Untuk memperingati Hari Dokter Nasional, artikel ini akan membahas seputar dokter di Indonesia dan sejak kapan muncul profesi dokter di Indonesia.
Apa yang terlintas dalam benak lo ketika mendengar/membaca kata “dokter”? Sosok berjas putih dan berkacamata yang menangani pasien? Orang pintar dengan biaya kuliah yang gak sedikit? Ah apapun pendapat lo, yang pasti profesi ini adalah pejuang kemanusiaan yang patut kita hargai. Sumbangsihnya bagi kemanusiaan sangat besar, termasuk di Indonesia.
Perjalanan untuk menjadi dokter juga bukan hal yang mudah. Lo harus melewati masa kuliah jenjang sarjana selama kurang lebih 4 tahun ーlulus dari sini, lo akan mendapat gelar Sarjana Kedokteran atau S.Kedー, lalu lanjut pendidikan profesi dokter atau koas untuk mendapatkan gelar Dokter Muda. Eitss, jangan senang dulu, karena lo belum bisa menjadi dokter. Ada beberapa tahap lagi yang harus lo lalui. Setelah koas, lo akan menjalani ujian yang namanya Mini CEX (Mini Evaluation Exercise). Kalau lulus, lo akan mendapatkan gelar dokter (dr).
Tenang, masih belum berakhir, lo perlu sertifikasi atau Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang diselenggarakan langsung oleh kementerian pendidikan dan berbagai instansi kesehatan untuk memperoleh SKD (Sertifikat Kompetensi Dokter). Kalau lulus SKD, lo akan diwisuda lagi dan mendapatkan sertifikasi, serta mengucapkan Sumpah Dokter. Tahap selanjutnya adalah magang atau internship, karena meskipun lo udah dapat gelar “dr”, lo masih belum bisa untuk membuka klinik sendiri. Jadi, harus magang di Rumah Sakit atau klinik dokter. Nah, kalau lo mau menjadi dokter spesialis, lo bisa melanjutkan pendidikan spesialis. See, gak mudah kan untuk menjadi seorang dokter.
Terlepas dari perjuangan karir seorang dokter, perjuangan dokter di Indonesia dalam mengambil bagian sejarah perjuangan bangsa juga patut diapresiasi. Hari ini, tanggal 24 Oktober, kita memperingati Hari Dokter Nasional. Maka dari itu, mari kita sejenak menengok ke zaman kolonial untuk melihat bagaimana perjuangan para dokter Indonesia saat itu.
Daftar Isi
Peran Dokter dalam Memerangi Kolonialisme
Lo pernah mendengar nama-nama ini gak: dr. Soetomo, dr. Wahidin Sudirohusodo, dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo? Mereka adalah pahlawan nasional yang juga seorang dokter. Namanya tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia yang bukan hanya membantu korban perang dan orang sakit, melainkan juga ikut dalam memerangi kolonial. Ketiganya pernah mengenyam pendidikan di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia ーsekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Di Hari Dokter Nasional, mari kita sedikit lebih mundur kembali ke zaman kolonial untuk mencari tau sejarah kemunculan profesi dokter di Indonesia. Kalau dilihat sejarahnya, semua berawal ketika dikeluarkan Surat Keputusan Gubernemen No. 22 pada 2 Januari 1849 tentang penyelenggaraan kursus juru kesehatan di Hindia Belanda. Keputusan tersebut didorong oleh kekhawatiran dari pihak kolonial mengenai kurangnya tenaga kesehatan untuk menghadapi berbagai macam penyakit di wilayah jajahannya. Nah, tempat pendidikan pertamanya dilaksanakan di Rumah Sakit Militer ーsaat ini menjadi RSPAD Gatot Subroto.
Pada 5 Juni 1853, kolonial mulai meningkatkan kualitas kegiatan pendidikan juru kesehatan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernemen No. 10. Kursus tersebut diubah nama menjadi Sekolah Dokter Djawa dengan masa pendidikan selama 3 tahun. Siswa yang lulus dari sekolah ini berhak mendapatkan gelar “Dokter Djawa”. Tapi, lingkup pekerjaannya masih terbatas. Mereka hanya diperbolehkan bekerja sebagai mantri cacar.
