Memahami Kondisi "Orang Gila" 17

Memahami Kondisi “Orang Gila”

Mengapa ada fenomena gangguan mental yang sering kita sebut dengan “orang gila”? Penjelasan selengkapnya dari sisi medis dan psikologi dijelaskan di sini.

“Suatu hari, saat aku berada di kantor kepala sekolah, tiba-tiba ruangan menjadi besar, diterangi oleh cahaya listrik mengerikan yang menciptakan bayangan palsu. Aku begitu takut, kewalahan, dan merasa tersesat. Aku melihat sekeliling dengan putus asa untuk mencari bantuan. Aku mendengar suara-suara orang berbicara, tapi aku tidak mengerti arti dari suara-suara itu. Suara-suara itu seperti metal, tanpa arti dan tanpa warna. Hal ini terus berulang di kepalaku. Sangat absurd.”

– kutipan pengalaman seseorang yang mengalami halusinasi

Halo pembaca setia Zenius Blog. Kembali lagi bersama gw, Virgie. Beberapa waktu yang lalu, gw sempet menulis tentang depresi dan mengulik lebih dalam apa bedanya sedih biasa dan depresi. Gw cukup senang dengan respons yang masuk. Gw juga menerima beberapa curhatan dari para pembaca Zenius yang ketakutan apakah dia “hanya” sedang stres, jatuh depresi, atau jangan-jangan sudah gila? 😮

Di dunia psikologi dan medis, kondisi yang biasa kita sebut “gila” memiliki istilah “Schizophrenia”, gangguan mental yang salah satu gejalanya adalah mengalami halusinasi (mendengar suara yang tidak berbunyi dan melihat sesuatu yang tidak terlihat) seperti kutipan di awal artikel. Kalo kita ngomongin “gila”, mungkin yang biasa kebayang di kepala kita adalah “orang gila” di jalanan. Mereka biasanya gak peduli penampilan (bahkan telanjang), jalan-jalan tanpa juntrungan, ada yang ketawa sendiri, ada yang diem bengong tampang kosong, kurus banget, gak terawat, dan gak bisa diajak komunikasi.

Tapi apa betul yang dimaksud gila adalah yang seperti itu? Eits, jangan buru-buru generalisasi dulu. Ternyata terdapat beberapa kasus menarik, di mana ada juga lho orang yang didiagnosa dengan schizophrenia tapi akhirnya bisa menjalani hidup dengan normal, bahkan bisa berprestasi. Buat yang udah pernah nonton film A Beautiful Mind (2001), mungkin sempat dengar seorang ilmuwan bernama John Nash yang diperankan oleh aktor kawakan Russell Crowe. John Nash adalah seorang ahli matematika dari Amerika yang didiagnosa dengan schizophrenia tetapi pada akhirnya bisa hidup normal dan mampu menyabet hadiah Nobel atas karyanya di bidang ilmiah. Film ini sangat gua rekomendasikan untuk ditonton. Karena selain memenangkan 4 piala Oscar, film ini bisa menjadi media yang bagus untuk semakin memahami kondisi orang yang menderita schizophrenia.

Wah, ternyata kondisi schizophrenia itu tidak hanya bisa kita temukan pada sosok “orang gila” yang biasa kita lihat di jalanan ya. Secara medis, sebetulnya orang yang terdekat atau mungkin diri kita sendiri bisa aja jatuh jadi schizo. Sebagai profesional yang berkecimpung di bidang kesehatan mental, gw rasa pemahaman dan keprihatinan kita terhadap kesehatan mental di Indonesia sepertinya masih sangat perlu ditingkatkan.

Nah, untuk memperjelas apa yang dimaksud schizo dan ga asal main diagnosis sendiri, gw mau cerita panjang lebar nih tentang Schizoprenia. Sebuah gangguan mental yang mungkin paling banyak dikelilingi stigma dan kesalahpahaman. Barangkali karena lumayan langka (diderita 1% penduduk dunia) dan gejala yang timbul itu emang bisa dibilang super aneh bagi persepsi orang pada umumnya, schizophrenia menimbulkan lebih banyak keresahan di media, masyarakat, bahkan di institusi kesehatan dibanding gangguan mental lain. Adakalanya orang schizophrenia dicap sebagai tukang cari perhatian, pembohong, pembawa sial, kerasukan setan, orang yang kena kutukan, dan sebagainya. Alhasil, ga jarang para penderita gangguan mental ini menerima perlakuan yang ga manusiawi.

