Artikel ini menjelaskan bagaimana penggunaan data dan statistika dapat membantu untuk membasmi hoax, beserta contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Guys, pernah ga sih kalian ngerasa gemes dengan berbagai miskonsepsi yang seliweran di kehidupan sehari-hari? Lebih gemes lagi kalo orang-orang yang menyuarakan miskonsepsi itu kekeuh banget dengan argumennya. Udah salah, eh malah ngotot. Hehe.
Apa sih yang kurang di masyarakat kita sampe lumayan banyak orang kemakan hoax, mitos, miskonsepsi, atau apapun itu namanya? Ada ga sih “senjata” yang bisa kita andelin untuk membasmi semua miskonsepsi itu, atau paling enggak bisa menghindarkan diri kita sendiri supaya ga kejebak pada suatu miskonsepsi?
Kalo ngomongin miskonsepsi, sebenarnya ada berbagai macamnya ya. Kebanyakan, miskonsepsi itu muncul karena salah kaprah tentang konsep dasar suatu hal. Misalnya, mitos/miskonsepsi tentang otak itu muncul cuma gara-gara kurangnya pemahaman dasar tentang otak. Adanya miskonsepsi tentang “bahan kimia berbahaya” ya karena orang ga terlalu ngerti konsep dasar tentang zat/bahan kimia. Munculnya miskonsepsi tentang komunisme, liberalisme, dan kapitalisme lagi-lagi karena orang ga ngerti aja tentang prinsip dasar tiap sistem politik/ekonomi tersebut.
Itulah kenapa kalo kita memiliki pemahaman yang kuat mengenai konsep dasar suatu bidang, itu bisa jadi senjata yang bisa diandalkan untuk menghindarkan lo dari miskonsepsi. Lebih lanjut, kalo kita bisa mempromosikan betapa pentingnya pemahaman konsep dasar, maka makin sedikit orang yang bisa kemakan miskonsepsi.
Tapi ada nih jenis miskonsepsi yang nada-nadanya kayak begini:
Ah, rokok itu ga berbahaya kok. Tuh kakek gue perokok berat bisa hidup sampe umur 90 tahun!
Eh, lihat berita terakhir tentang kecelakaan pesawat X Air, ga? Serem ya. Duh, ga aman banget nih naik pesawat..
Dunia ini semakin kacau ya, bobrok segala-galanya!
Orang zaman dulu umurnya lebih panjang daripada orang zaman sekarang
Jumlah populasi perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, dengan perbandingan 4:1
Dan sebagainya.
Kalo lo liat sekilas, mungkin celetukan-celetukan di atas ga perlu pemahaman konsep dasar di fisika, kimia, biologi, dan lain-lain. Celetukan di atas kayaknya cuma hasil observasi kehidupan sehari-hari biasa aja. Eh, atau jangan-jangan ada dari lo yang masih mikir kalo kalimat-kalimat di atas bener? Hayo ngakuu 🙂
Kalo lo perhatikan lebih baik lagi, sebenernya semua kalimat di atas menggunakan sesuatu yang ga kalah pentingnya dari konsep dasar. Benang merah dari kalimat-kalimat di atas adalah penggunaan data. Yep, kalimat-kalimat di atas adalah contoh miskonsepsi yang muncul karena data yang dipake ga bener. Nah, pada artikel ini gue mau kasih tau sebuah cara supaya kita ga kemakan miskonsepsi yang nadanya seperti di atas, yaitu dengan menggunakan statistika.
Buat yang rada lupa dengan apa itu statistika, gue kasih dulu nih definisinya menurut KBBI:
Statistika: ilmu tentang cara mengumpulkan, menabulasi, menggolong-golongkan, menganalisis, dan mencari keterangan yang berarti dari data yang berupa angka.
Biasanya orang-orang kenal statistik “cuma” sebagai salah satu materi pelajaran sekolah. Sewaktu SD, kita mempelajari penyajian data dan pengolahan data sederhana. Sewaktu SMP, kita mempelajari dasar-dasar statistika dan peluang. Di SMA, kita punya segudang konten terkait statistika:
- Kelas 10 Matematika: Penyajian Data (Statistika).
- Kelas 11 Matematika: Statistika Lanjut, Peluang.
- Kelas 12 Matematika: Statistika Deskriptif, Statistika Inferensi.
- Persiapan SBMPTN: Statistika, Probabilitas.
Kemudian ketika kuliah, statistika digunakan sebagai alat bantu pengolahan data skripsi atau berbagai penelitian kampus. Kayaknya kita ga bisa lepas ya dari statistik ini.
