Apa Bedanya Sedih Biasa dengan Depresi?

Apa Bedanya Sedih Biasa dengan Depresi?

Depresi adalah sebuah penyakit yang sering dianggap remeh. Artikel ini membahas depresi secara detil, termasuk penyebabnya dan juga cara mengatasinya.

Halo pembaca setia zenius blog. Gimana nih kabar Ujian Nasionalnya kemarin? Semoga hasilnya oke ya. Walaupun UN SMA 2016 udah seminggu berlalu, gw rasa sebagian besar dari kalian masih mengistirahatkan otak sebelum belajar mati-matian lagi buat persiapan ujian masuk PTN.

Nah, untuk menemani kalian bersantai, gw pengen cerita tentang sesuatu yang umum nih dan mungkin dekat dengan keseharian kalian. Tentang suatu penyakit yang lumayan umum terjadi di masyarakat luas (menurut WHO, kira-kira 350 juta penduduk dunia menderita penyakit ini). Suatu penyakit yang bisa diderita oleh siapa saja, terlepas dari ras, umur, jenis kelamin, dan lingkungan; penyakit ini bisa menyerang semua orang gak pandang bulu. Suatu penyakit yang efeknya ga main-main, mulai dari membelenggu potensi cemerlang seseorang hingga tidak jarang mengantarkan ke akhir hidupnya. Tapi sayangnya, karena gejalanya “tidak terlihat”, penyakit ini masih sangat diremehkan, dianggap bukan penyakit, malah sering dianggap “tidak ada”. Penyakit ini merupakan gangguan mental bernama DEPRESI.

Kalo denger kata depresi, kita mungkin sering mengasosiasikannya dengan kesedihan. Sedih itu wajar. Jika kita gagal dalam percintaan, gagal dalam ujian, atau baru saja kehilangan anggota keluarga yang kita sayangi; tentu saja kita sedih.

  • Lalu, apa artinya semua orang yang sedih pasti akan jadi depresi? Tentu tidak.

  • Apakah depresi itu sama dengan istilah ratu lebay, drama queen, caper? Juga tidak.

  • Apa lo punya teman atau mungkin lo sendiri suka murung ga jelas, males-malesan, suka khawatir berlebihan, sampe kepikiran untuk mengakhiri hidup?

Nah, pada kesempatan kali ini, Zenius Blog ingin mengajak kalian untuk memahami kondisi orang-orang yang tengah jatuh ke jurang depresi. Apa sih bedanya sekedar sedih dengan depresi? Apa artinya depresi? Kenapa sih orang depresi susah untuk berpikir positif? Gimana caranya kita bisa membantu orang depresi agar bisa kembali ceria dan menjalani kehidupan sebagaimana biasanya? Semuanya akan gue ceritain di sini.

Oh iya, sebelum gw lanjut cerita, kita kenalan dulu yuk. Nama gw Virginia Prameswari, biasa dipanggil Virgie. Gw mengambil gelar Sarjana Kedokteran dan program profesi dokter di Universitas Kristen Indonesia. Saat ini, gw sedang menempuh studi pascasarjana untuk bidang Integrative Neuroscience di Otto von Guericke University – Magdeburg, Jerman.

Pada kesempatan ini, gw tertarik jadi guest blogger Zenius untuk bercerita tentang depresi karena sangat erat kaitannya dengan bidang yang gw geluti saat ini, yaitu neurosains (ilmu tentang sistem saraf). Neurosains membantu meningkatkan pemahaman terhadap penyakit/gangguan mental, seperti depresi, yang mungkin masih dikira merupakan hanya ranah kajian psikolog dan psikiater. Dengan tambahan perspektif dari neurosains, gangguan psikis/mental yang tadinya masih dilihat sebagai sesuatu yang “abstrak”, kini bisa dibedah secara klinis. Neurosains bisa membedah gangguan mental hingga ke struktur otak penderita, interaksi genetik-lingkungan, menemukan awal mula perkembangan penyakit ini, pencegahan yang bisa dilakukan, hingga terapi baru yang lebih efektif.

