Konsep Matematika sebagai Bahasa, 4x6 atau 6x4? 9

Konsep Matematika sebagai Bahasa, 4×6 atau 6×4?

Matematika bukanlah sains, tetapi matematika bisa dikatakan sebagai bahasa. Masa sih? Berikut adalah penjelasan konsep Matematika sebagai bahasa.

Kalau lo aktif di social media belakangan ini, pasti foto PR anak SD di bawah ini sempet muncul di timeline lo. Buat yang belum tau, gue ceritain sedikit deh gimana ceritanya foto PR ini bisa viral (baca: nyebar ke mana-mana).

Jadi gini, pada suatu hari, seorang kakak yang baik bantuin adiknya yang masih kelas 2 SD mengerjakan soal matematikanya. Soalnya seperti yang bisa lo lihat di foto di bawah. Berhubung soalnya kelihatannya gampang, si kakak dengan PeDe-nya menjawab apa yang menurut dia bener. Dia kaget banget ketika esok harinya si adik melapor bahwa jawabannya disalahin sama gurunya. Si kakak pun melayangkan protesnya itu di buku si adik, dia foto, terus di-upload ke Facebook. Nah, dari sini lah, akhirnya foto itu menyebar ke mana-mana, termasuk muncul di timeline lo.

PR matematika anak SD

OK. Abis lihat foto itu, komentar lo apa? Sebagian besar komentar sih biasanya nggak jauh-jauh dari ini:

  • Ini gurunya cuma bisa ngikutin buku, ya? 6 x 4 ya sama aja lah sama 4 x 6!
  • Banyak yang ngerasa kalau 6 x 4 sama 4 x 6 itu sama aja, padahal itu beda kalau ngerti filosofi matematika!

Sebenernya Siapa yang Bener? Gurunya atau Si Kakak?

Btw, gue rada penasaran sama pendapat lo. Sebelum lanjut baca artikel ini, isi polling dong, menurut lo siapa sih yang bener. Si guru atau si kakak?

Mana yang menurut kamu paling efektif menghasilkan ingatan jangka panjang?

View Results

Loading ... Loading ...

Jadi siapa yang bener sih? Si Guru atau si kakak?

6 x 4 sama 4 x 6 tentu hasilnya sama aja, yaitu 24. Sifat ini ada namanya: sifat komutatif. Untuk penjumlahan dan perkalian, boleh ditukar-tukar.

A x B = B x A

A + B = B + A

Dengan mengetahui sifat ini, ya harusnya nggak ada bedanya lah ya antara 6 x 4 sama 4 x 6. Berarti harusnya si kakak nggak boleh disalahin dong? Kalau dia mau bilang 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6. Harusnya sama aja dengan 6 x 4?

Nah, hasilnya memang sama aja, tapi kalau kita melihat dari matematika sebagai bahasa, penulisan 4 x 6 itu kurang tepat karena nggak konsisten.

Wait, matematika sebagai bahasa? Emang matematika itu bahasa? Yes. Matematika itu adalah salah satu bahasa. Okay, kayaknya lebih enak gue eksplor sedikit tentang konsep bahwa matematika itu adalah bahasa.

bahasa matematika
Emang matematika itu bahasa? Well, pertanyaan lo bakal terjawab lewat penjelasan di bawah.

Matematika Itu Bukan Science

Banyak orang yang salah kaprah mengira bahwa matematika itu bagian dari science. No, Matematika itu bukan science.

Ilmu-ilmu di science itu harus dibuktikan secara empiris, sementara matematika enggak. Lo harus lihat apa yang terjadi di alam untuk bisa mencari bukti dari teori-teori yang ada di science. Nggak bisa sembarang utak-atik rumus untuk mencari bukti di science, harus ada evidence-nya.

Beda sama matematika. Bukti-bukti di matematika itu diturunkan dari apa yang kita tahu sebelumnya. Misal, kita bisa membuktikan integral dari konsep turunan. Kita bisa membuktikan turunan dari konsep limit dan seterusnya.

