Soe Hok Gie : Pemuda Indonesia yang Merdeka 17

Soe Hok Gie : Pemuda Indonesia yang Merdeka

Soe Hok Gie adalah legenda sekaligus icon bagi kaum intelektual muda Indonesia. Sebetulnya bagaimana kisah hidupnya yang begitu singkat namun bisa menjadi inspirasi bagi setiap generasi mahasiswa?

Buat lo yang udah sering baca tulisan-tulisan gue, mungkin udah pada tau kalo gue orangnya lumayan doyan baca buku. Berhubung gue orangnya telaten (anggep saja begitu), jadi setiap buku gua itu pasti selalu gua rawat, gua kasih sampul yang rapi, bahkan gua catet kapan gua beli/dapetin buku itu. Dari ratusan buku yang gua punya, kalo ditanya “Glenn, dari seluruh koleksi buku lo, buku mana sih yang paling berharga?” maka gua akan jawab tanpa ragu Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie. Wah, emang buku apaan tuh, kok bisa jadi paling berharga?

IMG_20141212_140948
Buku Catatan Seorang Demonstran, sebuah catatan harian Soe Hok Gie

Buku ini sebetulnya lebih tepat disebut sebuah dokumentasi catatan harian seorang intelektual muda Indonesia (bernama Soe Hok-Gie) yang ditulis ketika dia berumur 15-27 tahun (1957-1969), tepat pada sebuah era dimana bangsa Indonesia mengalami pergulatan politik dan sejarah yang paling gelap sekaligus paling mencekam dalam sejarah bangsa Indonesia. Kebetulan banget, buku ini pertama kali gua dapatkan pada waktu gua berumur sama persis dengan Gie ketika dia pertama kali menulis “hari pertama” dalam catatan hariannya, yaitu ketika gua (dan Gie) sama-sama berumur 15 tahun. 

Mungkin itulah sebabnya buku ini menjadi begitu spesial buat gua. Karena bisa dibilang gua tumbuh bersama dengan buku ini, menjadi buku yang paling menginsiprasi hidup gua, sekaligus juga buku yang paling banyak gua baca dari sejak SMP, SMA, kuliah, bahkan sampai sekarang. Mungkin tanpa buku ini, gua tidak akan menjadi diri gua yang sekarang ini. 🙂

Tepat hari ini 51 tahun yang lalu, pada tanggal 16 Desember 1969. Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhir di tanah tertinggi di Pulau Jawa karena (diduga kuat) menghirup gas beracun, pada usia 27 tahun kurang satu hari. Peristiwa kematiannya ini begitu menghebohkan banyak elemen masyarakat Indonesia pada masa itu, dari mulai para akademisi, wartawan, kaum aktivis mahasiswa, dan banyak pihak lainnya. Sampai-sampai ada sebagian masyarakat yang menduga Gie sebetulnya dibunuh oleh pihak pemerintah Orde Baru pada masa itu, karena dinilai terlalu keras mengkritik pemerintah.

GieGie menutup usia pada umur yang terbilang cukup muda (27 tahun), tapi buah pemikirannya, tulisan-tulisannya yang fenomenal, kritik tajamnya terhadap pemerintah, sampai skripsinya tentang sejarah pemberontakan tetap menjadi bahan diskusi dan perbincangan di kalangan akademisi kampus, mahasiswa, dosen-dosen, bahkan para professor dan peneliti sejarah dari generasi ke generasi hingga saat ini. Lantas sebetulnya apa sih yang spesial dari hidup Gie? Apa sih yang menyebabkan sebagian orang bahkan ada yang menduga bahwa kematiannya disebabkan karena percobaan pembunuhan? Apa sih yang bisa diraih oleh seorang anak muda hanya dengan 27 tahun hidupnya? Sampai-sampai namanya bak bagaikan legenda yang terus terdengar dari setiap generasi ke generasi angkatan mahasiswa selama 45 tahun terakhir.