Tapi kalo gue liat ya, masih lumayan banyak yang belum ngeh kalo Statistika itu adalah powerful tool yang bisa meningkatkan kesejahteraan banyak manusia dan memajukan peradaban. Saking powerful-nya, pada tahun 2010 dan 2015 lalu, PBB merayakan tanggal 20 Oktober sebagai Hari Statistika Dunia, atau World Statistics Day.
Wah, emangnya sepenting apa sih statistik itu sampai ada hari perayaannya segala?
Nah, di artikel ini, gue mau mengulas berbagai contoh penggunaan statistik pada kasus sehari-hari yang bisa menghindarkan kita dari miskonsepsi yang “membandel”, membantu kita mengambil kesimpulan dan tindakan yang rasional, dan pada akhirnya memajukan kehidupan bermasyarakat. Walaupun hari statistik sedunia ga dirayain tahun ini, gue rasa ga ada salahnya ngangkat topik ini, mumpung masih deket dengan tanggalnya. Hehe. Lanjut baca ya.
Data Bisa Memperbaiki Miskonsepsi Kita terhadap Dunia
Salah satu miskonsepsi yang paling umum adalah:
Dunia yang kita tinggali ini makin lama makin buruk, makin nggak bener, makin kacau, dan sebagainya.
Padahal kalau kita lihat datanya, kualitas hidup manusia itu makin lama makin baik. Dibanding jaman dulu, jaman sekarang hampir segalanya jauh lebih baik, diukur dengan berbagai metrics. Sebagai contoh, Indonesia. Banyak orang beranggapan bahwa Indonesia itu dari dulu sampai sekarang nggak maju-maju. Indonesia masih tergolong sebagai negara berkembang sampai sekarang. Yah, kalau pakai definisi PBB memang bener sih, kita masih masuk dalam kategori negara berkembang, tapi bukan berarti kita nggak maju-maju. Untuk membantah miskonsepsi ini, kita harus lihat bagaimana kemajuan Indonesia saat ini jika dibandingkan dengan zaman dahulu.
Pertama, kita lihat bagaimana keadaan di Indonesia relatif terhadap negara-negara lain pada tahun 1900.
Angka harapan hidup di Indonesia saat itu rendah sekali, yaitu 30 tahun. Artinya, rata-rata orang Indonesia meninggal di usia 30 tahun pada saat itu, karena banyak yang sakit-sakitan. Kita juga miskin, penghasilan per orang hanya sekitar $1198 per tahun. Negara lain, terutama negara Eropa seperti Norwegia dan Swiss itu jauh lebih maju, lebih sehat dan lebih kaya.
Bagaimana kondisi Indonesia setelah kita merdeka? Coba kita lihat.
Masih nggak jauh beda. Agak turun malah. Sementara negara-negara barat udah jauh lebih maju lagi.
Tapi bagaimana dengan sekarang? Kita lihat data Indonesia tahun 2015 yah.
Wuih…. 70 tahun setelah Indonesia merdeka, kita jauh lebih sehat, dengan angka harapan hidup mencapai 71 tahun. Kita juga jauh lebih kaya, dengan pendapatan sekitar $10.500 per tahun per orang (disesuaikan dengan inflasi). Kita ini lebih sehat dan lebih kaya dibanding negara manapun pada tahun 1900. Jadi, kalau dibilang bahwa Indonesia itu nggak maju-maju, ya SALAH BESAR!. (sumber: gapminder)
Selain itu, ada lagi miskonsepsi yang umum terjadi di Indonesia, yaitu tentang
perbandingan antara laki-laki dan perempuan: 1:4
Banyak banget murid gue yang merasa bahwa jumlah perempuan di dunia ini jauh lebih banyak dibanding jumlah laki-laki. Menurut survei yang pernah kita buat, sekitar 80% responden percaya bahwa perempuan lebih banyak dengan perbandingan sekitar 1:2 atau 1:4. Kelihatannya “data” ini sering digunakan sebagai pembenaran terhadap poligami kali ya. Padahal kalau kita lihat data sebenarnya, ya perbandingan yang benar adalah 1:1. Gue pernah membahas hal ini di artikel
Intinya, data yang benar bisa memperbaiki miskonsepsi kita terhadap dunia.
