Siapakah Orang Asli Pribumi Indonesia? 41

Siapakah Orang Asli Pribumi Indonesia?

Benarkah suku yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Melanesia? Pertanyaan ini mungkin masih tertanam di dalam kepala para Sobat Zenius. Supaya nggak penasaran lagi, gue mau membahas asal-usul pribumi Indonesia dimulai dari manusia pendatang pertama 1,5 juta tahun yang lalu.

Dalam konteks sosial masyarakat Indonesia modern, seringkali kita jumpai istilah “pribumi” yang biasanya mengacu pada identitas orang asli di daerah tertentu.

Sebenarnya apa itu pribumi? Pribumi adalah penduduk asli suatu wilayah yang telah membangun kebudayaan dengan status asli sebagai kelompok etnis dan bukan datang dari daerah lain.

Memang, secara umum kita mengenal klasifikasi umum etnis kesukuan lokal Indonesia, misalnya orang Batak itu di Sumatera Utara, orang Sunda itu di Banten dan Jawa Barat, orang Minang di Sumatera Barat, orang Bugis di Sulawesi Selatan, orang Dayak di Kalimantan Tengah dan Barat, dan lain sebagainya. 

Namun, di sisi lain, istilah “pribumi” ini sendiri juga kerap digunakan sebagai pembeda antar golongan masyarakat yang dianggap sebagai orang/suku/etnis asli Indonesia dengan mereka yang dianggap sebagai “kaum pendatang”.

pribumi indonesia
Ilustrasi peta Indonesia (Dok. nationsonline.org)

Dikotomi antara istilah ‘pribumi’ dan ‘pendatang’ ini menjadi polemik tersendiri dalam konteks sosial bermasyarakat di Indonesia. 

Akan tetapi, pernah nggak, sih, elo berpikir siapa suku asli yang menduduki Indonesia? Apakah memang orang Jawa itu orang asli pribumi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur? Sejak kapan saudara kita orang Jawa yang medok itu tinggal di Pulau Jawa?

Mungkin, kalau kita bertanya pada orangtua atau guru, jawabannya cuman ‘sudah dari sono-nya’. Tapi apakah kita puas dengan jawaban semacam itu?

Nah, dalam kesempatan ini, gue mau mengupas pertanyaan “Siapa pribumi Indonesia yang asli” dengan tinjauan sejarah. Dari mulai sejak kelompok manusia pribumi pertama yang datang ke Indonesia, hingga kelompok-kelompok berikutnya. 

Dalam artikel ini, gue mau menjelaskan siapa orang pertama yang tinggal di Indonesia, dan siapakah yang sebetulnya ‘hanya’ kaum pendatang.

Supaya mudah untuk dipahami oleh Sobat Zenius, gue mau memaparkan urutan suku tertua di Indonesia dan menjelaskannya satu per satu. Yuk, kita mulai cerita sejarahnya!

Kedatangan 1: Homo erectus

Jauh sebelum manusia modern (homo sapiens) datang ke Indonesia, bangsa tertua yang datang dan menghuni Nusantara adalah Homo erectus yang melakukan migrasi panjang dari Afrika sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.

Kenapa gue bahas kok jauh banget sampai ke Homo erectus segala? Karena bisa dibilang, Homo erectus inilah penduduk yang paling lama tinggal tanah Nusantara ini yaitu sekitar 1,5 – 1,7 juta tahun!

pribumi indonesia
Ilustrasi tengkorang homo erectus, cikal bakal pribumi Indonesia (Dok pixabay.com)

Migrasi panjang Homo erectus dari Afrika ke berbagai penjuru dunia memang cukup fenomenal dan sedikit banyak masih keberadaan mereka membentuk ekosistem yang kita kenal sekarang ini.

Dari sekian banyak kelompok Homo erectus yang terpencar menuju Eropa, Asia Tengah, India, ada beberapa yang mencoba “nekat” nyusurin garis pantai selatan sampe ke Nusa Tenggara Timur, tepatnya Pulau Flores.

Mungkin ada sebagian yang bingung, gimana caranya erectus bisa menyeberangi laut? Perlu diingat bahwa garis batas daratan dan lautan yang kita kenal sebagai peta dunia modern sekarang itu berbeda dengan keadaan bumi 1-2 juta tahun yang lalu.

Sekitar 1-2 juta tahun yang lalu, Pulau Jawa, Sumatera, dll itu belum terpisah alias masih menyatu. Jadi, 1,8 juta tahun yang lalu homo erectus bisa jalan kaki dari Vietnam sampai ke Bali tanpa menyeberangi laut.