Beberapa waktu yang lalu, gue juga nulis tentang membuktikan rumus matematika. Di situ, lo bisa lihat bahwa kita nggak perlu melihat ke alam untuk membuktikan teorema di matematika. Lo cukup menunjukkan bahwa teorema yang lo buktikan itu konsisten dengan teorema sebelumnya. Kata kuncinya di sini: konsisten.

Jadi, di sini lo bisa lihat kalau matematika itu bukan science. Kalau di bahasa Inggris, bukti di matematika dibandingkan dengan bukti di science itu beda. Bukti di matematika itu proof, sementara bukti di science itu evidence.

Matematika sebagai Bahasa

Matematika lebih tepat kalau kita kategorikan sebagai bahasa, karena matematika itu adalah alat kita untuk bisa berkomunikasi dengan lebih baik. Sekarang coba kalau gue tulis gini:

Dua dikali tiga ditambah empat itu berapa, ya?

Bahasa yang kita gunakan itu ambigu banget dan susah dimengerti. Kalau pertanyaan di atas kita ubah ke dalam bahasa matematika, bisa punya dua interpretasi. Yang pertama gini:

2 x 3 + 4 = ?  yang satu lagi gini   2 x (3 + 4) = ?

Keduanya menghasilkan nilai yang berbeda. Yang pertama hasilnya 10 sementara yang kedua hasilnya 14. Inilah sebabnya kita butuh matematika sebagai bahasa yang lebih jelas dan lebih konsisten dibanding bahasa yang biasa kita gunakan sehari-hari.

Kalau lo mempelajari sejarah matematika, lo juga akan melihat bahwa simbol-simbol matematika yang kita gunain sekarang itu sebenernya adalah upaya kita supaya memudahkan kita dalam melakukan operasi-operasi matematika, dan memudahkan kita juga untuk berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa yang sama: bahasa matematika. Gue kasih beberapa contoh aja nih, sekalian ngasih fun facts juga.

  1. Bangsa Maya (di Benua Amerika) yang pertama kali menemukan simbol angka nol di tahun 700. Lo bisa bayangin gimana susahnya Archimedes, Pythagoras, Euclid, dll. nemuin konsep-konsepnya tanpa punya simbol angka nol!
  2. Kita punya simbol akar kayak di √2 baru di tahun 1525.
  3. Kita baru punya simbol “=” (sama dengan) tahun 1557. Kabarnya penemuan simbol sama dengan ini yang mempercepat berbagai penemuan-penemuan berikutnya di matematika.
  4. Baru tahun 1591 kita menggunakan huruf untuk bilangan yang belum diketahui. Nggak lama kemudian Rene Descartes memperkenalkan simbol x, y. Dia juga yang menemukan koordinat kartesius (sumbu x dan sumbu y).
  5. Tahun 1665, Isaac Newton udah melakukan konsep turunan tanpa simbol d/dx. Simbol itu baru diperkenalkan Leibniz 20 tahun kemudian, dan masih banyak lagi….

Okay, poin gue di sini adalah: simbol-simbol yang kita gunakan dalam matematika itu adalah bentuk bahasa. Tanpa simbol-simbol itu, kita akan kesulitan melakukan beberapa operasi yang biasa kita lakukan sekarang. Selain itu, simbol-simbol itu juga mempermudah kita untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Bagaimana dengan Simbol Perkalian?

Sadar nggak sih kalau penulisan perkalian dengan mendempetkan bilangan itu memudahkan kita banget? Coba aja lihat ini:

2 x 5 + 2 x 10 + 5 x 3 = …

Lebih enak mana ngitungnya dibanding ini:

(2)(5) + (2)(10) + (5)(3) = …

Penulisan seperti ini memudahkan kita untuk mengingat bahwa kalau kali sama tambah kalau disandingan, kali harus dikerjakan duluan.

Balik lagi ke 6 x 4 dan 4 x 6, Mana yang Bener?