Okay, pada hari peringatan 51 tahun kematian Soe Hok Gie ini, gua mendapatkan kehormatan untuk mengulas kembali kisah perjalanan hidup dari seorang legenda mahasiswa Indonesia. Pastinya, sebuah tulisan artikel seperti ini gak mungkin bisa merangkum kehidupan seseorang yang begitu panjang, begitu kompleks, dan begitu dalam dengan segala dinamika pemikiran dan emosi di dalamnya. Tapi moga-moga apa yang gua tulis di sini bisa menjadi perpanjangan tangan buat setiap generasi yang membaca tulisan ini, sehingga bisa kembali terinspirasi oleh potret pemuda Indonesia yang selalu gelisah, yang (walaupun sendirian) berani berdiri tegak dan berteriak lantang akan kebenaran pada sebuah masa-masa paling gelap dan berbahaya yang pernah dialami bangsa Indonesia.

Soe Hok Gie : Pemuda Indonesia yang Merdeka 18

Latar Belakang Kehidupan

Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942, ketika dunia berada di tengah puncak perang dunia kedua dan Indonesia masih dalam proses perjuangan menuju kemerdekaan di bawah kependudukan Jepang. Kalo kita mau bicara tentang hidup dan buah karya pemikiran Gie tentang Indonesia, sedikit banyak lo juga harus memahami tentang latar belakang lingkungan pada saat Gie dibesarkan. Untuk seseorang yang lahir di tahun 40an, lo bisa bayangkan bahwa Gie dibesarkan dan hidup ketika negara Indonesia ibarat bayi yang baru mulai merangkak untuk berdiri dan berjalan sendiri. Saat itu, pastinya Indonesia belum sekompak sekarang ini yang bisa begitu berapi-api membela timnas sepak bola saat melawan negara tetangga. Pada masa awal-awal berdirinya negara Indonesia, negara kita masih banyak diliputi kemelut dengan berbagai macam bentuk kepentingan.

Pada masa-masa kecil-remaja Gie, saat itu Indonesia masih belajar untuk menemukan karakter dan jati diri bangsa yang sesungguhnya, di mana rakyat Indonesia sendiri dari Sabang sampai Merauke itu masih dalam proses mencintai negara yang baru saja berdiri. Sehingga seringkali masih “rewel” dan “bandel” dengan sederetan pemberontakan yang menuntut daerahnya untuk lepas dari kedaulatan RI seperti pemberontakan Madiun (1948), pemberontakan PERMESTA di Manado (1958-1961), pemberontakan DI/TII di Aceh (1953), pemberontakan PRRI di Padang (1958), Pemberontakan Republik Maluku Selatan (1950), dan lain-lain.

8 hhh 100_menteri_4
aksi mahasiswa menuntut Tritura

Sementara itu di sisi lain, pemerintah Indonesia sendiri belum punya sistem yang se-profesional sekarang ini. Pada masa-masa itu, semua elemen masyarakat mau ikut terlibat dalam pemerintahan untuk ikut ambil bagian mengatur arah bangsa ini. Dari mulai PNI, Masyumi, NU, PKI, Parkindo, PSI, Murba, IKPI, PSII, Perti, dan masih banyak lagi. Jadi jangan dibayangkan pada masa awal berdirinya negara Indonesia “semangat kemerdekaan 45” itu dirayakan dengan penuh kekompakan oleh semua lapisan masyarakat untuk membangun Indonesia.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, sebetulnya bisa dibilang Indonesia banyak diwarnai oleh konflik kepentingan antara kaum intelektual borjuis, militer, PKI, parpol keagamaan dan kelompok nasionalis lainnya. Situasi politik di Indonesia pun masih dibilang sangat kacau karena tidak adanya profesionalisme yang menyebabkan korupsi, kolusi, dan nepotisme merebak dengan tidak terkendali dan (hampir) semua pihak lebih mementingkan kepentingan partainya masing-masing. Itulah kurang lebih gambaran situasi yang menemani Gie dari kecil hingga remaja, yang tentu berpengaruh besar terhadap pandangan, pemikiran, gagasan, serta keputusan-keputusan Gie selama hidupnya.