Homo Erectus ini kemudian beranak pinak dan nyebar ke seluruh Paparan Sunda (Sunda Shelf) termasuk beberapa di antaranya yang nyeberang laut sampai Flores. 

Jadi, bisa dibayangkan bahwa Homo Erectus ini udah “ngacak-ngacak” kepulauan Nusantara kita selama 1,5 juta tahun dengan berburu, membuat api, membentuk kelompok-kelompok, berperang, dan lain sebagainya sampai akhirnya punah kira-kira 100.000 tahun yang lalu.

Kedatangan 2: Homo Sapiens Gelombang Pertama (Melanesia)

Sama seperti erectus, Homo sapiens atau manusia modern yang jadi cikal bakal pribumi Indonesia dan juga berasal dari Afrika dan melakukan migrasi besar-besaran ke seluruh penjuru dunia dalam dua gelombang migrasi. 

Gelombang pertama berlangsung kira-kira 100 ribu tahun yang lalu, sedangkan gelombang kedua berlangsung kira-kira 50-70 ribu tahun yang lalu. 

Gelombang pertama keluar dari Afrika lewat selat kecil yang misahin Ethiopia dan Yaman, terus lanjut ke India bagian selatan, menyusuri pantai lanjut ke Paparan Sunda sampai ada yang menyebrang dengan perahu ke Paparan Sahul (Papua, Australia).

Siapakah Orang Asli Pribumi Indonesia? 42
Ilustrasi Pemetaan Asia Tenggara-Australia ketika ice age dipisahkan menjadi Paparan Sunda (Sunda Shelf) dengan paparan Sahul (Sahul Shelf) (Dok. alchetron.com)

Suku bangsa yang pertama kali datang ke Indonesia ini berciri Melanosoid (seperti ciri orang Papua dan Aborigin). Dalam periode waktu migrasi ini, daerah kepulauan Nusantara tetap tersambung tapi bukan karena faktor tektonik, melainkan karena pada masa itu, bumi ini sedang menjalani masa zaman es (ice age) yang menyebabkan sebagian permukaan laut menyatu menjadi daratan es. 

Manusia modern gelombang pertama ini akhirnya menempati Nusantara sampai zaman es berakhir (es mencair menjadi lautan yang memisahkan pulau), sehingga terbentuklah Kepulauan Nusantara seperti yang kita kenal sekarang.

Kehadiran dari para petualang awal ini masih bisa kita lihat pada peradaban manusia modern yang lebih akrab kita kenal dengan kebudayaan berciri Melanesia atau golongan etnis Negrito. Beberapa di antaranya adalah:

  • Suku Sentinel, Onge, Jarawa di Kepulauan Andaman,
  • Suku Asli, Semang, Sakai di Malaysia,
  • Suku Mani di Thailand,
  • Suku Aeta, Agta, Ati di Filipina.
  • Suku Dani, Bauzi, Asmat, Amungme di Indonesia & Papua Nugini
  • Suku Aborigin Australia dan Tasmania

Dari persebaran ini, diduga kuat bahwa hampir seluruh daerah Paparan Sunda dan Sahul (mencakup seluruh wilayah Indonesia) sempat dihuni oleh orang-orang berciri Melanosoid.

pribumi indonesia
Ilustrasi contoh etnis Melanesia, pribumi Indonesia, yang tersebar di daerah Indonesia Timur, Papua Nugini, Kep. Salomon, maupun Australia (Dok. westmelanesia.com)

Kehidupan orang Melanesia berawal dengan budaya berburu dan mengumpulkan makanan (hunter & gatherer) yang kemudian sebagian besar (kecuali Aborigin Australia) mulai mengenal pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam skala kecil. 

Sayangnya, kebudayaan agrikultur ini tidak berkembang dengan skala luas karena kecenderungan masyarakat Melanesia yang berjumlah kecil dan terpisah jauh dengan suku tetangga lain. 

Hal ini juga yang menyebabkan orang Melanesia bisa hidup tanpa perlu mengembangkan pertanian dan peternakan dalam skala besar, dan juga tidak ada desakan lingkungan untuk membentuk struktur kemasyarakatan yang kompleks dan sistematis.

Terlepas dari itu, sebetulnya kalau ditanya siapakah orang pribumi Indonesia pertama yang menempati Kepulauan Nusantara? Jawabannya jelas adalah orang-orang Melanesia. 

