Infografik: Persepsi dan Kebiasaan Belajar Siswa Indonesia 17

Infografik: Persepsi dan Kebiasaan Belajar Siswa Indonesia

Artikel ini membahas hasil survei yang dilakukan Zenius tentang pandangan siswa Indonesia terhadap kegiatan belajar mereka.

“Pendidikan Indonesia Gawat Darurat!”

Itulah pernyataan yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Anies Baswedan pada Desember 2014 silam. Pernyataan yang cukup frontal. Apakah benar pendidikan Indonesia segawat darurat itu?

Mari kita cek performa pendidikan negeri ini. Pendidikan Indonesia menempati peringkat kedua dari bawah (64 dari 65 negara) pada riset internasional PISA 2012 (Program for International Student Assesment)  yang membandingkan kemampuan akademis  siswa berumur 15 tahun di berbagai negara dalam bidang matematika, sains, dan membaca. Peringkat bontot juga diperoleh Indonesia pada riset-riset pendidikan lain, seperti Learning Curve – Pearson 2014 (ranking 40 dari 40 negara), Universitas21 2014 (ranking 48 dari 50 negara), TIMMS 2011 (ranking 38 dari 42 negara untuk matematika, 40 dari 42 negara untuk sains), dan PIRLS 2011 (ranking 41 dari 45 negara). Sedih, men!

Ada apa yang sesungguhnya terjadi dengan pendidikan negeri ini? Sebenarnya apa sih pandangan pelajar Indonesia sendiri terhadap kegiatan belajar yang mereka jalani sehari-hari? Bagaimana pula kebiasaan mereka dalam menjalani proses tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Zenius Education mengadakan survei kepo berjudul “Survei Pandangan Siswa/i tentang Sekolah, Guru, dan Orang Tua” pada akhir tahun lalu. Masih ingat dengan survei tersebut? Mungkin lo adalah salah satu respondennya. Dibuka mulai 22 September 2014 hingga 15 Desember 2014, Zenius berhasil mengumpulkan jawaban dari 1340 responden pelajar dari seluruh pelosok Indonesia, dari Aceh sampe Manado. Kami excited dan berterima kasih banget atas antusiasme kalian. Format survei yang panjang sepertinya tidak mematahkan semangat para pelajar untuk mengisi survei tentang kegiatan belajar mereka sehari-hari. Mungkin sekalian curcol atau emang seneng dikepoin. Ciee ga ada yang ngepoin.

Setelah ribuan data yang masuk dianalisis dan digodok dalam waktu yang cukup lama, survei ini berhasil menyingkap berbagai temuan menarik. Seperti yang tertulis pada pengantar survei, kami berharap berbagai temuan menarik mengenai kegiatan belajar ini bisa tersebar luas karena merupakan curahan hati para pelajar Indonesia. Oleh karenanya, kami mengemas hasil survei dalam bentuk infografik agar menarik untuk dibaca dan gampang disebarkan melalui berbagai media sosial.

Jika kalian masih ingat dengan kontennya, survei terbagi menjadi 3 bagian, yaitu tentang kegiatan sekolah, guru, dan orang tua. Kami akan mengawali laporan survei tentang Sekolah. Bagian Sekolah juga akan dibagi lagi menjadi hasil temuan tentang belajar, tugas, dan pelajaran sekolah.

Tulisan kali ini akan khusus mengulas hasil temuan tentang persepsi dan kebiasaan belajar responden pelajar Indonesia. Selain berhasil menyingkap hal tersebut, kita juga melakukan sedikit perbandingan antara Zenius user dan non-user untuk mengetahui apakah cara pengajaran Zenius selama ini dapat secara efektif mengubah persepsi siswa tentang belajar.

Harap diingat untuk tidak serta-merta melakukan generalisasi dalam menginterpretasi hasilnya mengingat survei ini disebarkan secara online melalui social media Zenius dan teman-teman yang bersedia membantu menyebarkan survei ini.

Baiklah, mari kita mulai dengan temuannya.