Pengetahuan Kita tentang Dasar-Dasar Statistika dan Probabilitas Juga Bisa Membantu dalam Mengambil Kesimpulan yang Benar
Gue punya contoh menarik untuk menggambarkan hal ini. Bayangkan ada seorang perempuan bernama Linda dengan deskripsi demikian:
Linda berumur 31 tahun, single, orangnya blak-blakan, dan sangat cerdas. Sewaktu kuliah, Linda mengambil jurusan Ilmu Sosial. Linda juga dikenal sebagai aktivis semasa kuliah. Ia peduli terhadap isu-isu diskriminasi dan keadilan sosial. Linda juga beberapa kali terlibat dalam aksi demonstrasi Lumpur Sidoardjo sebagai mahasiswa.
Sekarang Linda sudah lulus kuliah dan bekerja. Menurut lo, mana yang lebih mungkin di antara kedua pilihan di bawah ini:
(A) Linda adalah pegawai bank
(B) Linda adalah pegawai bank dan juga aktivis
Coba lo pikirin dulu, apa jawabannya? A atau B?
Soal di atas, dikenal juga dengan “Linda Problem”, adalah soal yang dibuat oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky pada tahun 1980an (dengan sedikit modifikasi dari gue tentunya). Mereka berdua adalah ahli Psikologi yang selama bertahun-tahun meneliti tentang bagaimana manusia membuat keputusan. Penelitian mereka berdua akhirnya membuat Daniel Kahneman meraih Nobel Ekonomi pada tahun 2002. Kalau Amos Tversky masih hidup, mungkin beliau mendapat Nobel juga.
Kedua ahli Psikologi ini menanyakan soal “Linda Problem” ini ke berbagai orang, dan hasilnya hampir selalu sama: Sekitar 85-90% orang menjawab B, yaitu Linda adalah pegawai bank dan juga aktivis. Padahal kalau kita teliti lagi, harusnya peluang Linda menjadi pegawai bank itu tentu lebih besar dibandingkan menjadi pegawai bank DAN aktivis. Untuk lebih jelasnya, coba kita berpikir dengan menggunakan Diagram Venn. Lingkaran yang sebelah kiri adalah kemungkinan Linda menjadi pegawai bank, sementara lingkaran yang sebelah kanan adalah kemungkinan Linda menjadi aktivis.
Lingkaran warna hijau menunjukkan kemungkinan Linda menjadi pegawai bank.
Sementara daerah berwarna biru menunjukkan kemungkinan Linda menjadi pegawai bank dan aktivis. Di sini kelihatan kan bahwa daerah berwarna hijau lebih luas dibanding daerah berwarna biru. Karena di dalam daerah yang berwarna hijau, ada bagian hijau non-biru (Linda pegawai bank dan bukan aktivis) dan ada bagian yang biru (Linda pegawai bank dan aktivis). Jadi, probabilitas Linda adalah pegawai bank tetap lebih besar.
Nah, kenapa bisa banyak sekali orang yang terjebak dan menjawab B? Itu karena kebanyakan orang terjebak dengan deskripsi Linda yang ada di paragraf sebelumnya. “Hey, Linda itu dulunya kan Aktivis, berarti harusnya kemungkinan Linda sekarang Aktivis juga harusnya lebih gede dong?”, kira-kira begitulah yang ada di kepala kebanyakan orang ketika melihat persoalan ini. Iya, kemungkinan “Linda adalah aktivis” bisa jadi lebih besar dibanding “Linda adalah pegawai bank” kalau mempertimbangkan deskripsi tersebut, tapi tetep nggak akan lebih besar dari pada “Linda adalah pegawai bank DAN aktivis”.
Apa pelajaran penting yang didapat dari persoalan di atas? Salah satunya adalah kita, manusia secara umumnya, gampang sekali terjebak dalam cerita. Cerita itu memang menarik sekali untuk diikuti. Tapi ada kalanya kita harus berhenti hanyut dalam cerita, dan berusaha mengambil kesimpulan secara rasional. Ada banyak sekali kasus di mana cerita sering dijadikan alat untuk mengambil kesimpulan, padahal sebenernya tidak valid. Hal ini juga yang yang disampaikan Tyler Cowen, seorang ahli Ekonomi, dalam TED Talknya, “Be suspicious of simple stories”.
Kecelakaan vs Penyakit
Supaya lebih kebayang kenapa cerita itu bisa misleading, gue kasih contoh lagi deh. Apa jawaban lu terhadap pertanyaan di bawah ini?
Kira-kira, berapa peluang lu akan meninggal karena hal-hal di bawah ini?
(A) Meninggal karena kecelakaan
(B) Meninggal karena penyakit
Banyak orang yang menjawab bahwa peluang mereka meninggal karena kecelakaan kira-kira sama dengan peluang mereka meninggal karena penyakit, jadi banyak yang jawab (A) 50% dan (B) juga 50%. Bahkan, nggak jarang juga orang merasa bahwa kemungkinan meninggal karena kecelakaan itu lebih tinggi. Tapi kalau kita lihat data statistiknya, sebenernya banyakan mana sih, meninggal karena kecelakaan atau meninggal karena penyakit?