Mereka bahkan diduga kuat sebagai penyebab hilangnya Homo erectus di Paparan Sunda (entah dengan cara pembunuhan maupun perkawinan). Serunya lagi, para arkeolog dan paleontolog juga menduga bahwa manusia modern berciri Melanosoid ini diduga kuat pernah hidup bersama satu pulau dengan human-species lain yang merupakan keturunan dari Homo erectus yaitu Homo floresiensis di Kepulauan Flores.

Tapi, kok, kenapa suku pribumi Indonesia pertama ini cuma tersisa di pedalaman Papua dan pulau-pulau kecil di sekitarnya? Kenapa tidak terus membangun budaya di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan? 

Sampai saat ini para ahli sejarah belum menemukan jawaban yang pasti. Namun, dugaan terkuat hilangnya komunitas Melanesia di wilayah barat Indonesia adalah diakibatkan karena kedatangan rombongan manusia modern gelombang berikutnya dalam jumlah besar, yang dateng dengan make perahu-perahu kecil mereka yang terbilang cukup canggih untuk ukuran waktu itu.

Nothing lasts forever di dunia ini.

Jadi, bisa dibilang bahwa bangsa tertua yang datang dan menghuni Nusantara adalah Melanesia.

Kedatangan 3: Homo Sapiens (Melayu – Austronesia)

Siapakah Orang Asli Pribumi Indonesia? 43
Ilustrasi homo sapiens, cikal bakal pribumi Indonesia (Dok. nhm.ac.uk)

“Suatu sore di pesisir pantai yang tenang di utara Pulau Borneo, 5200 tahun yang lalu, ada dua orang pemuda Melanesia Alkawari dan Anatjari yang lagi nyari kerang untuk dimakan sekaligus cangkangnya dibikin jadi perhiasan buat calon-calon bini mereka di kampung.

Tiba-tiba Anatjari bengong mematung sambil ngeliat cakrawala. Alkawari nanya dengan suara pelan sambil ngibas-ngibasin tangan di depan muka temennya itu, “Dahaka?” (ada apaan sih men?), yang hanya dibalas dengan tunjukan jari Anatjari ke ufuk utara. Alkawari memincingkan mata karena susah ngeliat hal yang dimaksud. 

Setelah menunggu beberapa menit, benda yang dimaksud pun semakin keliatan jelas. Ternyata benda itu adalah belasan kano bercadik dua yang mengapung di laut, bermuatan 4-10 orang khas bangsa Austronesia. Semenjak itu, tidak ada yang tau nasib Alkawari, Anatjari, calon-calon bini mereka, dan kampung mereka. Sebab sore itu, Nusantara kedatangan lagi bangsa yang akan menyebut daerah ini sebagai rumah mereka.”

Paragraf di atas itu sebetulnya cuma fiksi karangan gue doang untuk mengilustrasikan kedatangan gelombang kedua Homo sapiens ke Bumi Nusantara ini yaitu kelompok Melayu-Austronesia.

Rumpun Austronesia ini merupakan rumpun yang sangat besar, mencakup suku Melayu, Formosan (Taiwan), Polynesia (Hawaii, Selandia Baru, dan sebagainya).

Muka bulat, idung lebar, rambut item tebal sedikit bergelombang, dan kulit kecoklatan, merupakan ciri-ciri bersama satu rumpun Austronesia ini.

Suku pribumi Indonesia ini datang nggak cuma modal nekat, tapi juga membawa serta “amunisi” mereka berupa hewan ternak seperti ayam, babi, dan bibit padi, dan lain-lain.

Kebiasaan mereka dalam menanam padi menimbulkan kebutuhan akan adanya lahan pertanian yang luas serta teknologi irigasi yang “canggih”. 

Salah satu sisa budaya asli Austronesia yang masih bisa elo liat sekarang adalah sistem irigasi menggunakan sengkedan (terasering).

Berbekal kepiawaian dalam berlayar menggunakan teknologi maritim supercanggih saat itu (kano bercadik dua yang sangat stabil walaupun diguncang badai dan ombak) serta sistem pertanian yang efektif, tinggal tunggu waktu aja deh sampe seluruh Nusantara ini bisa dijelajah dan dikuasai oleh rumpun Melayu Austronesia.

Dalam masa peralihan dari melanesia menuju austronesia, sampai jaman setelah masyarakat Nusantara mengenal tulisan, udah ga ada lagi tuh jejak-jejak kebudayaan maupun ciri fisik masyarakat Melanesia di pulau-pulau bagian barat Nusantara (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan Lombok).

