Hari Besar Nasional

Merayakan Keberagaman Agama Lewat Hari Besar Nasional – Serba-serbi Hari Besar

Hai, Sobat Zenius!

Apakah elo masih inget dengan salah satu peristiwa bersejarah di Indonesia, yaitu dirancangnya Piagam Jakarta?

Nah, peristiwa ini penting karena menjadi dasar pembentukan lima sila di dalam Pancasila. Sebelum direvisi, kita tahu kalau sila pertama di Piagam Jakarta itu berbunyi, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Karena Indonesia mempunyai banyak keberagaman, khususnya perbedaan dalam kepercayaan dan keyakinan, jadinya poin pertama ini diubah menjadi, “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Hal ini, nih, yang sejak awal kemerdekaan, menjadi mempertegas kalau Indonesia pengin banget merangkul setiap keberagaman dalam keagamaan.

Salah satu hal yang dapat dilakukan dalam menghargai perbedaan, adalah menetapkan hari perayaan agama sebagai Hari Besar Nasional.

Ilustrasi Perayaan
Ilustrasi Perayaan (Arsip Zenius).

Lho, maksudnya apa? Yuk, kita bahas!

Baca Juga: Kenapa Hari Raya Nyepi Harus Benar-Benar Sepi?

Hari Raya Keagamaan sebagai Hari Besar Nasional

Apakah elo tahu, kalau di era Orde Baru, Hari Raya Konghucu belum menjadi salah satu hari besar nasional?

Hal ini terjadi karena peraturan dari Presiden Soeharto dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 yang membatasi agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina pada 6 Desember 1967.

Ini membuat seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa di Indonesia pada era itu, hanya boleh dirayakan dalam lingkungan keluarga saja dan dalam ruangan tertutup.

Perayaan Imlek di Indonesia jadi benar-benar dibatasi, hal ini juga memunculkan perlakuan yang berbeda bagi etnis Tionghoa di Indonesia, dan kesan kalau Konghucu tidak diakui sebagai agama di Indonesia menjadi semakin kuat.

Nah, setelah puluhan tahun lamanya, barulah etnis Tionghoa dapat merayakan Imlek secara terbuka, selepas terbitnya Keppres No 6/2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden No 14 Tahun 1967. Hal ini terjadi saat masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 17 Januari 2000. 

Namun, perayaan Imlek baru secara resmi dapat dirayakan beberapa tahun kemudian, menyusul Keppres Nomor 19 Tahun 2002 yang membuat pemerintah pada 1 Februari 2003, telah secara resmi menetapkan Tahun Baru Imlek menjadi hari libur nasional 

Ilustrasi Perayaan Imlek
Ilustrasi Perayaan Imlek (Arsip Zenius).

Hari Besar Nasional, memang umumnya adalah hari libur atau tanggal merah di kalender. Nah, sebenernya kenapa hari raya keagamaan itu ditetapkan menjadi Hari Besar Nasional dan pada akhirnya kita jadi punya tanggal merah di kalender?

Di Indonesia, ada enam agama yang udah diakui, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tentu, hal ini membuat hari besar keagamaan setiap warga negara juga berbeda-beda.

Sekarang bayangin, kalau elo sebagai pemeluk dari salah satu agama tersebut, dan hari itu pengin merayakan hari besar agama elo. Tapi, malah terbentur sama setiap aktivitas sehari-hari, contohnya sekolah.

Nah, dengan ditetapkannya hari perayaan keagamaan sebagai hari libur alias tanggal merah, kita bisa merayakan hari besar keagamaan ini dengan tenang dan lebih leluasa.

Sekarang gue pengin ngambil contoh, kalau misalnya pada Hari Raya Idul Fitri, pemeluk agama Islam dapat merayakannya sehari penuh karena pada hari itu, setiap aktivitas sekolah atau kerja diliburkan.

Hal yang sama, tentu harus dilakukan pada perayaan agama-agama lainnya yang sudah diakui. Misalnya, dengan juga menetapkan Hari Raya Waisak sebagai salah satu hari besar nasional dan membuat umat Buddha di seluruh Indonesia dapat merayakan hari besar agamanya tanpa gangguan.

Baca Juga: Sejarah Hari Raya Imlek, Perjalanan Perayaan Antar Dinasti hingga Kini

Hari Besar Nasional Sebagai Upaya Merayakan Keberagaman

Dulu sewaktu masih bocil, gue sempet mikir kalau misalnya Indonesia mengakui lebih banyak agama, kayaknya bakal happy banget karena akan ada lebih banyak tanggal merah di kalender, haha.

Menetapkan hari raya keagamaan sebagai hari besar nasional, dan pada akhirnya jadi tanggal merah di kalender, sebenernya punya makna yang mendalam dan nggak cuma tentang liburnya aja.

Sebelumnya kita udah bahas tentang perayaan Imlek yang pada akhirnya dapat diakui dan dijadikan hari besar nasional. Nah, Presiden Abdurrahman Wahid lewat hal ini menyampaikan harapannya, yaitu perayaan Imlek sebagai jembatan persaudaraan untuk setiap warga negara.

Oke, kita tahu kalau ikut mencicipi hari libur dari perayaan agama yang tidak kita anut, bukan berarti ikut merayakan hari keagamaannya. Karena sebenernya, hal yang kita rayakan adalah keberagaman itu sendiri.

Dengan memberikan kesempatan yang sama untuk setiap warga negara dalam merayakan hari keagamaannya, sikap ini penting dalam menjaga toleransi antar umat beragama. Dan kesempatan yang sama ini diwujudkan dalam meresmikan hari keagamaan sebagai hari besar nasional.

Sebenernya, elo boleh kok untuk tidak toleran. Tapi, tidak tolerannya terhadap laktosa, bukan antar umat beragama, hehe.

Lho, apaan lagi itu intoleransi laktosa? Ini adalah gangguan di pencernaan karena tubuh nggak bisa mencerna laktosa. Nah, kalau intoleransi antar umat beragama, berarti gangguan terhadap arti keberagaman karena nggak bisa mencerna persaudaraan antar umat beragama.

Oke, sekian aja pembahasan gue kali ini, semoga kita selalu bisa hidup rukun antar umat beragama. Oh, ya, di bawah ini udah gue buat playlist tentang serba-serbi hari besar, biar elo bisa ngikutin tulisannya dari awal sampe akhir. Cheers!

Serba-serbi Hari Besar:

Bagian 1: Kalau Sekolah Penginnya Liburan, Kalau Libur Maunya Sekolah

Bagian 2: Merayakan Keberagaman Agama Lewat Hari Besar Nasional

Bagian 3: Hari Persahabatan Sedunia, Bukan Hanya Perihal Merayakan Pertemanan

Referensi:

Hari Ini dalam Sejarah: Tahun Baru Imlek Jadi Hari Libur Nasional untuk Pertama Kalinya – Kompas (2022)

Bagikan Artikel Ini!