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, ada 10 jenis penyakit paling sering menjadi penyebab kematian di Indonesia, yaitu:
- Cerebrovaskular atau pembuluh darah di otak seperti pada pasien stroke.
- Penyakit jantung iskemik.
- Diabetes Melitus dengan komplikasi.
- Tubercolusis pernapasan.
- Hipertensi atau tekanan darah tinggi dengan komplikasi.
- Penyakit pernapasan khususnya Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
- Penyakit liver atau hati.
- Akibat kecelakaan lalu lintas.
- Pneumonia atau radang paru-paru.
- Diare atau gastro-enteritis yang berasal dari infeksi.
(sumber CNN Indonesia)
Hampir seluruh penyebab kematian itu datang dari penyakit. Kematian akibat kecelakaan lalu lintas itu sangat jarang terjadi. Kalau mau tau lebih detil
- Menurut website ini, Mortalitas Indonesia itu adalah 6,34. Artinya, untuk setiap 1000 orang, ada 6,34 orang meninggal setiap tahunnya. Berhubung penduduk Indonesia mendekat 250 juta orang, berarti berapa jumlah orang Indonesia yang meninggal setiap tahun? (hitungan kasar aja yah)
- Berikutnya, menurut website ini, jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas itu adalah 0,015% dari populasi. Berarti berapa jumlah orang Indonesia yang meninggal karena kecelakaan setiap tahun? (ini juga hitungan kasar)
- Berarti dari 1.585.000 kematian tiap tahun, hanya 37.500 kematian yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Berapa persennya tuh?
Ternyata hanya 2,4% kemungkinan kita meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Hampir seluruh sisanya adalah meninggal karena penyakit. Jadi, perbandingannya jauh sekali ya.
Mungkin kita cenderung khawatir dengan kecelakaan karena kita sering mendengar berita tentang kecelakaan di televisi. Televisi jarang sekali memberitakan berita kematian akibat penyakit, karena itu biasa. Tapi kematian akibat kecelakaan pesawat, akibat kecelakaan di jalan tol, akibat kegiatan terorisme, dan sebagainya lebih sering diberitakan di TV dan media-media lainnya. Akibat dari “cerita-cerita” di televisi tersebut, kita jadi lebih takut akan hal-hal tersebut dibanding takut dengan stroke, penyakit jantung, diabetes, penyakit liver, darah tinggi, kolesterol, dan lain-lain. Padahal, penyakit-penyakit tersebut jauh lebih mungkin membunuh kita daripada kecelakaan lalu lintas.
Jadi, daripada takut sama kecelakaan lalu lintas, lebih baik kita takut sama kebanyakan manisan, kebanyakan gorengan, dan sebagainya. 🙂 Gue sendiri udah mengurangi makan yang manis-manis dan goreng-gorengan sih supaya nggak gampang kena penyakit-penyakit itu. Hehe…
Better Data, Better Lives
Dari contoh-contoh di atas, lo bisa lihat bagaimana pengetahuan kita tentang statistika dapat membantu kita mengambil keputusan dengan baik. Kalau kita bisa mengambil keputusan dengan baik, ujung-ujungnya kita bisa memiliki hidup yang lebih baik lagi. Contoh-contoh di atas itu baru contoh yang sederhana. Coba lo bayangin gimana pentingnya statistik ini kalau kita mau membuat dunia menjadi lebih baik lagi. Bagaimana mengurangi tingkat kematian bayi? Bagaimana membuat ekonomi negara makin makmur? Bagaimana cara membuat anak-anak Indonesia lebih cerdas? Dan sebagainya.
Begitu pentingnya statistika ini, sampai-sampai PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) pada tahun 2010 dan 2015 lalu, merayakan 20 Oktober sebagai Hari Statistik Sedunia. Menurut gue nggak berlebihan sih kalau Hari Statistik Sedunia itu dirayakan dengan tagline, “Better Data, Better Lives”. Karena dengan data yang lebih baik, memang bisa membuat hidup kita menjadi lebih baik.