Seiring bergulirnya waktu, Sekolah Dokter Djawa terus mengalami perkembangan. Pada tahun 1889, nama Sekolah Dokter Djawa diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen (Sekolah Pendidikan Ahli Ilmu Kedokteran Pribumi). Merasa perlu ada perubahan lagi, 9 tahun kemudian, tepatnya pada 1898, nama tersebut diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Sekolah Dokter Pribumi).
Nah, karena kemudian pendidikan kedokteran ini dibuka untuk siapa saja, termasuk penduduk keturunan “Timur Asing” dan Eropa ーsebelumnya hanya untuk pribumiー, maka diubahlah kata Inlandsche (pribumi) menjadi Indische (Hindia) pada tahun 1913. Sehingga, namanya menjadi School tot Opleiding van indische Artsen (STOVIA), dengan ketentuan mereka yang bersekolah di sini akan mendapatkan beasiswa dari pemerintah kolonial dan wajib menjalankan ikatan dinas selama 10 tahun. Bukan waktu yang singkat, boy. Eitsss, bagi yang melanggar ketentuan ini akan mendapatkan denda sebesar 5.800 gulden, lho.
Dari STOVIA itulah kemudian lahir dokter-dokter pejuang kemerdekaan seperti tokoh-tokoh yang udah gue sebutkan di awal paragraf ini. Misalnya dr. Sutomo yang mendirikan organisasi dengan prinsip modern bernama Budi Utomo untuk memajukan bangsa Indonesia, dengan fokus utamanya adalah pendidikan dan pengajaran. Dikatakan modern karena Budi Utomo adalah organisasi yang menerapkan AD/ART yang mengatur kepengurusan, anggota, dan kongres yang terjadwal. Kelahiran organisasi Budi Utomo merupakan cikal bakal kelahiran gerakan revolusioner kebangsaan. Bahkan, tanggal berdirinya juga ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, yaitu setiap tanggal 20 Mei.
Selain itu, ada juga tokoh seperti dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat yang merupakan tokoh intelek pendiri Indische Partij (IP) pada tahun 1912. Nah, prinsip yang muncul dalam IP ini berbeda dari Budi Utomo yang terkesan hati-hati. IP bersifat lebih keras dan langsung bergerak dalam bidang politik. Kita bisa lihat dari tujuannya, yaitu membangun patriotisme semua Indiers terhadap Tanah Air dan mempersiapkan kehidupan bangsa Indonesia yang merdeka.
Selama ini kita mengenal dokter sebagai pejuang kemanusiaan, khususnya dalam bidang kesehatan. Tapi, setelah kita mengetahui sejarah kemunculan profesi dokter di Indonesia, ternyata peran dokter gak hanya di bidang kesehatan, melainkan juga berperan bagi kemajuan bangsa Indonesia, baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, hingga politik. Sehingga, sudah sepantasnya kita mengapresiasi profesi dokter, dan mengetahui serta meramaikan Hari Dokter Nasional.
Sejarah Peringatan Hari Dokter Nasional
Tau gak, dari mana sih sebenarnya kata dokter itu berasal? Berasal dari Bahasa Latin “docere” yang artinya to lecture atau mengajar. Saat kita menemukan ada iklan layanan masyarakat tentang kesehatan, pasti di situ tercantum Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Selain iklan, kita juga sering menemukan IDI ini di acara-acara yang berbau kesehatan. Yap, organisasi yang memiliki lambang tongkat dan ular ini adalah organisasi profesi kedokteran di Indonesia.
Organisasi ini diresmikan pada 24 Oktober 1950. Karena peresmian itulah, kemudian tanggal 24 Oktober diperingati sebagai Hari Dokter Nasional. Peringatan ini dilaksanakan setiap tahun untuk menghargai jasa para dokter di Indonesia yang telah membantu masyarakat dan kehidupan individual. Biasanya, peringatan Hari Dokter Nasional dilaksanakan oleh para pegiat kesehatan dengan mengadakan serangkaian kegiatan, seperti pengobatan gratis, konsultasi kesehatan gratis, senam, dan berbagai kegiatan kesehatan lainnya.