Masa Kecil-Remaja Gie

Gie kecil mulai bersekolah di Sin Hwa School, kemudian masuk SMP Strada di daerah Gambir, lalu melanjutkan masa remaja di SMA Kanisius Jakarta jurusan sastra. Masa mudanya dia habiskan di Jakarta dimana dia melihat potret ibukota negara Indonesia yang penuh dengan dinamika sosial dan politik.

Di saat anak-remaja jaman sekarang tumbuh dengan sinetron, idol group, dan “reality” show selebriti. Gie menghabiskan masa kecil-remajanya dengan bolak-balik ke perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan Kota Jakarta. Di saat anak-anak lain seumurannya masih suka keluyuran main layangan, gundu, atau ngoboy keliling kota. Gie mengisi masa kecil-remajanya dengan membaca puluhan  (atau mungkin ratusan) “dongeng” sastra klasik, filsafat, sejarah, dan biografi tokoh-tokoh yang mengubah dunia.

SoeHokGie-

Sejak dini (umur 15 tahun), Gie telah membaca tentang dinamika politik di berbagai sudut belahan dunia, tentang berbagai macam pergolakan sejarah pemikiran yang bermunculan dari jaman ke jaman, dari mulai filsafat klasik Yunani, hingga ide-ide utopis sebuah masyarakat yang ideal seperti Marx, Paine, Hobbes, Hegel. Dia terbuai dengan begitu banyak kisah sejarah jatuh-bangunnya peradaban, tentang pemikiran-pemikiran progressive tokoh-tokoh dunia yang memerdekakan rakyatnya seperti Gandhi, Martin Luther K Jr, Kartini, dll. Gie juga mengapresiasi sastra kelas dunia yang menggambarkan romantisme emosi dan pemikiran setiap jaman seperti Nietzsche, Tagore, A.Camus, G.Orwell, Steinbeck, Pramoedya, dan lain-lain.

Wah pokoknya kalo lo tau tentang bahan bacaan Gie dari SD-SMA pasti terbengong-bengong deh. Gua sendiri aja malu waktu pertama kali baca Catatan Hariannya, sampai mikir “Wah gila nih anak bacaannya, dari SD-SMP udah baca André Gide, John Wyndham, Shakespeare, dan lain-lain…”. Dari situlah gua tau bahwa sejak kecil Gie sudah terpesona dengan ilmu dan menikmati proses belajar dengan kegembiraan, bukan belajar karena tekanan dari sekolah atau sekedar mendapatkan nilai yang bagus.

Kelahiran Seorang Intelektual Merdeka

Setelah lulus SMA, Gie melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Sejarah di Universitas Indonesia. Di saat pemuda keturunan Tionghoa lain memilih jurusan yang lebih bergengsi, seperti ekonomi, arsitek, dan kedokteran. Gie memilih Fakultas Sastra-Sejarah sebagai gudangnya arus pemikiran, ide, serta gagasan untuk membangun kesadaran politik yang lebih mendalam.

Pemahaman Gie tentang sejarah, politik, ekonomi itu diuji di masa remaja ketika Indonesia berada dalam masa paling kritis, paling gelap, dan paling mencekam sepanjang sejarah republik ini didirikan. Pada saat itulah dia memenuhi panggilannya sebagai seorang intelektual muda dengan menulis kritik keras terhadap pemerintah dan membangun bibit-bibit kesadaran demokrasi agar setiap lapisan masyarakat Indonesia juga memahami masalah di negaranya sehingga kelak ikut terlibat dalam menentukan arah hidup bangsa ini.

Gie juga dikenal sebagai orang yang paling vokal mengkritik kinerja pemerintahan era Soekarno (Orde Lama) serta menjadi salah satu arsitek aksi long-march dan demonstrasi besar mahasiswa tahun 1966 yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.

Tapi jangan lo bayangin sosok Gie adalah aktivis mahasiswa yang bertampang preman, yang berani berorasi di tengah-tengah bentrokan dengan para aparat. Kalo jaman sekarang aktivis mahasiswa sering digambarkan sebagai sosok preman kampus yang tukang demo, gondrong, tatoan, kalo demo semangat banget padahal sebetulnya belum tentu betul-betul paham konteks permasalahan yang sesungguhnya, hehe.. Gie adalah sosok yang sangat bertentangan dengan image semacam itu.