***
Oke deh. Jadi sekarang lo udah tau ya apa yang kurang ada di masyarakat kita sehingga banyak miskonsepsi yang berseliweran dan banyak yang kejebak? Yes, sebagian besar masyarakat kita masih kurang terlalu aware pentingnya penggunaan data dan statistika yang berkualitas. Gue harap artikel ini bisa menginspirasi lo untuk mengandalkan statistika dalam mengambil keputusan sehari-hari dan bisa menularkannya ke lingkungan lo, then we’ll all have better lives 🙂
Oiya, contoh-contoh di atas masih sebagian kecil miskonsepsi karena penggunaan data yang ga bener di masyarakat. Kalo lo ada tau miskonsepsi sejenis, share di bagian komen ya..
—————————CATATAN EDITOR—————————
Kalo ada di antara kamu yang mau ngobrol, diskusi, atau bertanya sama Wisnu tentang penggunaan data dan statistika dalam mengambil kesimpulan yang rasional, langsung aja tinggalin comment di bawah artikel ini ya. Lo juga bisa share contoh miskonsepsi sejenis di bagian komen.
Akhirnya tercerahkan juga. Pantesan gue masih jomblo, padahal kata orang jumlah cewek lebih banyak.
Ini bukan lagi curhat kan ya? Hehe…
Bang nyari data begituan yg valid, dimana ya ? Pasti adakan di indonesia lembaga penyimpan data hasil survei.
Tergantung mau cari data tentang apa sih. Kalau data dunia, biasanya dari World Bank, statista.com, dsb. Untuk artikel di atas, gue pakai data yang udah diolah di situs Gapminder. Kalau data Indonesia, ada di data.go.id, BPS, gitu2. Sekarang ini pemerintah daerah juga udah mulai buka data ke publik, contohnya data.jakarta.go.id. Tapi kalau data hasil penelitian gitu, beda lagi. Itu nyarinya di jurnal2.
Nice artikel kak. Saya sebenarnya udah sadar kalo statistika emg kunci dari masalah miskonsepsi. Tapi kadang emg susah cara data validnya alhasil jadi seliweran . btw artikelnya kece
Thank you Yosua. Iya nih, mencari data itu emang nggak gampang. Dulu waktu zenius baru-baru berdiri, mencari data demografi siswa di Indonesia aja susahnya minta ampun. Sekarang udah jauh lebih baik sih, tapi yah, masih bisa jauh lebih baik lagi. 🙂
Makasih buat artikelnya kak wisnu 🙂 tapi aku masih bingung gimana caranya membedakan data yang valid sama yg gak valid
Nyimak
Salah satu yang bisa dilakukan adalah cross-check sih. Misalnya, kita bandingkan data yang dibuat sama lembaga A sama data yang dibuat sama lembaga B. Kalau ada perbedaan, ya patut dicurigai. Kebanyakan data sih valid karena ketika suatu lembaga ketahuan membuat data yang tidak valid, kredibilitas lembaga tersebut jadi taruhannya. Cuma untuk data yang bermuatan politik, memang perlu hati-hati, karena suka ada kepentingan politik di balik datanya. Tapi itupun bisa di cek, bisa kita bandingkan dengan data dari lembaga lainnya. Jadi, nggak ada masalah juga.
Contoh yg baru2, yg bermuatan politis :
Kata lembaga A,B,C,D,E : Si biru menang
Kata lembaga F : Si merah menang
Nice article Nu.
Di atas udah dijabarin bahwa data dan statistika penting untuk ngilangin miskonsepsi. Dari mana kita sebagai orang awam dapet data-data yang kredibel untuk dijadiin acuan? Sebagai orang awam kan rawan banget tuh kejebax hoax etc.
Thanks yah. Coba cek komentar balesan gue ke Rista Nuna di artikel ini juga deh. Pertanyaannya sama.
Ternyata pertanyaan gue udah dijawab:
“Tergantung mau cari data tentang apa sih. Kalau data dunia, biasanya dari World Bank, statista.com, dsb. Untuk artikel di atas, gue pakai data yang udah diolah di situs Gapminder. Kalau data Indonesia, ada di data.go.id, BPS, gitu2. Sekarang ini pemerintah daerah juga udah mulai buka data ke publik, contohnya data.jakarta.go.id. Tapi kalau data hasil penelitian gitu, beda lagi. Itu nyarinya di jurnal2.”
Hehehe 😀
Ah yg bener Wisnu.. Hehe..
Karena Perdana Menterinya British Benjamin Disraeli pernah bilang: “There are three kinds of lies: lies, damned lies, and statistics.”
Nah lho…karena kebanyakan orang percaya statistik maka cara bohonginnya ya pake statistika.. Miskonsepsi yang meyakinkan justru bisa dibuat oleh statistika, karena salah artiin sih. Paling sering itu menyamakan korelasi dengan kausalitas.