Waktu awal berdiri, namanya bukan Ikatan Dokter Indonesia, lho. Kita coba break down perjalanan organisasi ini, yuk!
Tahun 1926
Sebelumnya, di Indonesia ada suatu perkumpulan dokter/tenaga medis bernama Vereniging van Indische Artsen sejak tahun 1911. Setelah 15 tahun berkiprah, namanya berubah menjadi Vereniging van Indonesische Genesjkundigen (VGI). Alasannya karena rasa nasionalisme, di mana dokter pribumi dianggap kelas 2 oleh dokter Belanda. Sehingga, Prof. Bahder Djohan ーyang selanjutnya menjadi sekretaris VIG sejak 1928 hingga 1938ー mengatakan, “Tujuan VIG adalah menyuarakan pendapat dokter pribumi, di mana pada masa itu persoalan pokoknya adalah menyetarakan kedudukan antara dokter pribumi dan dokter Belanda dari segi kualitasnya”.
Tahun 1940
Pada tahun 1940, VIG mengadakan kongres di Solo. Pada kongres ini, dokter pribumi mulai mendapatkan kesetaraan, meskipun belum begitu signifikan. VIG mendapatkan sekitar 3.000 istilah baru dalam dunia kedokteran. Selain itu, VIG juga berhasil meningkatkan gaji dokter pribumi supaya mendapatkan derajat yang sama dengan dokter Belanda. Meskipun belum setara secara sempurna, tapi dari sini dokter pribumi mendapatkan kenaikan gaji sebesar 20% (dari yang semula 50% menjadi 70%). Selain itu, dokter pribumi juga diberikan kesempatan dan pendidikan untuk menjadi asisten prioritas pertama.
Tahun 1943
Hanya bertahan 3 tahun sejak VIG mulai mendapatkan kesetaraan, pada tahun ini Jepang menduduki Nusantara. Hal ini membuat Jepang membubarkan VIG dan mengubahnya menjadi Jawa izi Hooko-Kai.
Tahun 1950
Tahun 1950 merupakan tahun di mana IDI diresmikan, yang selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Dokter Nasional. Di mulai sejak tanggal 30 Juli 1950, PB Perthabin (Persatuan Thabib Indonesia) bersama dengan DP-PDI (Perkumpulan Dokter Indonesia) mengadakan rapat untuk mendirikan organisasi bagi para dokter di Indonesia yang baru. Selain itu, organisasi ini juga diharapkan menjadi wadah representasi dunia kedokteran di Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri. Atas usulan dari Dr. Seno Sastroamidjojo, dibentuklah panitia PMDWNI (Penyelenggara Muktamar Dokter Warganegara Indonesia), dengan ketuanya yaitu Prof. Bader Djohan.
Pada 22-25 September 1950, Muktamar I Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) diadakan di Deca Park ーkemudian menjadi Gedung Pertemuan Kotapraja Jakarta (tapi sekarang udah digusur)ー dengan jumlah peserta yang hadir sebanyak 181 dokter Indonesia dari berbagai daerah. Dalam muktamar pertama ini, kemudian terpilih Prof. Sarwono Prawirohardjo sebagai Ketua Umum IDI pertama.
Barulah pada 24 Oktober 1950, Dr. Soeharto ーwaktu itu sebagai panitia Dewan Pimpinan Pusat IDIー bersama dengan pengurus lainnya menghadap notaris, R. Kadiman untuk meresmikan perkumpulan dokter yang bernama Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Akhirnya, IDI mendapatkan legalitas dari notaris dengan Anggaran Dasarnya tercantum bahwa, “IDI berkedudukan sedapat-dapatnya di Ibukota Negara Indonesia dan didirikan untuk waktu yang tidak ditentukan“. Karena itulah akhirnya Hari Dokter Nasional ditetapkan setiap tanggal 24 Oktober.