Kenapa sih orang bisa sampe gila kayak gitu? Kenapa ada orang yang sampe kehilangan pikiran dan jati dirinya, sampai-sampai melakukan hal di luar batas kewajaran manusia pada umumnya? Apa sih yang ada di kepala mereka?

Pada kesempatan kali ini, gw akan mengupas apa itu schizophrenia, kriteria diagnosisnya, siapa aja yang berisiko menderita schizophrenia. Dan yang lebih penting lagi, gw ingin menunjukkan bahwa orang dengan schizophrenia bukanlah cacat karakter atau miskonsepsi lain yang biasa melekat pada penderitanya. Schizophrenia adalah gangguan fungsi di otak yang menyebabkan seseorang sulit mempertahankan akal sehatnya.

Memahami Kondisi "Orang Gila" 18

Apa itu Schizophrenia?

Berasal dari Bahasa Yunani Skhizein, yang berarti pecah (split) dan Phren yang berarti pikiran (mind). Secara harafiah, schizophrenia artinya pikiran yang pecah. But wait, itu enggak sama dengan kepribadian ganda (multiple personality disorder) seperti yang diceritakan dalam novel 24 wajah Billy. Jadi jangan disamakan ya, itu kategori gangguan yang berbeda lagi. Mungkin pada tulisan berikutnya akan gw coba bahas. Pikiran yang pecah di sini maksudnya terpisah atau hilang kontak dengan realita.

Bagaimana kita bisa menentukan seseorang menderita schizophrenia atau enggak?

Ada beberapa gejala yang mesti diperhatikan untuk bisa mendiagnosis schizophrenia:

1. Delusi

Bedakan delusi dengan ilusi ya, ilusi itu mah kalau kita nonton atraksi sulap. Delusi atau waham, adalah keyakinan yang gak masuk akal, tetapi orang yang memiliki waham tersebut sangat yakin bahwa apa yang dipercayainya (wahamnya) itu benar. Beberapa contoh yang delusi yang biasa diyakini pada pasien schizophrenia yang gw temukan sendiri di lapangan:

  • Pasien A yakin kalo mantan pacarnya berusaha membunuhnya. Terus dia paranoid, dikit-dikit pegang pisau. Setiap orang yang dia temui, dia yakini sebagai mantannya yang mau ngejahatin dia.
  • Pasien B yakin kalo dia adalah dewa yang bisa menyelamatkan orang dari neraka.
  • Pasien C yakin kalo boneka bayi yang dia pegang dan gendong adalah anaknya beneran. Dia pernah hamil dan anaknya meninggal. Sejak saat itu dia ga bisa terima kenyataan. Jadi boneka bayi itu dielus-elus, dimandiin, dan sebagainya.

2. Halusinasi

Halusinasi juga sering diartikan sama ilusi, tetapi bukan ya! Halusinasi adalah adanya perubahan eksternal yang diterima oleh organ sensorik kita (melihat, mendengar, atau merasakan sentuhan) TANPA adanya stimulus yang nyata. Jadi kalo ada orang melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang sehat yang lain, menurut analisis medis, orang itu berhalusinasi. Begitu juga dengan yang mendengar suara yang yang tidak bisa didengar orang sehat lain.

Tapi tolong bedakan dengan suara pikiran sendiri yang dikendalikan oleh kita ya. Setiap hari, pasti kita suka mendengar pikiran sendiri atau sambil bergumam sendiri, “Ah, ntar siang makan nasi padang aja deh.” Sedangkan, suara pada pasien schizo terdengar begitu NYATA sampai ia tidak bisa membedakan suara itu bener ada atau enggak.

Kasus yang cukup sering dengan penderita schizophrenia adalah mereka mendengar suara-suara yang menyuruh mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak masuk akal. Pengalaman gw sendiri di lapangan adalah pasien schizophrenia yang beberapa kali melakukan percobaan pembakaran gedung karena mendengar suara-suara yang menyuruhnya untuk membakar rumah. Pada beberapa kasus lain, ada juga orang tua yang mendengar suara yang menyuruhnya membunuh anaknya sendiri. Serem kan! Maka dari itulah jika ada kasus pembunuhan dan si tersangka mengatakan ada suara yang menyuruh dia untuk melakukan tindakan tersebut, evaluasi psikiatri perlu dilakukan.