Kayaknya sebelum statistika dijadiin senjata ampuh untuk miskonsepsi, orang2 harus baca salah satu buku best seller statistik sepanjang sejarah: “How to lie with statistics” karya darrel huff.
Kayaknya gue pernah baca buku itu deh waktu kuliah. Isi buku itu bagus juga sih sebenernya. Salah satu yang gue inget adalah untuk kumpulan data yang sama, average itu bisa beda, karena yang satu pakai Mean sebagai average, yang lain pakai Median, tergantung digunakan untuk kepentingan apa. Menarik sih. Mungkin bisa juga kita angkat jadi topik blog sekali-sekali. Thanks udah ngingetin. Hehe… Btw, kalau soal korelasi dan kausalitas, kita pernah bahas juga di sini.
By the way lagi, meskipun buku itu judulnya bagaimana berbohong dengan statistik, sebenernya si pengarang sama sekali nggak bilang untuk jangan pakai statistik lagi. Justru sebaliknya, dia pengen pembaca lebih memahami statistika supaya nggak gampang dibohongi sama orang-orang. Pesannya sama sekali nggak bertentangan dengan pesan di artikel di atas sih.
Terakhir, kalau mau baca buku yang mengulas statistika dan probabilitas secara lebih keren lagi, coba baca Thinking: Fast and Slow-nya Daniel Kahneman deh. Itu seru banget. Tulisan di atas inspirasinya datang dari buku itu juga.
Iya itu judul bukunya bikin orang penasaran padahal penulisnya pingin supaya gunain statistika dgn benar. Kalo orang yg sekedar baca judulnya tapi ga tau isinya bisa jd miskonsepsi “oh jadi statistika itu bisa dipake buat bohong”..
.
Iya wisnu thanks udah diingetin buku ttg thinking : fast and slow itu.. Lg ngincer harga diskon.. Hahahah.. Tp intinya sih udah ngerti. Kebetulan lagi justru itu jadi topik guru matematika di SD anak saya.. Mana yg lebih prioritas: berhitung cepat atau berpikir analitis??
Beuh.. Ini topik jadi kemana2 lagi nih bahasannya..
Tapi masalahnya kalau kita tunjukkan datanya ke orang2 gemar miskonsepsi, nanti dibilang tipu daya kafir
Hehe… kalau bagian ini gue kayaknya nyerah deh. Kalau dia nggak mau dikasih data, kasih senyum aja mungkin? 🙂
Bilang saja, “Saya kafir dan saya bangga”.
Btw, ati-ati kena bacok.
wkwk ini semua kerjaan mamarika dan konspirasi wahyudin
assalamualaikum. bang, gue mau nanya tentang pendapatan perkapita negara kita $10.500. faktanya yang gue baca, kesenjangan pendapatan di negara kita tinggi. artinya perhitungan yang $10.500 itu ngak sesuai dengan dilapangan bang karena kebanyakan harta indonesia hanya dikuasai segelintir orang. gimana tuh bang ??
Pertanyaan bagus nih. Kesenjangan memang nggak bisa diukur dengan income per capita, karena itu hanya melihat nilai rata-ratanya. Inget, rata-rata itu cuma untuk mengetahui di mana pusat datanya. Masih inget nggak pelajaran statistika kita belajar bahwa contoh ukuran pemusatan data itu mean, median, dan modus? Nah, kalau ukuran penyebaran data, kita harus pakai parameter lain lagi kan. Bisa pakai variance, standard deviasi, range, dsb.
Kalau ukuran kesenjangan penghasilan dalam suatu negara, itu biasanya diukur dengan gini index. Nilainya antara 0 sampai dengan 1 (kadang 0-100). Negara yang gini index-nya 0, itu artinya tidak ada kesenjangan sama sekali (semua orang memiliki penghasilan yang sama). Sementara yang gini index-nya 1 (atau 100), berarti kesenjangan maksimum (misal, cuma satu orang yang memiliki penghasilan, sementara lainnya tidak memiliki penghasilan sama sekali). Jadi, makin besar gini index, makin besar kesenjangannya. Nah, menurut CIA World Factbook, gini index Indonesia itu berada di angka 36,8 (skala 0-100). Ini nggak parah-parah banget sebenernya. Negara lain masih banyak yang jauh lebih parah. Kalau lihat petanya di Wikipedia, kita masih di warna hijau muda. Negara-negara yang gini index-nya jelek itu warnanya merah.