Nah, sejak itulah IDI kemudian membeli gedung di Jalan Sam Ratulangi, Jakarta, untuk melayarkan bahtera organisasinya. Sstttt… ada yang menarik nih, uang yang digunakan untuk membeli gedung tersebut ternyata berasal dari seorang WNA, yaitu Belanda dengan harga Rp300.000. Eittsss, zaman dulu beli gedung harga segitu gak murah, boy. Kalau sekarang mana dapet. Duh!
Dunia Kedokteran Saat Ini
Kehadiran IDI kembali menegaskan peran dan tanggung jawab profesi dokter di tengah masyarakat. Pekerjaan ini sungguh mulia, melihat kehadiran dokter yang membantu kesembuhan dan kesehatan masyarakat dengan hati nurani. Di Hari Dokter Nasional ini, mari kita tengok juga kiprah dokter di masa sekarang ini, khususnya selama masa pandemi.
Berdasarkan Muktamar IDI XXX tahun 2018, terpilihlah Dr. Daeng M Faqih, SH, MH., sebagai ketua umum PB IDI dengan Masa Bakti 2018ー2021. Nah, untuk jumlah dokter di Indonesia, kurang lebih ada sebanyak 193.366 anggota yang tersebar di berbagai daerah, dengan jumlah terbanyak di pulau Jawa, dan paling sedikit di Kalimantan Utara.
Jumlah tersebut masih sangat kurang jika dibandingkan dengan negara maju seperti di Eropa. Di mana dalam setiap 10 ribu populasi warganya, hanya ada dokter sebanyak 4-5 orang. 4:10.000 bayangkan! (tahun 2018). Padahal, selama hampir 2 tahun ini kita dihadapkan dengan makhluk tak kasat mata bernama Coronavirus penyebab Covid-19. Sejak Maret 2020 lalu hingga saat ini, kasus positif di Indonesia sudah mencapai 4.237.834 orang, dan yang meninggal sebanyak 143.120 orang. Tak sedikit pula para dokter yang meninggal akibat Covid-19.
Dari situ saja kita bisa menilai bahwa peran dokter dan tenaga kesehatan sangatlah penting, terlebih saat suasana pandemi seperti saat ini. Peran mereka sangat penting pada setiap level intervensi, khususnya pada level masyarakat. Misalnya kita lihat yang sudah dilakukan oleh para dokter selama pandemi dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan/protokol kesehatan, melakukan tracking atau penyelidikan kasus dan investigasi wabah, memberikan fasilitas kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. Tujuannya adalah untuk mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia, yang fokus utamanya adalah edukasi, pemberdayaan masyarakat, dan perkuat layanan kesehatan.
Penutup
Oke, segitu dulu uraian mengenai perjalanan profesi dokter di Indonesia. Sejak IDI berdiri hingga saat ini, berarti kita telah memperingati Hari Dokter Nasional yang ke-71. Banyak peristiwa yang telah menemani perkembangan dunia kedokteran di Indonesia. Mulai dari diadakannya kursus juru kesehatan di Hindia Belanda oleh pihak kolonial yang selanjutnya menjadi STOVIA, lahirnya dokter-dokter sekaligus pahlawan nasional yang ikut memajukan bidang kesehatan, pendidikan, dan politik. Hingga akhirnya muncul organisasi Ikatan Dokter Indonesia yang mewadahi para dokter di Indonesia pada 24 Oktober 1950. Selamat Hari Dokter Nasional! Semoga kita selalu sehat dan selalu mengutamakan kesehatan diri dan orang-orang tersayang.
Referensi
Baca Juga Artikel Lainnya
Hari Olahraga Nasional, Tengok Fakta Menariknya, Yuk!
Yakin Mau Masuk Kedokteran? Baca Ini Dulu!
Biografi Ernest Douwes Dekker: Tokoh Indo Anti-Kolonialisme (1879-1950)
Bismillah FK UI 2022 🙏
Waah, semoga terwujud yaa. Semangaat Nita!!!^^