3. Bicara ga teratur

Ngomong ngelantur, ngomong sendiri, ngomong kata-kata yang ga jelas dan ga bisa dimengerti orang lain juga merupakan salah satu gejala dari schizophrenia.

4. Gejala negatif (defisit fungsi)

Ini merupakan salah satu gejala yang cukup menarik, di mana penderita schizophrenia tidak bergerak, ga banyak ngomong, diam saja kayak patung, ga ada ekspresi.

Jika seseorang mengalami minimal dua gejala di atas atau lebih DAN berlangsung selama lebih dari satu bulankemungkinan besar orang tersebut menderita schizophrenia.

Gejala-gejala di atas bisa sangat mengganggu sampai menghambat kemampuan seseorang untuk fokus, mengingat sesuatu, dan melakukan aktivitas dasar sehari-hari. Bisa juga jadi sebegitu destruktif-nya sampai membuat seseorang kewalahan mempertahankan akal sehatnya.

Lo bisa pantengin nih 2 video di bawah. Video pertama merupakan penuturan pengalaman sekaligus diagnosis gejala pasien schizophrenia. Video kedua menggambarkan sebuah eksperimen sosial pada orang normal yang mensimulasikan betapa mengganggunya halusinasi dan tekanan yang biasa dirasakan orang schizo. 

Mungkin ga sih kita mengalami gejala-gejala di atas, tapi gak schizophren?

Bisa saja. Itu yang disebut dengan gangguan psikotik, di mana gejala-gejala schizophrenia muncul tetapi belum berlangsung sampai 1 bulan.

Seseorang bisa jadi psikotik dikarenakan banyak hal, seperti karena di bawah pengaruh konsumsi narkotik atau psikotropika, obat perawatan dari dokter, sampai karena stress yang sangat berat dan akut (tiba-tiba tapi singkat), atau stress/depresi ringan yang terjadi secara kronis (berlangsung lama) dan akhirnya didorong oleh suatu peristiwa bisa bikin orang mengalami halusinasi.

Gangguan psikotik akut bisa hilang sendiri dalam 1 bulan dan orangnya bisa kembali normal. Tapi kalo masih berlanjut 1 bulan lebih, bisa mengarah ke kondisi schizophrenia. That’s why, penting banget untuk mengontrol stres serta menangani depresi agar tidak menimbulkan efek yang terlalu berlebihan, and of course stay away from drugs!

Siapa saja yang berisiko menderita schizophrenia?

Schizo bisa menyerang siapa saja. Ini adalah gangguan mental yang tidak memandang ras atau jenis kelamin. Ada beberapa faktor yang meningkatkan risiko seseorang mengidap schizophrenia.

1. Genetik

Seperti gangguan mental lainnya, genetik cukup berperan dalam schizophrenia. Salah satu bukti yang mendukung genetik mengambil peran dalam schizophrenia adalah berbagai studi pada bayi kembar identik. Studi tersebut menyimpulkan bahwa pada bayi kembar identik (monozigotik, berasal dari satu sel telur), jika salah satu menderita schizophrenia maka kemungkinan saudara kembarnya untuk menderita schizophrenia adalah 50%.

Dengan kemajuan teknologi dan berbagai sistem untuk menganalisa genome atau gen kita, muncullah beberapa nama gen yang menjadi topik menarik untuk memahami schizophrenia, diantaranya DISC1, PDE4B, NCAM1, dan lain sebagainya. Penelitian masih berlangsung untuk memahami peranan gen ini dalam proses patologi schizophrenia. Harapannya, dengan semakin mendalami bagaimana mereka bekerja dan berinteraksi dengan lingkungan, kita bisa mencegah atau mengobati penyakit ini.

2. Faktor Lingkungan

Perlu diingat bahwa genetik tidak berdiri sendiri. Faktor lingkungan, seperti stres berat dan gangguan pada proses persalinan yang pada akhirnya berinteraksi dengan faktor genetik ikut berperan.

Studi epidemiologi menunjukkan hubungan antara komplikasi saat persalinan dengan schizophrenia. Komplikasi saat proses melahirkan (ya bisa dibayangkan kan sulitnya bersalin pada sebagian orang dan sebagian lagi mudah-mudah saja) bisa menyebabkan pendarahan dan kekurangan oksigen. Jika komplikasi ini terjadi dan berjalan cukup lama sampai timbul gangguan maka bisa menjadi salah satu faktor si bayi untuk menderita schizophrenia ketika dewasa.