Infografik: Persepsi dan Kebiasaan Belajar Siswa Indonesia 18

Data Demografi Responden

PART_1-demografi responden

Kebanyakan responden merupakan siswa kelas 12 SMA. 61% responden bukan Zenius user sehingga kita bisa memperoleh data yang lebih representatif tentang pelajar Indonesia secara keseluruhan. Sisanya, 39% responden merupakan Zenius user. Rasio responden yang lumayan berguna untuk membandingkan kebiasaan dan persepsi belajar pengguna Zenius dan bukan pengguna Zenius. Selain itu, antusiasme ternyata tidak didominasi pelajar ibu kota saja, dimana ternyata 66% responden berasal dari kabupaten/kota.

Apa saja yang pelajar lakukan di dalam kelas?

kelas ngapain watermark pelajar

Yang sering dilakukan responden di dalam kelas adalah Merhatiin Guru. Nggak bisa dipungkiri, pengajaran sistem pendidikan Indonesia masih berorientasi pada satu arah, yatu dari guru ke murid. Guru adalah center of attention di kelas. Siswa menunggu instruksi dari guru. Sepertinya jika tidak ada guru, tidak ada belajar. Tapi, tidak dapat diketahui, apakah mereka yang Merhatiin Guru ini benar-benar tertarik dan mengerti dengan apa yang disampaikan gurunya. Atau melakukannya hanya sekadar kewajiban dan takut ditegur Pak dan Bu Guru.

Hal kedua yang dilakukan responden di dalam kelas adalah Mencatat. Ngga tau juga apakah ketika mencatat mereka sudah memahami benar materi yang dicatat atau sekedar menyalin tulisan yang ada di papan tulis atau yang didiktekan guru. Ditemukan juga bahwa pelajar cewek lebih rajin mencatat daripada pelajar cowok meskipun presentasenya tipis. Mungkin ini sengaja dilakukan para pelajar cowok sebagai modus buat PDKT cewek.

Co: “Eh pinjem catatannya dong”.
Ce: “Buat apah?”
Co: “Ya buat disalin lah. Menurut lo?! Mmmmm… buat disalin ajah. Oya sekalian minta id Line lo donk. Kalo mau balikin, nanti gue chat”
Tak lama kemudian mereka jadian. Tamat.

No 3 adalah Diskusi Pelajaran. Hal ini sebaiknya makin sering dilakukan di dalam kelas. Melalui diskusi, kita bisa memperkaya pengetahuan dengan saling bertukar pikiran dan mengetahui apakah pemahaman kita terhadap suatu materi sudah benar atau tidak.

Walaupun top 3 adalah hal yang menyangkut belajar, responden mengaku juga melakukan hal lain yang ga ada kaitannya dengan belajar. Mereka suka Gosip dengan Teman, bukan soal pelajaran. Ya kira-kira ngegosip ala-ala pemain sinetron seputar permasalahan kehidupan remaja kekinian. Selain ngegosip, sebagian responden mengaku gak bisa lepas dari smartphone, mereka juga suka mencuri waktu untuk Main Hape di Kelas. Entah itu buat main game (mulai game yang agak keren dikit CoC sampai dengan Let’s Get Rich), dengerin musik mellow buat mengenang mantan, chatting sama pacar (orang), sampe update status dan foto selfie (yang udah diedit ribuan kali) ke media sosial.

Statistik Belajar Mandiri

Sekolah dan kelas memang tempatnya para siswa untuk belajar. Tapi, bagaimana selepas jam sekolah? Apakah mereka juga meluangkan waktu untuk belajar mandiri tanpa bantuan guru atau tutor les?

statistik belajar mandiri - logo zen

Wah, gue melihat temuan ini dengan ironis, miris, nangis, ternyata di sebelah ada bawang yang diiris-iris. Oke, garing. Tapi serius cuma 30%!? Hellowww!!! Iya sih gue ngerti, sebagai seorang remaja, ada segudang kegiatan lain yang bisa kalian lakukan dan bermanfaat untuk pengembangan diri, selain belajar. Tapi ini cuma 1 jam/hari lho. Gue menerka-nerka beberapa penyebabnya. Mungkin jam sekolah sekarang terlalu panjang dan beban pelajarannya terlalu berat sehingga para pelajar udah capek duluan, jadi ga ada energi lagi buat belajar. Atau..apakah “belajar” udah jadi momok yang membosankan dan malesin sehingga hanya sedikit responden yang mau meluangkan waktu sejam aja per harinya buat belajar mandiri? Tapi jadinya belajar di luar sekolahnya kapan dong. Pas mau ujian aja? Hemh..