Sedangkan di kepulauan Nusantara bagian timur, kita masih bisa melihat jejak hasil pertukaran budaya dan juga gen Melanesia pada masyarakat Kepulauan Maluku, Papua bagian pesisir, dan Kepulauan NTT.

Dari segi morfologis, masyarakat yang berasal dari Indonesia timur merupakan campuran antara rumpun Austronesia (muka bulat, hidung lebar) dan rumpun Melanesia (rambut ikal atau malah keriting kecil, kulit lebih gelap).

Melanesia “asli”-nya sendiri pada ke mana? Mereka yang tersisa di Kepulauan Nusantara hanyalah mereka yang berhasil menetap tanpa gangguan di pedalaman Papua, dan masih setia dengan kebijaksanaan lokal mereka seperti berkebun dalam skala kecil, berburu binatang, dan hidup dalam masyarakat kesukuan.

Orang-orang Melayu yang dateng ke Nusantara juga secara umum bisa dibagi dua:

  1. Melayu yang mager (males gerak)
  2. Melayu yang ga bisa diam.

Melayu-melayu mager ini bukannya berarti orangnya males, tapi emang udah berhasil menciptakan masyarakat yang stabil sehingga sudah tidak diperlukan lagi mobilisasi penduduk.

Keturunan Melayu golongan pertama ini bisa kita liat pada suku Nias di Pulau Nias dan suku Dayak di pedalaman Kalimantan, yang juga biasa disebut sebagai “Proto Melayu” (Proto = purwa/primitif).

pribumi indonesia
Ilustrasi suku dayak, salah satu pribumi Indonesia yang merepresentasikan Proto Melayu (Dok. kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Sedangkan di sisi lain, ada golongan Melayu yang karena alasan tertentu (misalnya: kondisi geografis, iklim, bencana, dan lain-lain) merasa perlu untuk terus berpindah tempat sekaligus berinteraksi dengan kelompok lain di sekitarnya, sehingga memungkinkan adanya percampuran budaya, bahasa, serta gen.

Suku tersebut biasanya dinamakan dengan Deutro Melayu (Deutro = Berulang/ulangan).

Suku yang merupakan keturunan asli bangsa Deutro Melayu adalah suku Minangkabau, Jawa, Banjar, Bugis, Makassar, Bali, Lombok, Batak, Aceh, Madura, Minahasa, dan puluhan suku-suku lain yang kita kenal di Indonesia.

Jadi, bedanya apa sih antara Proto dan Deutero Melayu? Bedanya ya cuma yang Proto itu menetap di tempat terpencil sehingga menyulitkan terjadinya percampuran gen yang lebih variatif, sedangkan Deutero menetap di tempat yang memungkinkan untuk terjadinya percampuran gen.

Jadi, proto dan deutro itu nggak menggambarkan siapa yang duluan datang ya, tapi cuma yang satu netap, yang satu lagi pindah-pindah dan membaur. Gitu coy

Salah satu pribumi Indonesia, bangsa Melayu dapat dikatakan sangat nyaman tinggal di Kepulauan Nusantara. Mereka beranak-pinak dan ujung-ujungnya bikin beragam peradaban dan kebudayaan-kebudayaan yang masih bisa kita nikmatin sampe sekarang.

Bangunan rumah panggung atap rumbia, tarian, baju daerah yang warna-warni, wajah dan badan yang dibubuhin tato, bahkan bahasa-bahasanya, masih bercirikan Austronesia.

Nggak cuma yang ada di Indonesia ataupun Malaysia doang, kebudayaan serupa juga bisa elo temuin di orang Maori (Selandia Baru), Rapa Nui (Pulau Paskah), orang Asli Taiwan, Madagaskar, dan pelosok-pelosok Austronesia lainnya.

Akan tetapi, sama seperti sebelumnya, stabilitas yang sebelumnya terbangun pasti akan menghadapi tantangan baru, perubahan selalu terjadi.

Kedatangan 4: Sino-Tibetan, Dravidian, dan Etnis Semitic

pribumi indonesia
Ilustrasi orang India (Dok. piqsels.com)

Dalam periode kurang lebih seribu tahun setelah kedatangan etnis Melayu di Nusantara, peradaban dan kebudayaan Austronesia berkembang semakin kompleks dan mulai melakukan interaksi perdagangan dengan kebudayaan lainnya, termasuk transaksi logam hasil kebudayaan Dong Son di Vietnam.