Perawakannya kecil, alim, cara jalannya lucu, senjatanya boleh jadi hanya pena dan mesin tik. Tapi ketajaman tulisannya di harian Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, and Indonesia Raya membuat seluruh politikus korup saat itu gerah. Gie gak pernah sembarangan menulis dan pastinya bukan tipe mahasiswa yang asal kritik doang. Dia tau betul situasi ekonomi, dia tau betul situasi politik, dia tau betul masalah sosial, peran pemerintah, dan konsekuensinya bagi masyarakat luas. Gie tau betul apa yang sedang dia perjuangkan, he knows what he’s doing. 

Berikut adalah salah satu cuplikan dari film adaptasi tentang kehidupan GIE (2005) yang dibintangi Nicholas Saputra dan disutradarai oleh Riri Riza.

Kalo lo lihat cuplikan di atas, ada scene beberapa kelompok mahasiswa yang berantem. Pada saat itu di Universitas Indonesia memang menjadi ajang pertarungan intelektual antara mereka yang mendukung Soekarno dan yang menentang Soekarno. Kelompok-kelompok mahasiswa pun bermunculan dari kedua belah pihak, dari mulai HMI, GMNI, CGMI, PMKRI, KAMI, dan lain-lain. Soe Hok Gie selama menjadi mahasiswa tidak pernah tercatat resmi tergabung dengan gerakan kelompok mahasiswa berlatar belakang politik. Menurut Gie, universitas adalah tempat paling suci, tempat dimana arus pemikiran bergejolak dan tidak boleh dibendung serta diatur oleh intervensi politik maupun pemerintah. Bagi dirinya, universitas adalah benteng pertahanan terakhir dari sebuah peradaban dan kemerdekaan intelektual sebuah bangsa.

Tunggu dulu sebentar, ngomong-ngomong kenapa Gie mengkritik Presiden Soekarno? Bukankah Soekarno itu dikenal sebagai presiden yang baik?

Yap, sebagian besar penduduk Indonesia saat ini mungkin memandang Soekarno adalah pahlawan Indonesia nomor satu, sebagai bapak proklamator yang memperjuangkan kemerdekaan RI secara intelektual, sekaligus sebagai Presiden pertama RI yang disegani dunia internasional. Tidak bisa dipungkiri memang Soekarno telah berperan luar biasa besar bagi bangsa ini dari masa Hindia Belanda, memperjuangkan hak berpendapat dan kesetaraan di Den Haag, keluar-masuk penjara, sampai bernegosiasi dengan pemerintahan Jepang untuk memerdekakan Indonesia. Dialah sosok yang menaruh begitu banyak dasar dan fondasi pemikiran dan gagasan bagi negara ini, sampai akhirnya Soekarno dan angkatan 45 lainnya seperti Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan lain-lain membawa Indonesia merdeka untuk membangun kedaulatan yang mandiri.

Namun demikian, bahkan sosok Soekarno juga bukan berarti seorang yang sempurna dan tanpa cacat. Ada masa dimana kebijakan-kebijakan politiknya begitu banyak dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya yang pandai menjilat serta membawa kepentingan pribadi dan partai. Sehingga di masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, ada begitu banyak penyimpangan politik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dari mulai pembentukan demokrasi terpimpin yang semakin mengarah pada otoritarianisme, praktik kolusi dan nepotisme (siapa yang punya koneksi akan diuntungkan), sampai penyalahgunaan kekuasaan dimana uang dana revolusi yang dikumpulkan dari keringat rakyat dan karcis-karcis bioskop, dihambur-hamburkan oleh orang-orang pemerintah pusat di luar negeri.