Ini kayak lo dateng ke kekasih karena pas lagi butuh aja, butuh duitnya lah, butuh perhatian lah, bukan dateng karena cinta. Dalem…

Trus kalo ngga belajar, mereka ini ngapain aja kegiatannya di luar sekolah?

Kegiatan lain mereka selain belajar?

kegiatan lain watermark

Ternyata eh ternyata. Kebanyakan malah asik Internetan! Sebanyak 71% responden meluangkan waktu minimal 1 jam/hari buat fun browsing. Kegiatan lain no. 2 adalah Ketemu Teman. Melihat pentingnya sosialisasi untuk mengasah kemampuan komunikasi, kayaknya ngga bosen ya ketemu teman di sekolah, di luar sekolah pun masih lanjut nongkrong lagi. Terakhir, 67% responden meluangkan waktu minimal 2 jam dalam seminggu untuk Menyalurkan Hobi, entah itu ekskul sekolah, olahraga, musik, dsb. Moga-moga ngepoin mantan itu ngga dianggap hobi.

Oiya, bocoran dikit nih. Pada survei kemarin, 82% responden mengaku Ngga Pernah Ketemu Pacar. Pantesan niat banget isi survei panjang-panjang, karena ngga ada yang sibuk minta perhatian ya, mblo? :p

Perbandingan jam belajar mandiri user Zenius vs non-user

PART_1-edit-glenn-belajar-sejam-sehari

Masih seputar belajar mandiri. Selanjutnya kita pengen tau nih apakah ada perbedaan antara kebiasaan belajar user Zenius dengan non-user Zenius. Ternyata perbedaannya lumayan mencolok.

User zenius belajar mandiri lebih banyak dan lebih lama (70%) dibanding non-user Zenius. Hanya 30% user zenius yang belajar kurang dari 1 jam per hari. Seperti yang bisa diintip di twitter Zenius, tiap hari ada aja mention dari para user Zenius yang bilang kalo mereka lagi keasikan belajar ditemani Zenius. Video yang menekankan pada konsep membuat learning experience jadi menyenangkan. Kalo istilah mereka sih, “pacaran sama zenius”. Hahaha. Ada-ada aja.

Gue penasaran sama istilah ini. Akhirnya dari salah satu tulisan blog peserta Kompetisi Blog Zenius tempo lalu, gue jadi tau kalo “pacaran sama zenius” itu maksudnya begini:

“Pernah ngga lo terbayangkan kalo laptop bisa ngejelasin lo sebuah materi yang sama sekali ngga lo ngerti dan bahasa nya asik banget lagi berasa ngobrol sama pacar *Ea.”

Lama-lama gue jadi takut nih kalo nanti akhirnya banyak anak-anak yang diputuskan gara-gara mau pacaran ama Zenius :p Okay ada satu lagi alasan mutusin pacar selain “kamu terlalu baik buat aku”.

Selain itu, lewat value yang sering ditekankan Zenius, seperti deliberate practice dan belajar mengandalkan curiosity, kayaknya tidak mengherankan lebih banyak user Zenius yang mau meluangkan waktu untuk belajar mandiri, sekalipun tidak ditemani video Zenius.

Apakah belajar sendiri itu membantu? (Perbandingan Zenius user vs non-user Zenius)

PART_1-edit-glenn-belajar-membantu

Karena sudah terbiasa dan ketagihan belajar mandiri, responden yang merupakan user Zenius lebih merasakan manfaat belajar mandiri dibandingkan non-user. Sementara, 70% non-user Zenius tidak merasa belajar mandiri itu membantu. Keliatannya mereka masih bergantung pada faktor eksternal, seperti adanya instruksi guru atau bantuan tutor les dan teman, baru bisa merasa beneran belajar.