Transaksi logam dengan peradaban yang jauh di seberang lautan ini juga memicu orang-orang Melayu Austronesia di Nusantara untuk mengembangkan industri metalurgi logam mereka sendiri.

Ternyata, interaksi perdagangan sekelompok masyarakat Austronesia di Nusantara ini berkembang menjadi sangat ramai.

Sampai akhirnya Nusantara ini mengundang kedatangan banyak pedagang dari peradaban luar pada awal abad Masehi, yaitu peradaban Dravidian, Sino-Tibetan, dan etnis Semit.

Pendatang para pedagang ini sudah pasti bukanlah asli pribumi Indonesia. Mereka hanya meramaikan perdagangan di Nusantara.

Dalam dunia modern, peradaban Dravidian lebih akrab kita kenal dengan nama India, sementara peradaban Sino-Tibetan kita kenal sekarang dengan nama Tionghoa, dan etnis Semit direpresentasikan dalam dunia modern pada budaya di Asia Tengah seperti Arab dan Yahudi.

Dalam artikel ini, ke depannya gua akan menyederhanakan penyebutan Dravida = India, Sino-Tibetan = Tionghoa, Semit = Arab untuk mempermudah elo membayangkan serta menyesuaikan dengan konteks dunia modern.

Tapi tolong jangan diartikan bahwa ketika gua menyebut “India”, “Tiongkok”, maupun “Arab” itu mengacu pada warga keturunan negara India, Arab, dan China. Karena baik Kerajaan Arab, Republik China, maupun Negara India baru terbentuk pada abad 20.

Sementara itu, para pedagang Dravida, Sino-Tibetan, dan Semitic yang dulu datang ke wilayah Nusantara, sama sekali tidak membawa atribut kenegaraan yang sekarang kita kenal di dunia modern.

Dari antara tiga gelombang pendatang baru ini, orang Dravida (India) memulai perjalanannya lebih dulu ke daerah Nusantara untuk berdagang sejak abad 1 Masehi. 

Sedangkan pendatang Sino-Tibetan baru melakukan eksplorasi besar-besaran di perdagangan Nusantara sejak dinasti Han runtuh awal abad 3 masehi.

Sementara itu, orang Semit mulai pertama kali berdatangan ke pulau Sumatera untuk berdagang dan menyebarkan agama pada abad 7 Masehi.

Pada awal abad masehi, kebudayaan India dijadiin tolok ukur kemajuan suatu suku/daerah. Para penguasa lokal berlomba-lomba untuk mengadopsi budaya India (termasuk agama Hindu, bahasa Sanskerta, dan tulisan Pallawa) agar bisa dianggep keren.

Jadi deh tuh, kerajaan-kerajaan awal bercorak India di Nusantara, dari mulai Kerajaan Salaka Nagara, Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanegara, dan lain-lain.

Sementara itu, catatan sejarah awal tentang kedatangan masyarakat Sino-Tibetan ke wilayah Nusantara ditandai oleh catatan perjalanan biksu bernama Faxian (Fa Hsien) pada awal abad 5 Masehi yang gak sengaja terdampar ke wilayah Nusantara karena badai. 

Selain itu, biksu Yijing (I Tsing) pada abad 8 Masehi dari dinasti Tang juga ngelaporin tentang sebuah kerajaan maritim yang sangat besar di Sumatera yang dia sebut sebagai Sanfotsi (padahal yang dia maksud itu Kerajaan Sri Vijaya).

Pada abad 7 Masehi, para pedagang dari Arab mulai berdatangan ke Pulau Sumatera. Para pedagang Arab ini berperan sebagai distributor komoditas dan hasil bumi Nusantara seperti cengkeh dan pala dari Maluku di pasar Timur Tengah maupun Eropa.

Hubungan dagang antara para pedagang Arab dan lokal dari Nusantara ini semakin penting untuk sendi perekonomian Timur Tengah hingga gosip politik di kawasan Nusantara ini pun sampai menjadi buah bibir di jazirah Arab nun jauh di seberang benua.

Contohnya adalah cerita tentang Maharaja Zabag (Sri Vijaya) waktu berantem sama raja dari Khmer (Kamboja) yang beritanya sampai tersebar luas di masyarakat Timur Tengah pada abad 13 Masehi.

Jadi, sejak abad pertama Masehi, Nusantara itu tidak lagi ekslusif dihuni oleh bangsa Austronesia maupun campuran Melanesia, di mana para pendatang baru sudah mulai bermunculan dari wilayah Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tengah.