Selama ini, bisa dibilang tingkat awareness masyarakat terhadap penyakit fisik sudah sukup tinggi dan meluas. Tapi kalo penyakit mental? Mungkin cuma secuil orang yang memahaminya. Inilah mungkin kenapa penyakit mental, seperti depresi, masih sering diremahkan banyak orang. Padahal, depresi juga sama dengan penyakit fisik, seperti batuk, pilek, demam, sakit jantung, ataupun sakit paru-paru. Depresi adalah penyakit yang memilki basis biologis dan implikasi pada kondisi mental serta sosial seseorang.

Oke deh tanpa berpanjang lebar lagi, kita mulai aja ceritanya.

banner depresi

Apa yang Dimaksud dengan Depresi?

Seperti yang gw sebutkan sebelumnya, sedih itu wajar. Tapi kalo sedihnya berlarut-larut sampe berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, lain lagi ya ceritanya. Walaupun diagnosis depresi harus secara resmi dibuat oleh psikolog dan psikiater profesional, tapi kita bisa lihat definisi umumnya agar bisa membantu diri atau orang di sekitar kita.

Meminjam definisi dari DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders versi IV) atau buku panduan penyakit mental yang digunakan di seluruh dunia,

Depression is either sad mood or lack of interest in daily activities or the ability to gain pleasure from these activities.

Dengan kata lain, depresi adalah perasaan / mood sedih yang ditandai dengan menurunnya minat untuk beraktivitas sehari-hari ataupun kehilangan minat untuk kegiatan yang sebelumnya disukai. Misalnya, seseorang yang tadinya suka belanja jadi tidak suka belanja; yang tadinya suka main game jadi ga niat lagi main game.

Loh berarti kalo ada orang yang tadinya suka nonton, terus jadi gak suka nonton berarti dia depresi dong?

Tentu saja tidak. Ada gejala yang mutlak muncul sebelum seseorang didiagnosis dengan depresi, seperti berikut.

  • perasaan sedih mendalam dan konstan,
  • kehilangan motivasi,
  • tidak bisa tidur,
  • tidak nafsu makan atau maunya makan melulu,
  • berat badan naik atau turun,
  • penurunan libido
  • gangguan konsenstrasi,
  • merasa bersalah,
  • pikiran-pikiran untuk menyakiti diri sendiri,
  • ide untuk bunuh diri sampai percobaan bunuh diri

Kalau membaca sedikit tentang depresi, kita langsung mikir,

“Oh ya sama aja dengan sedih dong kalau gitu! Waktu patah hati atau ditolak gebetan juga rasanya begitu!“

Ya dan tidak! Patah hati, setelah beberapa hari atau 2 minggu, orang mulai bisa beraktivitas kembali dengan normal, nafsu makan kembali muncul. Tetapi hal ini tidak sama dengan orang yang menderita depresi. Semua perasaan sedih, perasaan tidak berharga, hingga pikiran untuk bunuh diri yang disebutkan di atas tetap menghantui orang tersebut secara terus-menerus selama minimal 2 minggu dan bisa berlangsung seumur hidup jika tidak diterapi dengan tepat.

bayang depresi small

Agar lebih jelas lagi, kalian bisa melihat skema berikut.

skema depresi
©Holthzheimer & Mayberg 2011

Seseorang yang tadinya normal-normal saja lalu mengalami stres (pemicu) akhirnya “down” dan tidak bisa kembali lagi ke kondisi mood normal sebelumnya. Orang yang sehat dan tidak menderita depresi setelah beberapa waktu akan kembali ke kondisi normal.

Apa yang Membuat Orang Depresi?

Setelah memahami perbedaan antara sedih biasa dengan depresi, sekarang kita bisa lanjut ke pertanyaan selanjutnya, apa sih penyebab depresi? Apa yang membuat orang jatuh dari “Down state” ke “Depression”? Kenapa seseorang bisa jatuh ke “Depression” dan yang lain bisa balik lagi ke “Normal state”?