Nah, tapi kalau lo tertarik untuk tahu lebih jauh tentang berbagai pembangunan sosial dari segi manusianya, tentu gini index ini pun belum menggambarkan apa-apa. Coba iseng main-main ke gapminder deh terus masuk ke Visualize. Di situ ada berbagai metrics menarik untuk dilihat, mulai dari penggunaan energi, infrastruktur, pendidikan, rasio ibu-anak, dan sebagainya. Asik banget dilihat-lihat untuk tahu gambaran kasar tentang statistik dunia.
Oh iya satu lagi. Income per capita di artikel di atas itu disesuaikan dengan inflasi ya, jadi berbeda dengan nilai sebenarnya.
zen, bikin artikel tentang mutasi atau genetika gitu dong…
Artikel yang menyinggung mutasi pernah kita buat. Bukan mutasi gen sih, tapi mutasi meme. Hehe.. Bayangan lu artikelnya ngebahas tentang apanya? Boleh deh idenya kita pertimbangkan.
Bang kalo soal pencilan dalam statistik gmana? Apa harus dibuang? Atau dipertimbangkan?
Tergantung konteksnya. Pencilan itu terkadang dibuang karena dianggap terjadi kesalahan dalam pengukuran. Tapi ga semua pencilan itu terjadi karena kesalahan pengukuran. Kalau suatu kumpulan data diukur beberapa kali dan pencilannya muncul terus, ga mungkin dong salah ngukur berkali-kali. Yang kayak gitu jangan dibuang datanya.
Heran, pelajaran yang terkadang gue anggap membosankan bisa jadi asik begini kalo udah masuk artikel zenius. Keren banget dah! Ga kebayang kalo gue bisa menikmati semua pelajaran layaknya gue menikmati membaca setiap kata dari artikel zenius 🙂 wkwk
Hehe… thanks ya. Providing great learning experience to students itu memang misi kita. Dan komentar lo yang seperti ini yang bisa bikin kita makin semangat bikin konten. Hehe..
Berarti biar kita bisa menikmati pelajaran, harus tau dulu apa kegunaannya di kehidupan? Begitu kah bang?
Mengetahui kegunaan pelajaran kadang bisa membuat kita tertarik dan menikmati pelajarannya, tapi itu bukan syarat utama. Syarat utamanya adalah: penasaran. Rasa penasaran ini harus muncul dari dalam diri sendiri, nggak bisa dipaksa, nggak bisa disuruh.
Bang wisnu,gw boleh minta line nya nggak?,gw mau tanya2 tentang materi yang gw masih blom paham bang,gw udah usaha buat tanya ke bang sabda tapi kagak di bales2.atau add line gw aj bang farhanc4kra11
Kalau itu, mending join zenius club aja. <- klik link yang ada di situ. Itu forum diskusi khusus untuk anak-anak yang beli Xpedia 2.0. Gue jarang aktif di zenius club sekarang ini, tapi banyak tutor yang aktif di situ. Lo bisa ikutan jawab-jawabin pertanyaan lain di zenius club juga. Aktif nanya dan aktif jawab itu bagus untuk bikin kita makin paham sama pelajaran.
Aktif lagi dong bang,gw udah beli nih bang,gw kan salah satu fans lu bang :v , sering aktif ya bang hehehehe
Thanks bang
Peluang untuk lolos snmptn bisa dihitung ga? :v
Bisa 🙂 Nggak persisi sih. Tapi bisa.
Untuk SNMPTN kita belum lakuin, tapi untuk SBMPTN, ada nih penelitiannya. Misal, anak-anak yang sering nonton konten SBMPTN di zenius.net itu kecenderungan lulusnya lebih tinggi dibanding anak-anak yang lebih suka nonton UN. Base rate-nya bisa dihitung.
Atau yang lebih sederhana deh. Dari 100 anak yang mengambil SBMPTN, cuma 15-19 orang yang lulus. Berarti peluang sembarang siswa untuk lulus SBMPTN itu 15-19%. Grafiknya bisa dilihat di sini. Untuk SNMPTN, lu bisa
Sementara kalau lu adalah pengguna zenius, maka peluang lulusnya adalah sekitar 74–76%.
ka wisnu kalau kita mau di ajarin sama ka wisnu itu bisa prgi nya kmna ya?
soalnya zenius kan lagi tutup tahun ini, apa ada alternatif lain gtu ya buat di ajarin sama ka wisnu, soalnya pengen bgt di ajar sama orang yang berpengalaman dan penuh pengetahun sperti ka wisnu…
Maksudnya zenius-X (bimbelnya) tutup? Iya, bimbelnya memang tutup, karena kita mau fokus pada pembelajaran online-nya. Jumlah siswa yang bisa kita ajarin lebih banyak kan kalau online, bukan cuma segelintir orang. Jadi ya untuk sekarang ini, satu-satunya cara belajar sama gue ya memang belajar melalui medium online ini. Untuk yang kurikulum 2013 revisi (Kurikulum Nasional), konten Fisika gue ada di kelas 10, kelas 11, kelas 12, dll.
bang ada gak sih jurusan yang belajar lbh dalem ttg statistika di indonesia?