Sebagian besar dari pendatang ini memiliki peran sosial sebagai pedagang dan rohaniawan, dan tidak sedikit juga yang mutusin buat menetap dan kawin campur dengan orang lokal Indonesia.

Mirisnya, kedatangan budaya India, Tiongkok, dan Arab ini masih banyak salah dimengerti oleh masyarakat umum dan sedikit banyak menjadi bahan pemicu konflik rasial di Indonesia.

Nah, sudah menjadi tugas gue sebagai guru Sejarah untuk meluruskan pemahaman yang keliru ini. Jadi, gue putuskan untuk membahas secara khusus kedatangan dari tiga budaya yang masuk pada awal abad Masehi ini.

1. Kedatangan etnis Tionghoa (Sino-Tibetan)

Nah, setelah Faxian dan Yijing yang gue sebut di atas, diaspora masyarakat dari Tiongkok berlangsung dalam beberapa gelombang.

Gelombang pertama yang cukup besar dipengaruhi oleh kebijakan Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Wikramawardhana yang liberal dan memperbolehkan semua orang dari ras dan agama apapun untuk berdagang dan menyebarkan agamanya di daerah kekuasaan Majapahit.

Kebijakan ini membawa peluang bagi Laksamana dari Dinasti Ming, Zheng He (Cheng Ho/Ma Sanbao/Sampokong) yang beragama Islam untuk bolak-balik ngunjungin pantai utara Jawa bagian Tengah untuk berdagang pada awal abad 15.

Zheng He sendiri yang beragama Islam ngebawa rombongan Tionghoa Muslim, Buddha, Tao, dan Konghucu untuk berdagang bersama di Pulau Jawa.

Gelombang migrasi kedua terjadi pada saat Gubernur Jendral Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen berhasil nguasain Jayakarta (1619) dan membangun kota baru bernama Batavia (dari reruntuhan Jayakarta).

Pada masa pembangunan itu, tentu dia memerlukan pekerja, pedagang, dan penduduk kota dong, masa kosong isinya cuma segelintir orang Belanda aja.

Coen yang mungkin saat itu khawatir banyak masyarakat lokal yang masih menyimpan dendam, memutuskan untuk mendatangkan orang-orang dari tanah Tiongkok untuk dipekerjakan menjadi buruh dan pedagang.

Tapi di satu sisi, bukan berarti masyarakat pendatang Tionghoa ini berpihak pada Belanda. Seiring dengan semakin kompleksnya interaksi budaya, mulai berkembanglah masalah-masalah sosial.

Sampai akhirnya terjadi peristiwa maha akbar yang sayangnya kurang diliput sama buku sejarah yaitu Geger Pecinan, yaitu ketika orang-orang Tionghoa dari seluruh pelosok Jawa bahu-membahu dengan masyarakat Jawa lokal untuk melakukan pemberontakan melawan Belanda.

Saking dahsyatnya Geger Pecinan, peristiwa ini berujung kepada pemisahan Kesultanan Mataram jadi empat kekuasaan terpisah.

Di sisi lain, ternyata kebijakan Belanda yang antipati dengan masyarakat setempat membuat Belanda juga mererekrut pekerja dan pedagang dari Tiongkok (juga India dan Arab) untuk kerja dan dagang di belahan Nusantara lainnya, seperti Pontianak, Medan, Maluku, Papua, Makassar, Padang, dll.

Saking nggak percayanya Belanda dengan masyarakat lokal, dibuatlah perkampungan-perkampungan Pecinan yang dibikin eksklusif sama pejabat-pejabat Belanda.

Nah, ini dia nih sumber permasalahan berbau rasisme yang sampe sekarang masih menghantui kondisi sosial masyarakat Indonesia.

Hanya gara-gara ulah orang Eropa yang pada waktu itu selalu menganggap manusia perlu diklasifikasi, sehingga akhirnya berujung pada justifikasi dan perilaku diskriminatif terhadap golongan etnik tertentu.

Hal itu berlarut-larut menjadi dampak yang lebih luas, dari mulai ekslusivitas sampai kecemburuan sosial dan masih terus mengakar pada masyarakat modern Indonesia.

Terlepas dari itu semua, masyarakat Tionghoa gelombang pertama dan kedua ini sekarang lebih akrab disebut sebagai “peranakan”, karena relatif lebih membaur dengan masyarakat lokal. 

Sementara istilah “totok”, dialamatkan untuk keturunan Tionghoa yang melakukan migrasi pada gelombang ketiga, yaitu pada awal abad 20.

