waras menginginkan perdamaian di dunia ini, dan gua juga paham jika seseorang menghindari konfrontasi militer yang membahayakan nyawanya. Tapi di sisi lain, jika kita memandang dari perspektif sejarah militer, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa rupanya kebijakan sistem ini telah banyak memberikan kontribusi dalam peradaban dunia modern kita.

Wamil membuat sistem pertahanan sebuah negara menjadi lebih kuat dari segi kuantitas maupun kualitas, memiliki tentara yang banyak dan kapasitas intelektual yang baik.

Tapi di sisi lain, ada satu lagi catatan penting dalam penerapan wamil yaitu rasa kebersatuan akan suatu cita-cita bersama, sebagaimana rakyat Perancis ingin mempertahankan revolusi yang telah mereka capai, dan rakyat AS yang menginginkan perubahan dengan menghapus sistem perbudakan.

Nah, sekarang bagaimana peran wajib militer di masa depan? Terus terang, kita tidak bisa menebak, tapi minimal yang bisa kita lakukan adalah melihat sejarah. Kedamaian memang sebuah kondisi yang dicita-citakan hampir setiap manusia, tapi dalam sejarah peradaban, selalu ada saja pihak-pihak yang merusak perdamaian tersebut. Masalah terbesar dalam menciptakan perdamaian adalah: untuk berdamai, kedua pihak harus bekerja sama. Untuk berperang, cukup satu pihak saja menyatakan perang. Maka semua pihak yang ingin kedamaian, mau tidak mau harus siap mempertahankannya. 

Disclaimer: pada artikel ini, sebetulnya gua bukan ingin menyampaikan bahwa kita semua harus selalu siap untuk berperang dengan sistem wajib militer. Melainkan hanya sekedar sharing tentang kisah penerapan wajib militer dari perspektif sejarah perang. Semoga cerita gua di atas bisa menambah pengetahuan lo semua dalam melihat sejarah peradaban dunia.

Sumber :
Angelo Codevilla & Paul Seabury: War: Ends and Means 2nd Edition
Rupert Smith: The Utility of Force: The Art of War in the Modern World
http://nasional.sindonews.com/read/1052520/14/menko-polhukam-tegaskan-bela-negara-bukan-wajib-militer-1444650952
http://www.radartasikmalaya.com/berita/baca/1745/setengah-penduduk-wajib-bela-negara.html
http://www.voaindonesia.com/content/tni-ad-pastikan-bela-negara-bukan-wajib-militer/3013428.html
http://nasional.kompas.com/read/2015/10/19/10282791/Program.Bela.Negara.secara.Sukarela.Tak.Ada.Sanksi.bagi.yang.Tak.Ikut?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
http://ml.bethelks.edu/issue/vol-58-no-3/article/whoever-will-not-defend-his-homeland-should-leave/
http://www.globalsecurity.org/military/world/vietnam/rvn-af-draft.htm
https://en.wikipedia.org/wiki/Viet_Cong_and_PAVN_strategy,_organization_and_structure#NVA_recruitment_and_training
http://johntreed.com/blogs/john-t-reed-s-blog-about-military-matters/66448067-should-there-be-a-military-draft
http://www.nbcindonesia.com/2015/10/klaim-wilayah-natuna-cina-kerahkan.html
http://www.politico.com/story/2012/01/us-military-draft-ends-jan-27-1973-072085

—————————CATATAN EDITOR—————————

Kalo ada di antara kamu yang mau ngobrol atau diskusi sama Marcell tentang sejarah perang dan wajib militer, langsung aja tinggalin comment di bawah artikel ini.

Bagikan Artikel Ini!