Secara sederhana, hal tersebut bisa dijelaskan dengan mengenali bahwa secara mental, manusia bisa dikelompokkan menjadi dua tipe golongan, yaitu  manusia yang lemah secara mental dan kuat secara mental. Sebut saja group rentan (vulnerable) dan group tangguh (resilient). Apa yang membuat seseorang masuk di group rentan atau tangguh?

1. Stres

Seberapa berat dan durasi stress yang dialami seseorang mempengaruhi perkembangan penyakit ini. Satu hal yang perlu dipahami tentang stress dan masih salah kaprah adalah anggapan bahwa stress hanya bisa dialami oleh orang dewasa. Big no! Stress bisa dialami siapa saja mulai dari janin-bayi-balita sampai usia dewasa. Anak-anak yang sedang dalam tumbuh kembang justru berada dalam usia rentan terhadap stress, termasuk bayi yang mengalami stress saat berada di kandungan, nantinya bisa berkembang menjadi individu yang rentan terhadap stress.

2. Kondisi sosial di lingkungan kita

Kalau kita sedang sedih pada masa-masa awal, ada kemungkinan kita menjauh dan menarik diri dari lingkungan sosial. Tetapi sebetulnya hal tersebut semakin memperparah kondisi depresi seseorang. Berbicara dengan sahabat ataupun pihak professional akan lebih efektif membantu meringankan gejala depresi.

3. Genetik

Faktor yang sering dianggap remeh, tetapi sebenarnya memiliki peranan besar dalam perkembangan penyakit ini. Beberapa studi terakhir menyimpulkan bahwa depresi berkaitan erat dengan riwayat keluarga. Jika ayah atau ibu menderita depresi atau saudara kandung memiliki riwayat depresi maka seseorang akan lebih rentan untuk menderita depresi. Beberapa variasi genetik juga menentukan apakah seseorang tersebut rentan atau tangguh.

Apa Basis Biologis dari Depresi?

“Ah tapi semua itu kan hanya ada di pikiran kita aja. Penyakit mengada-ngada, tidak ada bukti!”

Kalo ada orang punya penyakit hipertensi atau darah tinggi, kan bisa diukur tuh tekanan darahnya dengan tensimeter. Kalo ada orang yang kakinya patah, bisa di-rontgen, keliatan tulangnya emang retak dan patah. Kalo penderita depresi gimana dong cara membuktikannya?

Nah, berbagai riset di bidang neurosains telah menunjukkan bahwa gangguan mental, seperti depresi, itu sama real-nya dengan penyakit fisik. Yep, penyakit mental depresi, juga bisa diukur dan dibuktikan lho. Setidaknya ada 3 hal yang bisa diukur:

1. Aktivitas otak

fmriPenderita depresi bisa diukur kadar aktivitas otaknya dengan alat bernama fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) dan PET (Possitron Emission Tomography). fMRI juga biasanya dipake buat scanning penderita PET juga biasanya dipake buat scanning tumorDengan menggunakan kedua alat ini, kita bisa membandingkan hasil scan otak orang normal dengan orang depresi.

Lalu gimana perbandingan aktivitas otak orang normal dengan orang depresi?

scan otakDibandingkan dengan orang normal, penderita depresi mengalami penurunan aktivitas otak di bagian-bagian tertentu, tentu saja tidak seluruhnya, tetapi bagian-bagian yang penting untuk mengatur mood, konsentrasi, proses berpikir, dan mengambil keputusan. Hal inilah juga yang menyebabkan kenapa mereka menjadi sensitif dan negatif apabila ada orang yang mengkritik mereka. Lagi-lagi yang udah pernah patah hati pasti tahu rasanya, kalau habis patah hati terus ada yang pasang lagu-lagu mellow ala-ala sabtu pagi, rasanya pikirannya negatif terus, maunya nangis terus, dan sebagainya.

2. Ketidakseimbangan senyawa kimia di otak

Senyawa yang biasa diliat adalah serotonin. Serotonin adalah salah satu senyawa yang berperan untuk mengatur perasaan senang seseorang. Orang dengan depresi mengalami penurunan kadar serotonin.