Di masa ini, Revolusi Tiongkok yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen membawa pergolakan politik dan sosial sehingga banyak rakyat Tiongkok yang memilih untuk pergi ke Hindia Belanda untuk mengadu nasib. 

Singkat kata singkat cerita, ketiga gelombang migrasi inilah yang memperkaya kebhinekaan Indonesia dengan memiliki etnis Tionghoa dengan jumlah sekitar 2,8 juta jiwa.

2. Kedatangan Etnis India (Dravida, Tamil, dkk)

Berbeda dengan kedatangan etnis Tionghoa, kedatangan masyarakat India dan Arab tidak ditandai dengan gelombang atau peristiwa khusus.

Melainkan, melalui proses yang terjadi secara gradual seiring dengan meningkatnya sektor perdagangan di bumi Nusantara. 

Semenjak perdagangan mulai rame di Nusantara, banyak pedagang dari India dan Arab yang datang dan menetap, menyebarkan agama dan menikah dengan orang lokal Nusantara.

Pengaruh budaya India di Nusantara, selain ditandai pada corak kerajaan Hindu pada awal abad Masehi, juga sempat dipengaruhi aktivitas perdagangan Eropa di Nusantara. 

Pada abad 15-16, banyak pelaut Portugis yang membawa orang-orang India bagian selatan (Tamil) untuk jadi buruh pekerja di pos-pos ataupun perkebunan Portugis.

Hal yang sama juga terjadi saat jaman Belanda, ketika Kota Medan lagi banyak melakukan pembangunan, pemerintah Hindia Belanda ngerekrut banyak pekerja dari suku Tamil untuk bikin infrastruktur macem jalanan dan perumahan.

Bahkan, sampai sekarang keturunan masyarakat Tamil mendiami negara Indonesia dan bisa elo temuin di Kampung Madras (dulu namanya Kampung Keling) di Kota Medan!

Hah? Masa iya ada masyarakat dengan budaya India yang tinggal di Indonesia? Kalo nggak percaya, coba elo tonton salah satu liputan di Youtube berikut ini:

Berbeda dari suku Tamil, orang-orang dari India bagian utara (Gujarat, Sikh, Bengali, dsb) kedatangannya lebih mirip dengan cara orang Arab, yaitu berdagang.

Walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang keturunan Tionghoa, keberadaan orang-orang India dan cukup menghiasi keanekaragaman asal-usul seluruh penduduk Indonesia zaman modern.

3. Kedatangan etnis Arab (Semit, Arabic, dan lain-lain)

Kedatangan etnis Arab di Kepulauan Nusantara berbeda dengan Tionghoa dan India karena tidak punya gelombang khusus yang menandai kedatangan mereka secara masal, melainkan secara gradual, perlahan namun konsisten. 

Sejak abad 7 Masehi, etnis Arab datang ke Indonesia untuk berdagang dan sebagian untuk menyebarkan agama Islam.

Sebagian dari mereka ada yang kembali tapi tidak sedikit juga yang memutuskan untuk menetap di wilayah Nusantara. 

Bahkan, sebagian dari etnis Arab sangat membaur dengan masyarakat lokal seperti para pedagang Arab di Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara sehingga mengadopsi nama keluarga lokal di sana.

Beberapa kelompok lain, membuat komunitas semi eksklusif, terutama ketika zaman pendudukan Belanda, di mana etnis Arab juga sempat difasilitasi oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan dibuatkan perkampungan khusus untuk keturunan Arab di daerah Koja Batavia.

Mayoritas keturunan Arab di Indonesia memiliki leluhur dari daerah Hadramaut (Yemen), dan sebagian dari Arab Hijazi (Saudi, Qatar, Oman, Kuwait, dsb).

Lucunya, saat ini jumlah masyarakat keturunan Hadramaut di Indonesia malah jauh melebihi jumlah masyarakat di tempat asal leluhur mereka sekarang di Republik Yemen. 

Demikianlah, latar belakang sejarah singkat (banget) tentang pembauran etnis Arab di Nusantara. Itulah sebabnya, banyak nama-nama dan marga dengan corak Arab yang sering kita jumpai pada teman sekelas, tetangga, tokoh nasional, maupun para selebriti, seperti nama Assegaf, Shihab, Baswedan, Albar, Alatas, Jamal, dll.

Tentunya pembauran etnis Arab ini juga semakin memperkaya diversity di Indonesia.