Apa motivasi mereka untuk belajar?

motivasi belajar watermark pelajar

Sayangnya, motivasi utama responden pelajar Indonesia untuk belajar masih didominasi oleh faktor eksternal (motivasi dengan kontrol luar yang tinggi). Seperti yang telah dijabarkan Wisnu tentang apa yang bikin kita termotivasi, motivasi itu terbagi jadi level 0-5. Belajar demi cita-cita, demi orang tua, dan demi nilai bagus merupakan motivasi level 4, 2, dan 3.

Tiap tahunnya, orang tua, guru, bahkan para pelajar sendiri selalu mengeluhkan betapa malasnya mereka. Lalu mereka pusing mencari cara agar bisa tekun belajar. Sayangnya, segala usaha itu dilakukan dengan tujuan agar si anak dapat nilai bagus. Rasanya jarang sekali gue menemukan orang tua, guru, bahkan pelajar itu sendiri yang pengen tekun belajar agar bisa menghargai ilmu pengetahuan itu sendiri.

Level motivasi tertinggi yang didorong dengan faktor intrinsik (kemauan dari diri sendiri buat belajar), Belajar itu Menyenangkan, malah menempati peringkat bontot pada survei ini. Padahal level motivasi ini memiliki tingkat otonomi yang tinggi dan ga membutuhkan kontrol luar. Seseorang yang punya level motivasi ini pasti udah belajar duluan tanpa perlu diiming-imingi hadiah, disuruh ortu, atau hanya sekedar cari nilai bagus. Ketika proses belajar didorong atas kehausan akan ilmu itu sendiri, nilai bagus mah hampir pasti sudah di tangan, orang tua jadi bangga, dan kalian akan berada di right track menuju cita-cita kalian.

Sama nih seperti cinta yang berasal dari dalam hati, ia ikhlas memberi, melayani, dan mengasihi tanpa mengharap balas. #apasih

Belajar itu menyenangkan ga?

PART_1-edit-glenn-belajar-menyenangkan

Responden yang memilih motivasi belajar karena “Belajar itu menyenangkan” mungkin sebagian besar adalah user zenius (60%). Sementara, 60% non-user menyatakan sebaliknya. Sepertinya, selama ini kebanyakan responden non-user Zenius masih study bukan learn, jadi belum mengerti indah dan nikmatnya meresapi sebuah pengetahuan baru.

Apa belajar untuk nilai bagus di sekolah?

PART_1-edit-glenn-belajar-untuk-nilai

Nah, kalo lo lihat sekilas mungkin agak aneh karena justru hanya 60% dari zenius user yang menjadikan nilai yang bagus sebagai tujuan dari belajar. Sementara ada 70% non-user yang menjadikan tujuan dari belajar adalah untuk mengejar nilai. Bagi masyarakat awam yang melihat data seperti ini mungkin berpikir bahwa user zenius malah gak semangat untuk mengejar nilai. Tapi, bagi kami (sebagai institusi pendidikan) justru senang dengan data seperti karena memang selama ini kami (zenius) selalu mengkampanyekan sebuah perspektif baru bagi para pelajar, bahwa tujuan yang paling penting untuk dikejar dalam belajar bukanlah nilai akademis, melainkan ilmu yang didapatkan itu sendiri.

Dari data seperti ini, kita bisa ngeliat bahwa user zenius tidak menjadikan nilai sebagai indikator yang paling utama dalam belajar tapi justru mengejar sesuatu yang lebih penting daripada sekedar nilai akademis, yaitu kesenangan dalam proses belajar itu sendiri.

Apakah merasa lebih jago dalam bidang akademis disbanding teman yang lain?

PART_1-edit-glenn-percaya-diri1

Responden yang merupakan user Zenius lebih percaya diri (40%) mengklaim dirinya lebih jago dalam bidang akademis dibandingkan non-user (30%). Ciee, habis nonton video zenius.net ya semalam..

Apakah puas dengan nilai dan usaha yang dikeluarkan di sekolah?