Penelitian lain juga menyebutkan bahwa anak yang lahir dalam cuaca banyak penyakit (let’s just say, musim dingin di luar negeri dan musim batuk pilek di Indonesia), lebih rentan terkena virus. Bisa diasosiasikan infeksi virus atau bakteri pada ibu hamil dan bayi meningkatkan resiko terjadinya schizophrenia pada usia dewasa.

Kalo udah tahu gini, para pembaca zenius yang nantinya akan berkeluarga, jangan lupa untuk menjaga kesehatan pribadi dan lingkungan, apalagi kalau sedang hamil ya. Selain bisa menyerang tubuh kita (fisik); kuman, virus, atau mikroorganisme lainnya bisa secara tidak langsung menyerang pikiran kita.

3. Faktor Kejeniusan?

Sejak film Beautiful Mind dirilis, mulai banyak pihak yang mengaitkan schizophrenia dengan kejeniusan. Apakah orang schizophrenia itu jenius? Atau orang jenius itu ada kecenderungan untuk schizophrenia?

Ide yang mengaitkan schizo dengan kecerdasan mungkin pertama kali berasal dari sebuah studi pada tahun 1970 di Islandia yang mencentuskan hipotesis bahwa ada beberapa gen-terkait-schizophrenia yang berperan dalam stimulasi otak atau, dengan kata lain, meningkatkan intelegensi seseorang.  Akan tetapi, studi pada beberapa tahun terakhir malah menunjukkan hal sebaliknya, di mana schizophrenia menyebabkan penurunan fungsi hipokampus, gangguan sinyal saraf, atau dengan kata lain penurunan kecerdasan. Jadi mana yang benar? Yah, para ilmuwan masih berdebat soal ini.

Apa isi kepala orang schizophrenia?

Berkembang pesatnya neurosains (ilmu tentang saraf) memberikan kita sebuah pengetahuan dan perspektif baru yang sangat berharga. Kita jadi tau bahwa orang dengan schizophrenia ternyata mengalami gangguan fungsi di otakNeurosains memungkinkan kita “mengulik” isi kepala (otak) penderita gangguan mental dan menelusuri perubahan neurobiologis yang terjadi. Interaksi antara faktor genetik, stres berat, dan komplikasi persalinan ternyata bisa memicu ketidakseimbangan senyawa kimia di otak yang menjadi penyebab dasar schizophrenia.

Kalo kita ngomongin fungsi di otak, kita perlu flashback ke pelajaran Biologi tentang saraf yang kalian pelajari di kelas 9 SMP dan kelas 11 IPA SMA. Coba deh tonton video penjelasan Pras di zenius.net tentang sistem saraf berikut ini, khususnya di menit 9-12.

Gw recap dikit ya. Rangsangan dari lingkungan atau IMPULS yang masuk ke suatu SEL SARAF (NEURON) akan diterima oleh DENDRIT dan diteruskan ke badan sel. Dari badan sel, impuls akan diteruskan oleh AKSON menuju sel neuron lainnya. Impuls akan sampai ke bagian SINAPSIS yang merupakan daerah pertemuan antara ujung akson dari neuron yang satu dengan dendrit dari neuron lainnya. Pada celah sinapsis, akan dilemparkan senyawa kimia NEUROTRANSMITER yang berperan mengirimkan impuls ke neuron selanjutnya.

Neurotransmiter ini terbagi menjadi 2 sifat:

  • Eksitasi (excitation, gampangnya ingat aja kata excited atau excitement) yang sifatnya meningkatkan impuls. Kalau neuron diibaratkan sebagai mobil, neurotransmiter eksitasi ini kayak gas yang mengaktivasi neuron. Contoh senyawa kimia neutransmiter yang meningkatkan impuls: asetilkolin, adrenalin, dopamin, glumatat, dll.
  • Inhibisi (inhibition) yang sifatnya menghambat impuls. Kalau neuron diibaratkan sebagai mobil, neurotransmiter eksitasi ini kayak rem yang men-deaktivasi neuron. Contoh senyawa kimia neutransmiter yang menghambat impuls: GABA dan dopamin.