Jadi, Siapa Orang Asli Pribumi Indonesia?

Dari pembahasan panjang gue di atas, mungkin rasanya akan semakin sulit untuk menjawab pertanyaan “Siapakah orang asli pribumi Indonesia?”. 

Memang wajar kalau elo jadi makin merasa bingung menjawabnya, karena memang pada dasarnya konteks “orang asli pribumi Indonesia” saja sudah rancu. 

Dalam tinjauan sejarah, daerah Nusantara ini pada mulanya adalah tanah tak bertuan, sampai akhirnya banyak kedatangan para pendatang sejak zaman Homo erectus, hingga berbagai banyak jenis dan rumpun manusia datang dan akhirnya menyebut Nusantara ini sebagai rumah mereka.

Dalam polemik sosial masyarakat modern Indonesia, sebetulnya definisi dari ‘kaum pribumi’ itu sendiri sangat rancu. Jika indikator ‘pribumi’ adalah masyarakat yang paling lama tinggal, berarti yang pantas disebut pribumi Indonesia yang asli adalah Homo erectus yang tinggal di Nusantara ini selama kurang-lebih 1,5 juta tahun. (itu lama banget men!!) 

Tapi jika definisi pribumi artinya manusia modern (Homo sapiens) yang pertama datang ke Bumi Nusantara, jawabannya adalah rumpun Melanesia yang sekarang direpresentasikan oleh suku-suku di Papua. 

Nah lho…apakah itu berarti orang pribumi Indonesia itu cuma orang Papua?

Terlepas dari semua definisi itu, gue pribadi sebagai guru sejarah, berpendapat bahwa pada hakikatnya semua penduduk asli Indonesia adalah pendatang. 

Jadi, ya memang betul bahwa warga keturunan Arab (Semit), India (Dravida, Tamil), dan Tionghoa (Sino-Tibetan) di Indonesia adalah pendatang, sebagaimana orang Melayu (Austronesia) dan Papua (Melanesia) di Indonesia juga adalah pendatang. 

Bumi Nusantara dulunya adalah tanah tak bertuan hingga para manusia dari berbagai rumpun kesukuan berdatangan silih berganti dan mengklaim tanah ini adalah milik mereka, kekuasaan jatuh-bangun dari jaman Kerajaan, Hindia Belanda, sampai akhirnya kini menjadi negara Indonesia yang mewarisi keanekaragaman yang luar biasa. 

Perlu kita ingat bahwa kekayaan budaya yang kita nikmati sekarang ini lahir dari proses asimilasi, menerima perbedaan budaya, menghasilkan budaya campuran, dan akhirnya menjadi identitas bangsa yang baru, bernama Indonesia. 

Demikianlah pembahasan gua tentang asal-usul orang Indonesia dan siapakah yang menjadi orang asli pribumi Indonesia. 

Dari penjelasan di atas, kita jadi tahu kalau keanekaragaman etnis yang ada di Indonesia sangat beragam dan menarik untuk dipelajari satu per satu.

Apabila Sobat Zenius tertarik untuk mempelajari asal-usul kehidupan purba dan siapa yang dapat disebut sebagai pribumi Indonesia melalui video pembelajaran, elo bisa langsung klik link-nya di bawah ini!

Siapakah Orang Asli Pribumi Indonesia? 44
Klik materi pribumi indonesia

Selain itu, Sobat Zenius juga bisa, lho, belajar mata pelajaran lainnya melalui video pembelajaran lewat paket belajar Aktiva Sekolah dari Zenius.

Lewat paket belajar tersebut, elo juga berkesempatan ikut ujian try out sekolah, sesi live class dari Zenius per minggu, serta mendapatkan akses rekaman dari live class tersebut.

Menarik, kan? Yuk, berlangganan sekarang juga!

Siapakah Orang Asli Pribumi Indonesia? 45

Referensi Pustaka:

Dahlan, Ahmad Phd. (2014). Sejarah Melayu. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia

Dwi Putrohari, Rovicky., et al. (2015). DIASPORA Melanesia Di Nusantara. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya

Steinhauer, Hein., et al. (2015). Wacana : From Languages to Cultures in Indonesia I. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Simanjuntak, Truman., et al . (2006). Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago. Jakarta: LIPI Press

Baca Juga Artikel Lainnya:

Latar Belakang Merah Putih di Manado

Berdirinya Kesultanan Malaka

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno

Originally published: September 4, 2015
Updated by: Maulana Adieb

Bagikan Artikel Ini!