Kalau kita mau melihat konsistensi dengan matematika yang kita pelajari di tingkat SMP, SMA, dan seterusnya, maka 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 itu lebih tepat dibilang 6 x 4, bukan 4 x 6.

“Lha tapi bukannya 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 itu kan 4-nya ada 6, berarti secara bahasa lebih enak ngomongnya 4 x 6 aja dong bukan 6 x 4?”. 

Nggak juga, coba deh kalo di matematika tingkat lanjut lo mencoba untuk menulis (n + n + n) + 8Pasti lo akan lebih terbiasa menulisnya jadi seperti ini, kan?

3n + 8

Sekarang, kalau ada yang nulis gini gimana:

n3 + 8

Secara esensi, sih, sebenernya sama aja ya. 3n itu 3 x n sementara n3 itu n x 3. Tapi kan n3 nggak enak dilihat. Itu karena kita menganggap bahwa:

n + n + n = 3n (bukan n x 3)

Itulah sebabnya kenapa 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 6 x 4 dianggap sebagai bahasa yang lebih tepat. Tujuannya supaya konsisten aja dengan simbol yang kita pakai di matematika tingkat lanjut. Dengan begitu, kita juga bisa pakai bahasa yang sama untuk kasus-kasus berikut:

  • Gue beli 6 jeruk. Masing-masing jeruk harganya Rp4000,-. Berapa harga jeruk yang harus dibayar? | Jawab: 6 x Rp4000,-
  • Ada 6 mobil yang diparkir di lapangan. Berapa jumlah rodanya? | Jawab: 6 x jumlah roda mobil = 6 x 4 roda

OK. Kalau gitu si guru ya, yang bener? Berarti bener dong kalau guru itu nyalahin jawaban si anak? Nah, bentar… ceritanya belum selesai. Dari tadi gue juga menekankan bahwa permasalahan yang diangkat di sini adalah matematika sebagai bahasa. Artinya untuk kasus ini, ya boleh-boleh aja diperdebatkan. Jadi yang kita perdebatkan itu kan gimana cara menulis perkalian yang benar. Bukan berapa nilai x kalau diketahui x² – 9 = 0 (<— kalau ini jelas nilai x berapa, nggak bisa diperdebatkan)

Memperdebatkan Simbol di Matematika

Simbol matematika yang kita gunakan sekarang ini udah canggih banget. Mungkin kalau para matematikawan zaman dulu bisa ngelihat kita, mereka sirik banget kali. Bayangin mereka dulu susah-susah nurunin persamaan matematika dengan simbol yang seadanya, sementara sekarang kita udah terbantu banget dengan simbol-simbol yang enak dan mudah untuk dipakai. Meskipun begitu, simbol matematika yang ada sekarang ini sebenernya belum bener-bener bagus. Ada aja orang yang masih sebel sama simbol yang kita pakai sekarang karena dianggap masih kurang konsisten.

Contohnya Richard Feynman, peraih nobel Fisika 1965. Di biografinya, dia cerita kalau waktu kuliah, dia sebel banget sama simbol invers. Menurut dia simbol invers itu nggak konsisten. Kurang lebih, inilah yang dipertanyakannya:

Kalau

x^{-1} = \frac{1}{x}

Kenapa

f^{-1}(x)$ itu bukan $\frac{1}{f(x)}?

Kira-kira gitu lah yang diprotes sama Feynman. Akhirnya dia bikin simbol sendiri untuk invers, entah kayak gimana simbolnya.

Selain itu, dia juga bikin simbol matematika sendiri yang lebih konsisten dibanding simbol matematika yang ada. Termasuk simbol turunan di bawah ini

\frac{d}{dx}

Dia bilang dia pengen banget nyoret huruf “d” kalau simbolnya begitu.