3. Volume hippocampus yang berkurang

Apa itu hippocampus? Hippocampus adalah salah satu bagian otak yang berperan penting untuk memproses ingatan kita. Ketika kita mengalami stress, secara natural tubuh kita akan mengeluarkan senyawa berupa kortikosteroid untuk melindungi kita dari bahaya. Hal ini tentu diperlukan dalam jangka waktu pendek. Masalahnya, ketika tubuh kita merespon secara berlebihan terhadap stres, kortikosteroid akan dikeluarkan secara berlebihan yang dalam jangka waktu tertentu mempengaruhi ukuran hippocampus. Stres akut dan depresi berkepanjangan bisa memperkecil volume hippocampus di otak. Hal inilah yang menyebabkan mudah lupa atau tidak bisa berkonsentrasi dengan baik pada orang dengan depresi.

hippocampus
Perbandingan volume hippocampus orang normal (atas) dengan orang depresi (bawah)

Berdasarkan ketiga basis biologi di atas, dapat dikatakan bahwa stress kronis pada orang depresi bisa berdampak hingga mengubah struktur otak seseorang.

Perjuangan Orang Depresi dan Bahaya Depresi

Karena keadaan depresi bisa mengubah struktur otak penderitanya, ini menjadi salah satu alasan mengapa penyakit ini termasuk sulit diatasi. Bagi kalian yang mungkin dekat dengan orang depresi, mungkin rada gemes melihat mereka murung melulu. Penderita depresi bukannya tidak mau bangkit, positive thinking, dan ceria kembali. Mereka sangat ingin melepaskan segala kegundahannya. Tapi sayangnya, kemampuan mereka terhambat karena adanya perubahan di struktur otak tadi.

Tidak lupa pula stigma berat, di mana masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa gangguan psikis depresi ini cuman lebay, penyakit abu-abu, gak jelas, gak ada juntrungannya, nyari perhatian. Ini membuat sebagian besar orang yang depresi tidak bisa menceritakan kegundahannya kepada orang lain. Kalau sedih rasanya ingin sendiri dan mengurung diri di kamar, menangis sampai tertidur, dengan harapan tidak ingin bangun kembali. Mereka tenggelam dalam lingkaran setannya sendiri. Sebagai gambaran, mungkin ada baiknya kalian coba menonton salah satu monolog singkat dari Doug Leddin tentang depresi yang dialami olehnya selama 10 tahun terakhir:

depressed got drown

Karena susah terbuka dengan keadaan yang mereka derita, ga sedikit orang depresi memasang topeng bahagia kepada orang di sekelilingnya. Ya, orang yang tidak tampak depresi belum tentu tidak menderita depresi. Lo ga akan pernah tau apa yang tersembunyi di balik sebuah senyuman.

topeng depresi
©Pinterest

Kalo pun ada orang depresi yang akhirnya memberanikan diri untuk mencari pertolongan profesional, masih ada saja tantangan yang harus ia hadapi. Di Indonesia sendiri, ketika seseorang menyatakan bahwa dia butuh bantuan professional untuk mengatasi masalah mentalnya, mereka harus siap dengan hujan komentar seperti,

“Udah gila lo ya sampe minta ke psikolog/psikiater segala, ih lebay ga jelas!” 

Kombinasi dari hal-hal di atas membuat orang-orang dengan gangguan ini semakin sulit dijangkau dengan pengobatan yang layak. Bahkan, menurut National Institute of Mental Health, rata-rata orang dengan penyakit mental baru mencari bantuan profesional setelah 10 tahun menderita. Padahal nyatanya, jika tidak diobati secara tuntas dan lebih lanjut, efek yang ditimbulkan cukup besar.

Emang apa bahayanya jika orang depresi dibiarin gitu aja tanpa treatment yang tepat? Toh cumen sedih doang kan?!