Posisi Gie pada saat itu jelas menentang Soekarno sebagai seorang politikus, tapi bukan berarti Gie tidak menghormati Soekarno. Dalam salah satu catatan hariannya, Gie menulis:

“Saya kira saya menyukai Soekarno sebagai seorang manusia, tapi sebagai seorang pemimpin, tidak!”– Soe Hok Gie

Memang dalam memahami kehidupan seseorang kita tidak bisa melihat hanya dari satu sisi kehidupan saja. Kita tidak bisa melihat sebuah keputusan atau kelemahan manusia sebagai hal yang seolah-olah bisa menjawab, merangkum, serta mewakili seluruh kehidupan seseorang. Jadi buat gua pribadi, apa yang disampaikan Gie pada catatan harian, tulisan-tulisan, maupun skripsinya adalah satu sisi pandangan dari “kacamata” Gie pada jaman itu, dan tidak mewakili sosok yang dia kritik secara menyeluruh.

Setelah menggulingkan pemerintahan Soekarno, lalu apa yang terjadi?

Kalo lo baca artikel Zenius sebelumnya tentang dinamika catatan sejarah gerakan 30 September 1965. Lo akan tau bahwa pasca penggulingan Soekarno, Indonesia dikuasai rezim militer Orde Baru yang diawali dengan serangkaian penumpasan PKI yang dianggap sebagai dalang peristiwa pembunuhan keenam Jendral. Pada masa-masa itulah, Indonesia memulai babak baru yang sangat mencekam, dimana jutaan rakyat yang dianggap memiliki keterkaitan erat dengan PKI dipenjarakan bahkan dibunuh tanpa proses peradilan yang jelas.

Pada masa-masa itu (pasca G30S/65), seluruh lapisan masyarakat di Indonesia diam dalam kengerian. Para awak media dan wartawan bungkam karena takut mengungkap kebenaran. Lalu siapakah orang pertama yang berani berteriak lantang menyatakan kebenaran? Yak, siapa lagi kalau bukan Soe Hok Gie. Dia adalah orang yang pertama kali dengan berani membeberkan serangkaian peristiwa pembunuhan di Bali oleh rezim ORBA yang (pada saat itu) diperkirakan menelankan korban sampai 80.000 jiwa.

Keberanian Gie mengungkapkan fakta pada masa itu mungkin bagi sebagian orang saat itu dinilai naif, sembrono, bahkan mungkin tidak sayang nyawa. Tapi bagi seorang Soe Hok Gie, itu adalah panggilannya sebagai seorang intelektual, untuk berani menyatakan kebenaran. Ada seorang teman Gie dari Amerika yang menulis surat bahwa Gie akan selalu menjadi intelektual yang bebas tapi juga seorang pejuang yang sendirian. Gie menjawab dengan kata-kata ini:

“Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka” – Soe Hok Gie

Hobi & Romantisme Kehidupan Gie

Di sisi lain kehidupannya, Gie bukanlah orang yang selalu menghabiskan waktunya dengan belajar, baca buku, menulis, dan mengkritik pemerintah. Dia juga manusia biasa dengan segala kekonyolan dan romantikanya tersendiri. Untuk hobby, Soe Hok Gie yang alim dan badannya kecil ini punya hobby yang agak nyentrik saat itu, yaitu naik gunung!

Jauh sebelum kegiatan naik gunung itu populer di kalangan anak muda jaman sekarang. Soe Hok Gie, Herman Lantang, Maulana, Koy Gandasuteja, dan kawan-kawannya yang lain menjadi perintis berdirinya MAPALA UI (Mahasiswa Pecinta Alam), sebuah organisasi pecinta alam yang sampai saat ini aktif sebagai salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) di Universitas Indonesia. Ada satu penggalan kata-kata Soe Hok Gie ketika dia ditanya apa alasan dan tujuannya mendirikan organisasi pecinta alam ini:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” – Soe Hok Gie

416870_10150559580955388_1087279248_nLo bisa lihat sekali lagi bahwa Gie adalah orang yang tau betul setiap alasan di balik tindakan dan keputusannya. Bagi seorang Gie, rasa nasionalisme dan kecintaan pada bangsa itu nggak mungkin bisa dipupuk hanya dengan slogan dan bentuk propaganda yang dicekoki oleh pemerintah (makanya terjadi banyak pemberontakan pada masa itu). Menurut dia rasa nasionalisme dan rasa kebersatuan dengan bangsa itu hanya bisa tumbuh jika orang yang bersangkutan terlibat dan menyentuh langsung secara tulus dan melalui proses yang sehat.