PART_1-edit-glenn-kepuasan

Sebuah temuan lain yang menurut gue juga cukup ironis. Setelah belajar di sekolah dari pagi sampai sore, lanjut buat bimbel sampai malam (atau malamnya malah asik internetan), 7 dari 10 responden pelajar Indonesia mengaku tidak puas dengan nilai dan usaha yang dikeluarkannya di sekolah.

Fakta ini sebenarnya cukup wajar mengingat masih banyak responden yang belajar karena terpaku pada nilai. Ketika seseorang melakukan sesuatu karena terlalu fokus pada suatu tujuan, biasanya dia akan “menghalalkan” segala cara agar tujuan itu terpenuhi, seperti hanya sekedar menghafal, bikin contekan, hingga menyalin jawaban teman pas ujian. Tidak jarang, hal inilah yang menggagalkan dia mencapai tujuannya. Malahan cara-cara tersebut pada akhirnya tidak akan membuat mereka merasa belajar. Mereka tidak bisa menikmati prosesnya. Jika akhirnya mereka berhasil meraih tujuannya, tingkat kepuasannya rendah, “Oh cuma begini aja”. Ya begitulah, seperti cinta yang mengharapkan pamrih, dia tak akan pernah cukup. Kok cinta-cintaan mulu sih -_-

Life is never about the goals themselves. Life is about the journey. Dan sebagai seorang pelajar, perjalanan itu sudah sepantasnya adalah “bercinta” dengan pengetahuan itu sendiri. Sehingga kepuasan belajar dan bersekolah tidak sekedar buat cari nilai dan mendapatkan sertifikasi kelulusan, tapi kepuasan belajar sesungguhnya adalah ketika kita bisa mempelajari pengetahuan sebanyak mungkin yang didorong dengan rasa ingin tahu dan penghargaan pada ilmu pengetahuan itu sendiri.

****

Nah, itu dia hasil survei Zenius tentang persepsi dan kebiasaan belajar pelajar Indonesia. Menurut kalian, dengan temuan-temuan di atas, apakah pantas dibilang kalo pendidikan Indonesia gawat darurat? Apakah wajar dengan persepsi dan kebiasaan belajar yang dipaparkan di atas, pelajar Indonesia memiliki kinerja buruk pada berbagai riset pendidikan internasional? Untuk mengatakan pendidikan negeri ini gawat darurat, kita memang harus melihat berbagai aspek, mulai dari tidak meratanya persebaran infrastruktur dan akses pendidikan, kualitas guru, sampai masalah-masalah birokrasi. Memang sih, survei ini belum bisa dibilang merepresentasikan kondisi pendidikan di Indonesia secara luas. Cuman, moga-moga survei ini bisa membangun perspektif tersendiri yang baru, terlebih tentang persepsi para siswa tentang belajar itu sendiri.

Di satu sisi, kami juga senang dan cukup bangga karena survei ini ternyata mengungkap bahwa upaya kami (zenius) selama ini tidak sia-sia, terutama dalam hal mengubah paradigma belajar siswa Indonesia untuk tidak memandang belajar sebagai sebuah beban yang harus dilalui dengan penuh keterpaksaan, melainkan justru sebagai sebuah proses yang menyenangkan. Dengan begitu, motivasi belajar tidak lagi bergantung pada faktor luar, seperti guru, orangtua, nilai akademis, dlsb. Tapi, justru motivasi itu otomatis sudah datang dari dalam diri sendiri, tanpa perlu disuruh atau dipaksakan. Semoga semakin banyak pelajar Indonesia yang dapat menikmati proses belajarnya, bukan sebagai sebuah kewajiban tapi sebagai suatu hal yang benar-benar menyenangkan!

Pesan: Jika kamu merasa hasil survei di atas menarik dan patut disebarkan seluas mungkin, silakan comot gambarnya atau share artikel ini ke pihak-pihak yang kamu anggap perlu untuk membacanya, bisa jadi orang tua, penggerak pendidikan, atau teman-temanmu. Semoga hasil survei ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih dan sampai jumpa di infografik selanjutnya 😉

—————————CATATAN EDITOR—————————

Kalo ada yang mau ngobrol lebih lanjut sama Fanny tentang hasil survei di atas, tinggalin aja komen di bawah ini.

Bagikan Artikel Ini!