Tergantung usia penderita depresi dan berada di fase apa di dalam hidupnya, bisa dibilang jika dibiarkan berlarut-larut, cukup berbahaya. Misalnya, seorang pelajar yang broken home jatuh ke jurang depresi. Dia ga semangat lagi ngapa-ngapain. Prestasi menurun, gak bisa kerjain PR, gak konsentrasi di kelas, gak bisa kerjain ujian. Ada juga dampak sosialnya. Kalau nilai kita jelek, gak mungkin kita seneng kan, kalau kita ga seneng, perilaku kita ke orang lain juga jadi tidak ramah, judes, ansos, yang akhirnya membuat kita dijauhi teman-teman dan semakin memperparah kondisi depresi tersebut.

Bayangkan hal serupa terjadi pada umur ketika kalian sudah terjun ke dunia kerja, mengemban tanggung jawab yang lebih besar, bahkan udah berkeluarga. Depresi akut bisa membuat kehidupan seseorang kacau balau. Gue harap sampai di sini kita semua bisa mengerti bahwa perjuangan orang melawan depresi sungguh nyata. Kesulitannya itu bukan main-main.

Terus, emangnya depresi berdampak ke kualitas hidup ya?

Perasaan sedih dan kecewa terkadang bersifat sementara, kemudian akan menghilang seiring berjalannya waktu. Namun, apa yang dirasakan orang depresi berbeda dengan perasaan sedih. 

Apa yang dipikirkan orang depresi dapat mempengaruhi berbagai perilaku, pikiran, serta emosinya secara terus-menerus. Berbeda dengan sedih yang tidak membutuhkan penanganan medis untuk mengatasinya, depresi sangat membutuhkan penanganan medis karena depresi tidak bisa hilang sendiri layaknya perasaan sedih.

Pada umumnya penderita depresi mengalami kekurangan energi, motivasi, dan sering merasa hampa. Terkadang saking beratnya rasa hampa tersebut, orang yang mengalami depresi tidak bisa menangis, lho. 

Dampaknya bisa sampai mengganggu aktivitas sehari-hari. Orang terdekat yang biasanya menyadari lebih dulu karena hubungan sosial pun terpengaruh. Penderita depresi cenderung menutup diri dan sulit beraktivitas seperti biasa, sehingga produktivitasnya pun ikut tergganggu.

Bagaimana Cara Mengatasi Depresi?

Sebagai orang awam apa yang bisa kita lakukan jika kita melihat tanda-tanda depresi di sekeliling kita? Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk membantu mengatasi depresi sekaligus cara menghibur diri saat depresi.

1. Berhenti meremehkan penyakit ini

Jika kita tidak paham sebaiknya hindari mengadili dan sok-sokan memberi nasehat. Hindari mengutarkaan kalimat-kalimat seperti di bawah ini ke orang depresi:

“Masih banyak anak kelaparan di Afrika, perang di sana-sini, masih banyak anak jalanan. Kamu kan anak orang kaya, berpendidikan, dsb. Seharusnya kamu bersyukur!”

Kenapa? Sama seperti kenyataan bahwa memang masih banyak orang kelaparan dan menderita di luar sana, bukan berarti penderitaan orang dengan depresi tidak nyata. Ingat bahwa stress kronis yang mereka derita juga telah menghambat kemampuan untuk berpikir positif. Makanya, sebenarnya kurang tepat sasaran jika kita merespon orang depresi untuk “Ayolah semangat” atau “Positive thinking lah”.

Saran ini juga ditujukan pada diri lo sendiri yang sedang membaca artikel ini dan sadar bahwa lo tengah depresi. Berhentilah meremehkan situasi lo, saatnya bertindak serius.

compare treatment
Sebuah ironi: perbandingan bagaimana orang lain memperlakukan penderita penyakit fisik (kiri) dengan penyakit mental (kanan)

2. Menjadi pendengar yang penuh kasih jauh lebih penting daripada memberi nasihat 

Setelah kita bisa menahan diri untuk tidak sembarangan memberi nasihat, jadilah pendengar yang baik. Jadilah sosok yang bisa mereka percaya untuk mencurahkan segala keluh kesahnya. Tanyakanlah, apa yang bisa kita bantu untuk mereka, support seperti apa yang mereka butuhkan.