Satu hal lain yang menarik dibalik kehidupan pribadi seorang pemuda yang cerdas dan berani adalah bahwa ternyata Gie itu sangat payah dalam percintaan, hahaha.. Menurut beberapa kawan dekatnya, Gie dikenal sebagai orang yang pemalu dan payah kalo soal deketin cewek. Tapi di satu sisi Gie adalah orang yang romantis, pecinta binatang, dan tulus dalam persahabatan.

Kematian, Kesendirian, dan Warisannya bagi kita semua

Satu hal ironis yang dialami Gie menjelang kematiannya adalah ketika semua orang lambat laun menjauhi dirinya karena takut dianggap terlibat dan berkawan dengan pembela PKI. Pada salah satu tulisan catatan hariannya, Gie menulis bahwa dia selalu merasa dihargai oleh ayah dari gebetannya sebagai seorang pemuda yang cerdas, jujur, dan berani. Namun demikian, dia (ayah gebetannya itu) tetap tidak menyetujui hubungan Gie dengan putrinya karena dinilai terlalu berbahaya.

Banyak orang-orang yang mengagumi dan membutuhkan dirinya, tapi sangat sedikit yang mau terlibat dan menemani Gie untuk berjuang bersama. Mungkin itulah tamparan sekaligus ujian terbesarnya sebagai orang yang memutuskan untuk menjadi manusia yang merdeka dalam melawan kesewenang-wenangan. Bahwa untuk menjadi seorang yang jujur dan berani menyatakan kebenaran, dia juga harus berani melawan kesepian, kesendirian, dan segala konsekuensinya.

PUISI_TERAKHIR_SOE_HOK_GIE

Gua selesai menulis artikel ini, malam hari 16 Desember 2014, tepat ketika Gie menghembuskan nafas terakhir 45 tahun yang lalu, juga di umur yang sama persis ketika Gie meninggal pada saat itu, 26 tahun. Melalui artikel ini gua berharap tulisan ini bisa menjadi sekadar bukti, bahwa pada akhirnya Gie tidak benar-benar sendirian. Bahwa obor yang dia bawa selama hidupnya, diestafetkan pada begitu banyak pemuda di generasi ke generasi berikutnya. Sebelas tahun yang lalu obor itu diberikan pada gue saat gue berumur 15 tahun, dan sekarang adalah saatnya gua memberikan obor itu kepada lo semua yang membaca artikel ini.

Gua menutup artikel ini dengan impian Soe Hok Gie yang sempat dia tulis, dan moga-moga kita semua bisa melanjutkan mimpinya tersebut. Selamat ulang tahun Soe Hok Gie, semoga apa yang kamu wariskan tetap abadi dan terus menginspirasi anak muda Indonesia.

Saya bermimpi tentang sebuah dunia dimana tokoh agama, buruh dan pemuda bangkit dan berkata : Stop Semua Kemunafikan! Stop semua pembunuhan atas nama apapun! Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.” – Soe Hok Gie

Referensi:
Hok Gie, Soe.(1983).Catatan Seorang Demonstran.Jakarta: LP3S
Badil, Rudy., et al.(2009).Soe Hok-Gie sekali lagi.Jakarta: KPG
Hok Gie, Soe.(1997).Orang Orang Di Persimpangan Kiri Jalan.Bandung: Mizan Media Utama
Hok Gie, Soe.(1964).Di bawah Lentera Merah.Jakarta:Perpustakan Universitas Indonesia
Maxwell, John R.(2001).Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.Jakarta: Grafiti pers

—————————CATATAN EDITOR—————————

Kalo ada di antara lo yang mau ngobrol tentang Soe Hok Gie sama Glenn, langsung aja tinggalin comment di bawah artikel ini ya.

Bagikan Artikel Ini!