Cuma akhirnya Feynman nyerah juga gara-gara temen-temennya pada bingung melihat simbol-simbol yang dia gunain. Jadi Feynman berhasil bikin simbol untuk membantu dia mempermudah melakukan operasi matematika. Tapi Feynman nggak berhasil menggunakan simbol-simbol itu untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Kalau lo mau tau cerita lengkapnya, baca aja sendiri bukunya ya. Judulnya “Surely You’re Joking Mr. Feynman“. Diterjemahin ke bahasa Indonesia jadi Cerdas Jenaka Cara Nobelis Fisika.

Poin gue di sini adalah: Lo boleh memperdebatkan simbol-simbol yang digunakan di Matematika. Feynman melakukan itu dan berhasil kok (setidaknya untuk dia pakai sendiri).

Okay, jadi 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 itu sama dengan 6 x 4. Tapi ini boleh diperdebatkan.

Terus, Jadi Tindakan Si Guru Udah Bener Dong?

Nah, kalau udah ngomongin tindakan si guru harus gimana, sebenernya ini isu yang lain lagi. Itu masuk ke isu pendidikan jadinya, bukan isu matematika lagi.

Kalau menurut gue sih, peran seorang guru untuk siswa yang masih berada dalam tingkat dasar, gak cuman sebatas transfer pengetahuan (knowledge) doang. Sebaliknya, anak SD itu harus dibakar semangatnya untuk belajar, harus dibikin suka sama belajar, dan harus dibangun sikap kritis juga, termasuk kritis terhadap gurunya sendiri.

Kalau si guru nyalahin jawaban siswa dengan memberikan punishment yang malah terus bikin siswa jadi sebel sama matematika gara-gara itu gimana? Sayang banget, kan!

Nggak sedikit lho siswa yang sebel atau bahkan benci sama matematika sampai gede, cuma gara-gara dia gak suka dengan cara punishment oleh gurunya. Padahal mungkin sebetulnya guru bisa memilih cara yang lain dalam menegur, misalnya anaknya dipanggil terus dibilangin kalo jawaban dia bener tapi caranya masih keliru, dan dalam matematika proses berpikir adalah hal yang lebih penting.

Gua rasa dengan cara seperti itu bisa bikin anak SD itu nyadar akan kekeliruannya tanpa dia harus sebel karena ngerasa kerjaan PR-nya gak dihargai sama sekali. Lagian emang udah ada studinya lho, kalo punishment yang semacam ini berdampak negatif ke proses belajar anak dan persepsi diri mereka.

Gue sendiri ngerasa pengertian bahwa 4 x 6 itu berbeda dengan 6 x 4 itu adalah matematika yang rada advanced. Mungkin nggak ya anak SD dipaksa untuk mengerti esensi perbedaannya? Maksudnya bener-bener mengerti loh, bukan cuma terima-terima aja apa yang diomongin gurunya.

Kalau bisa bener-bener mengerti sih bagus. Tapi kalau nggak bisa, kan jadinya si anak cuma disuruh nurut aja jadinya. Nah, yang begini ini yang nggak bagus.

Yah, sebagai penutup, gue mau ambil kutipan dari Plutarch, filsuf kelahiran Yunani yang hidup di tahun 46 — 120 Masehi.

Sebenernya yang Plutarch omongin nggak persis kayak gini sih. Yang gue ambil ini versi simple-nya aja yang lumayan menggambarkan apa yang terakhir gue omongin: Tugas utama guru itu bukan ngejejelin pengetahuan (knowledge), ngebakar semangat untuk jadi doyan belajar itu jauh lebih penting.

“Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire” –  Plutarch, Greek Philosopher

Catatan Editor

Kalo lo ada yang mau ngobrol sama Wisnu tentang matematika, tinggalin komen di bawah artikel ini aja ya.

Sering nemu soal matematika yang sulit kamu jawab? Santai aja boy, nih kenalin ZenBot, temen 24 jam yang siap bantu kamu cari solusi dari masalah matematika! Untuk menjawab soal-soal tentang polinomial, kamu juga bisa manfaatkan fitur dari ZenBot, lho! Tanyain soal yang kamu gak bisa jawab lewat chat WhatsApp ZenBot sekarang atau versi Android atau iOS.

Bagikan Artikel Ini!