Nah, gangguan otak yang diduga (hipotesis) menyebabkan schizophrenia adalah ketidakseimbangan senyawa neurotransmiter, si chemical messenger dalam proses penghantaran impuls di sistem saraf kita. Jadi yang seharusnya “nge-gas” biar impuls diproses, eh ga bisa digas. Yang seharusnya “direm”, eh impulsnya malah diterusin. No wonder, timbul “behaviour baru” yang seharusnya ga ada, seperti halusinasi dan delusi. Atau hilang fungsi yang seharusnya ada, yang biasanya ditemukan pada pasien schizo dengan gejala negatif.

1. Hipotesis Dopamine

Gejala psikosis halusinasi, delusi, dan bicara ga teratur pada pasien schizo disebabkan karena terlalu banyaknya dopamin di daerah mesolimbic otak (berperan dalam pembentukan motivasi dan fungsi kognitif) yang mengakibatkan hiperaktivitas bagian otak tersebut. Gejala negatif pada pasien schizo disebabkan karena terlalu sedikitnya dopamin di di daerah mesocortical otak yang berfungsi mengatur kognisi dan emosi sehingga mengalami hipoaktivasi.

dopamine pathway

2. Gangguan fungsi Glutamat

Pada pasien schizophrenia, terjadi penurunan fungsi reseptor untuk glutamat (neurotransmiter eksitasi).

3. Gangguan fungsi GABA

GABA (Gamma aminobutyric acid) sifatnya inhibisi. Penderita schizophrenia memiliki gangguan pengaturan GABA di prefrontal cortex, bagian otak yang mengatur eksekusi dan planning kita. Kerusakan atau gangguan pada bagian ini menyebabkan seseorang sulit untuk mengatur rencana-rencana atau planning konkret ke depannya.

Penelitian terakhir juga mengindikasikan keterlibatan sistem kekebalan tubuh kita dalam proses timbulnya penyakit ini. Singkatnya, ketika ada kuman/virus/bakteri menyerang tubuh kita, maka sistem imun akan teraktivasi den terjadilah komunikasi antara sistem imun tubuh dan sistem imun otak. Aktivasi sistem imun otak kadang menyerang sel neuron itu sendiri sehingga terjadilah di prefrontal cortex dan striatum.

Bagaimana cara mengobati pasien schizophrenia?

Sebelum ilmu pengetahuan semaju sekarang, berbagai macam terapi yang (kita di masa sekarang akan melihatnya) kurang manusiawi dan (ternyata) ga efektif, diaplikasikan ke penderita schizophrenia. Beberapa contoh terapi tersebut mulai dari dikurung di instansi dan gak diapa-apain, disemprot air, sebagian otaknya dioperasi dan diangkat, disetrum, dikasi insulin dalam jumlah banyak yang bikin si pasien keringetan, kejang, sampe koma, macam-macam deh! Itu semua dilakukan ketika manusia belum mengerti penyakit ini secara mendalam sehingga cara penanganannya juga ngaco dan ga membantu secara efektif sama sekali.

Itulah kenapa gw sangat bersyukur atas kemajuan teknologi dan farmasi sehingga hal-hal mengerikan dan tidak manusiawi seperti itu gak perlu terjadi lagi, setidaknya di lingkungan profesional medis. Pengobatan schizophrenia pada saat ini berfokus pada penanganan gejalasa psikotiknya (delusi, halusinasi, dan lain-lain). Obat-obatan yang diberikan berupa obat anti-psikotik seperti chlorpromazine, clozapine, haloperidol, dan lain-lain.

Gw gak akan bahas obat anti-psikotika secara detail. Pada prinsipnya, obat-obatan ini bertujuan untuk mengatur fungsi dopamin (yang gak seimbang sesuai yang sudah disebutkan di atas) supaya kembali menjadi seimbang. Jika fungsi dopamin bisa diseimbangkan, diharapkan gejala psikosis mereda dan si pasien bisa mulai keep in touch lagi dengan realita. Jika mereka sudah tenang dan fase akut sudah lewat, mereka bisa ikut terapi psikologi yang membantu menata pikiran mereka. Mereka bisa berfungsi kembali dan kondisi tersebut tetap bisa dipelihara. Kualitas hidup pasien membaik dan menjalani keseharian secara normal.

Lo bisa tonton nih video pengalaman salah seorang schizophrenia survivor.