STIS mungkin?
Sebenernya sih mau ngambil jurusan apapun, ya harus ngerti statistika sih. Karena statistika adalah alat untuk mengambil kesimpulan yang bener apapun jurusan yang lo ambil. Mau itu jurusan biologi, teknik industri, kedokteran, ekonomi, sosiologi, psikologi, bahkan sastra dan juga seni, pasti menggunakan statistika juga.
Cuma memang jurusan2 tertentu kadang belajar statistikanya lebih advanced lagi. Mungkin kalau ngambil computer science
(informatika, ilmu komputer, gitu2), terus main2 di data analysis, machine learning, etc, ya butuh kemampuan statistika yang lebih advanced.
bang, Linda Problem gakbisa kita simpulin lah .. macam soal TPA aja hahahaha
Emang mirip kayak soal TPA sih, bisa disimpulin. Kalau lo masih bingung, coba bayangin gini:
Pilihan A itu Linda pegawai bank, yang artinya sebagai pegawai bank, dia masih punya pilihan lagi. Jadi pegawai bank dan aktivis, atau jadi pegawai bank dan tidak jadi aktivis.
Sementara, pilihan B itu lingkupnya lebih kecil: pegawai bank dan aktivis.
Googling keyword ini deh kalau mau tau lebih banyak: “Conjuction Fallacy”.
hehe okee deh bang
DUUH kejebak saya wkkwkw
sumpah ganyangka kayak TPA soalnya bang
eh btw itu data HDI ya (?)
Maksudnya yang Linda Problem ya? Hehe. Berarti kejebak sama conjunction fallacy. Ga apa2. Banyak kok yang awalnya kejebak. Yang penting setelah belajar ini, jangan kejebak lagi nanti.
HDI itu maksudnya Human Development Index? Gue ngambil datanya dari Gapminder sih. Disebutin juga kan di artikel di atas. Gapminder sendiri ngambil datanya dari macem2, biasanya World Bank, UN (UNICEF, dsb), dll.
OOT. Duh, jadi penasaran, bang wisnu ngapain aja sih waktu kuliah? otaknya sakaw gituwww..
#KEPO wkwkwk
Haha. Kerjaan gue waktu kuliah? Belajar iya, main iya, nge-band iya, ikut organisasi iya, dsb. Menurut gue, di masa sekolah dan kuliah, yang penting itu explore sebanyak-banyaknya supaya bisa ngebuka pikiran kita. Dibanding temen-temen kampus, gue juga ga termasuk fast-learner kok (contoh, gue baca buku lebih lambat dari pada mereka). Tapi yang penting jangan pernah berhenti belajar, jangan pernah berhenti eksplorasi.
sama seperti biasanya. MANTAB JIWA
Thanks ya. 🙂
Gak afdol kayaknya kalo ngomongin Miskonsepsi dan Statistika tanpa muncul kata “Bayes’ Theorem” :/
Kontennya keren kak, perkenalkan saya Rahmi member zenius skrg udh kuliah di Universitas Brawijaya jurusan Teknik lingkungan. Kak gmn mengubungkan berpikir data & statistik dengan berpikir sistem kak? Soalnya kakak tingkat atau dosen sering bahas “sistem2” sedangkan konsep orang beda2 tentang sistem. Jd gmn supaya bs bangun sistem berdasarkan data2 nanti? Trimakasih kak.
nice article bang..
oiya share recommended books lagi dong zen.. udah mo deket” musim liburan nih wkwkwk
Bang tolong dong yang materi fertilisasi ganda di pelajaran biologi kurikulum 2013 bab pembelahan sel dilengkapin, soalnya materinya belum selesai. Terimakasih bang tolong dibilangin ke bg pras nya yaa
bang wisnu, biasanya cari sumber-sumber untuk buat artikel dari mana aja? kalo untuk cari jurnal situs-situsnya apa aja?
Bagus artikel nya kak.. Thanks atas pencerahan atas miskonsepsinya. Amazing statistika ya kak. hehe
bang agama itu termasuk sesuatu yang butuh data atau nggak?
Kayanya abang baru baca buku “Thinking Fast and Slow” nya Daniel Kahnemann nih =D
Kayanya abang baru baca buku “Thinking Fast and Slow” nya Daniel Kahnemann nih.