3. Rujuk ke bantuan profesional

Jika seseorang di sekeliling kita ada yang kita curigai mengalami depresi, bantulah dia dengan memberikan support, ajak ke konseling, yakinkan untuk mengunjungi psikolog atau pun psikiater. Orang yang ke psikiater atau ke psikolog bukan berarti orang gila.

Jika diagnosis depresi sudah ditetapkan (oleh psikolog klinis atau dokter, bukan awam ya!), dengan terapi, berupa konseling, terapi kognitif, obat-obatan, dan dukungan sosial dari keluarga dan teman; penderita depresi diharapkan pulih kembali minimal dalam waktu satu bulan.

Loh kok lama? Obat-obat anti-depresi memerlukan waktu minimal satu bulan untuk bekerja. Gak seperti antibiotik yang diminum 5 hari dan orang langsung ngerasa lebih enak. Efek dari obat anti-depresi ini harus melintasi berbagai barrier, termasuk BBB (blood brain barrier). Otak kita termasuk salah satu organ yang paling rentan terhadap penyakit, itulah sebabnya ada barrier khusus antara darah dan otak yang sebenarnya sangat menguntungkan tetapi juga membuat otak sebagai organ yang sulit diterapi. Barrier ini menyaring berbagai kuman, virus, dan parasit supaya tidak masuk ke otak tetapi juga menyaring obat-obatan.

Ingatlah bahwa depresi bukanlah kelemahan kepribadian. Depresi adalah gangguan mental serius. Mencari pertolongan adalah bentuk kekuatan diri.

***

Di Indonesia, penyakit ini belum ditangani secara tuntas dan serius padahal anggaran kesehatan tahun 2015 mencapai 74 triliun rupiah. Jika kita lihat ke sekeliling kita masih banyak orang yang terkurung di dalam pikirannya sendiri sampai akhirnya hidup di jalanan tanpa akal sehat. Seandainya kita bisa memelihara dan mencegah kerusakan otak tanpa stigmatisasi bisa dibayangkan berapa banyak individu yang kita tolong dan memaksimalkan ide-ide cerdas yang mungkin terpenjara dalam pikirannya sendiri selama ini. Gw sangat berharap artikel ini bisa membantu taman-teman yang sedang dirundung depresi di luar sana.

Terakhir, gue akan tutup tulisan gue ini dengan satu video menarik dari WHO yang menggambarkan kehidupan seorang dengan depresi. Semoga bermanfaat!

Referensi

*Stuck in a rut: rethinking depression and its treatment* Holtzheimer PE1, Mayberg HS. Trends Neurosci. 2011 Jan;34(1):1-9. doi: 10.1016/j.tins.2010.10.004. Epub 2010 Nov 8.

Hippocampal volume reduction in major depression. Bremner JD1, Narayan M, Anderson ER, Staib LH, Miller HL, Charney DS. Am J Psychiatry. 2000 Jan;157(1):115-8.

sumber gambar anjing besar depresi: https://www.youtube.com/watch?v=z-IR48Mb3W0

sumber gambar fmri: http://web-japan.org/trends/09_sci-tech/sci090319.html

sumber gambar hippocampus: http://www.auntminnie.com/index.aspx?sec=ser&sub=def&pag=dis&ItemID=60820

sumber gambar orang tenggelam: http://www.theguardian.com/society/christmas-charity-appeal-2014-blog/2014/dec/01/-sp-drawing-depression-the-doodle-chronicles

Ketahui Perbedaan Sedih dan Depresi, serta Penanganannya – Alodokter (2022)

=CATATAN EDITOR=

Membahas depresi dan gangguan mental rasanya belum cukup ya dalam satu artikel. Oleh karena itu, kalo lo mau bertanya, diskusi, atau curhat tentang depresi, khususnya dari perspektif neurosains, silakan tanyain langsung ke Virgie dengan meninggalkan komen di bawah ya.

Originally published: April 17, 2016
Updated by: Erika Fajriatur Rokhmah (Kampus Merdeka Intern)

Bagikan Artikel Ini!