Sayangnya, di zaman modern ini, masih terdapat beberapa kelompok masyarakat yang belum update terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terkini karena alasannya masing-masing. Dengan terbatasnya informasi, mereka mungkin benar-benar takut dan kewalahan melihat dan menghadapi gejala psikosis orang schizoprenia yang asing, sangat tidak masuk akal, dan meresahkan. Pada kelompok masyarakat ini, ga jarang kita temukan orang dengan gangguan mental, khususnya schizoprenia, masih diperlakukan secara memilukan, mulai dari dilempari batu, dikucilkan, ditelanjangi, dikurung di ruangan yang tidak layak, dipasung, tidak dirawat, dianiaya, dan sebagainya.

42pasung orang gila
Seorang penderita schizophrenia yang dipasung

Lebih memilukan lagi, baru-baru ini media internasional sekelas Washington Post merilis sebuah artikel yang menunjukkan potret kehidupan orang dengan gangguan mental di Indonesia di sini. Warning, the article is NSFW. Read at your own risk.

Bagaimana sebaiknya kita bersikap terhadap orang dengan schizophrenia?

Pada awalnya ketika kita melihat seseorang di jalanan, compang-camping, bahkan telanjang, aneh, ngomong sendiri; mungkin kita takut. Itu manusiawi. Namun, setelah membaca cerita panjang lebar di atas, gw harap lo udah cukup bijak untuk ga bertindak agresif atau memprovokasi duluan, alias cuekin aja. Kalo memungkinkan, baiknya laporkan ke Dinas Sosial setempat. Begitu juga kalo kita mengetahui orang terdekat kita yang dicurigai menderita schizophrenia. Sebaiknya kita tidak melakukan hal atau mengucapkan kata-kata yang hanya malah meragukan atau membebani kondisi mereka. Kita bisa membantu mereka dirujuk ke tangan profesional.

Kalo ditanya, apakah orang dengan schizophrenia berbahaya? Sebenarnya tergantung gejala psikosisnya sih. Kalo gejalanya lebih ke yakin bahwa dirinya adalah Taylor Swift, masih harmless lah. Tapi kalo gejala psikosisnya adalah halusinasi suara untuk membakar gedung, ya jelas berpotensi mencederai orang lain.

Tapi dengan memiliki pemahaman neurobiologis, kita bisa lebih jauh melihat bahwa orang yang berada di jalanan itu pernah normal, pernah berkeluarga, pernah berperan buat negara kita. Orang tersebut bukan berarti tidak bisa berfungsi lagi seperti kita, mereka hanya kurang beruntung dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Mereka adalah korban dari pikiran mereka sendiri, terpenjara di dalam kerusakan komunikasi antara neuron (syarat) otak yang satu dan yang lain. Jati diri mereka diambil, dipuntir, dan kadang mereka sendiri gak sadar akan hal itu. Kalau kita sakit perut, kita bisa ke dokter minta obat sakit perut, besoknya bisa langsung sembuh. Berbeda pada orang dengan gangguan mental, apalagi schizophrenia. Kemungkinan mereka akan denial sampai kehilangan akal sehatnya. Orang dengan schizophrenia tidak bisa ditolong dengan dikurung, dirantai, atau dipasung. Mereka butuh terapi berupa obat-obatan dan dukungan psikologis secara kontinu.

Melalui tulisan ini, gw berharap semakin banyak lagi masyarakat Indonesia, khususnya para intelektual muda seperti pembaca setia Zenius Blog, yang semakin melek dengan isu gangguan mental, khususnya schizophrenia. Mereka ada di sekitar kita. Orang yang kita sayangi atau bahkan diri sendiri bisa saja jatuh ke jurang itu. So, don’t be against the people but help fighting the disease. 🙂

Referensi 
https://grey.colorado.edu/CompCogNeuro/index.php/CCNBook/Neuron
http://www.dialogues-cns.org/publication/lifetime-stress-experience-transgenerational-epigenetics-and-germ-cell-programming/
http://psychopharmacologyinstitute.com/antipsychotics-videos/dopamine-pathways-antipsychotics-pharmacology/
Fatemi SH, Folsom TD. The Neurodevelopmental Hypothesis of Schizophrenia, Revisited. Schizophrenia Bulletin. 2009; 35(3):528-548. PMC.
Video : early symptoms of schizophrenia https://www.youtube.com/watch?v=YRMo6DnNdnM
Karlsson JL. 1970. Genetic association of giftedness and creativity with schizophrenia

—————————CATATAN EDITOR—————————

Kalo ada di antara kamu yang mau ngobrol atau diskusi sama Virgie tentang schizophrenia, silakan langsung aja tinggalin komentar di bawah artikel ini.

Bagikan Artikel Ini!